2. Prihatin? (18+)

3K 31 67
                                    

Ditutupnya rapat-rapat mata yang sedari tadi terbuka, ia menghela napas untuk yang ketiga kalinya, dirinya bangkit lalu berjalan menuju kasur yang teramat indah untuk dipandang. Irene bercermin lewat kamera ponselnya, berdecak ketika melihat lipstik yang tadi rapih kini acak-acakan dimana-mana.

Semua ini karena Lenna, astaga, wanita itu tidak puas dengan permainan konyolnya setiap hari. Selalu saja berbuat ulah dengan dirinya, entah mengapa dan ada apa yang membuat Lenna sangat membencinya.

Ini sudah pukul jam dua malam, akan tetapi seseorang yang ia tunggu-tunggu tak memperlihatkan batang hidungnya. Dimana lelaki yang ingin membayarnya dengan nominal yang cukup besar itu.

Apakah ia membatalkannya? Pikirnya sesaat lalu menelepon Stevani.

"Hallo." Baru saja ia ingin menjawab Stevani, pintu kamar terbuka, dengan cepat ia mematikan teleponnya.

Pria dengan kaos hitam dibaluti dengan jas berwarna navy menghiasi seluruh pandangannya. Tangan kekarnya lepas dari knop pintu, ia melangkah maju dengan gerakan maskulin. Sorot mata tajamnya mampu menusuk hingga ke kulitnya. Irene berkedip gugup.

"Maaf menunggu."

"Ah, ya tak apa." Tanpa sadar perkataan itu lolos dari bibir mungil Irene, ia mengusap wajahnya entah mengapa ia merasakan gugup saat ini.

Tampak dari mata indahnya, lelaki itu mulai membuka jas dan kaosnya hingga memperlihatkan dada bidangnya. Oh Tuhan, pahatan yang sungguh sempurna.

"Ingin memakai pengaman?" tanyanya dengan suara berat, Irene mendongak lalu menggeleng kecil, itu hal biasa yang selalu dipertanyakan semua pria yang ingin satu ranjang dengannya.

"Tak usah, saya tau teknik untuk tidak membuahkan hasil," jawab Irene seadanya. Ia membuka dress berwarna nude, menyisakan pakaian dalamnya.

Lelaki itu tersenyum simpul, oh sungguh Irene terbuai dengan senyumannya itu.

"Kau sungguh berpengalaman ya," ujar lelaki itu. Irene tertawa hambar, entah ia harus bangga atau apa, ia tak tahu.

"Mengapa kau bisa menjadi seperti ini?" Pertanyaan itu sontak membuat Irene tersadar dari lamunannya beberapa saat. Ia berdeham menetralkan suasana yang kini sunyi.

"Tak usah menanyakan soal itu, kau membayarku untuk melakukan hubungan seks atau ingin mencampuri urusanku?" jawabnya mengutarakan ketidaksetujuannya.

Lelaki itu meletakkan ponselnya, berjalan menuju ranjang, tanpa aba-aba ia langsung menduduki paha Irene. Diulurkan tangan kekarnya hingga menyentuh kulit lehernya. Irene mendesah pelan, pelan sekali hingga hanya dirinya yang bisa mendengarkan.

"Engh..." suara itu mampu membuat bulu kuduknya meremang, suara yang amat halus. Pikir lelaki itu.

"Panggil nama saya, Melvin." Irene mengangguk, ia memutar kepalanya membuat ciuman Melvin turun ke jenjang lehernya. Ia menggeliat kegelian ketika bibir Melvin sudah berada di buah dadanya.

Dirinya memutar tubuhnya membelakangi Melvin. Dengan sigap lelaki itu membuka kaitan bra yang dipakainya, dirinya menahan napas, entah mengapa ia gugup sekali.

Sampai puncaknya mereka tak memakai sehelai benang pun, "siap?" ujar Melvin melihat dirinya yang sudah menahan gairah.

Irene menunduk malu melihat betapa besarnya milik Melvin. Oh Tuhan, apakah miliknya dibawah sana akan baik-baik saja nanti?

Melvin menundukkan kepalanya, menatap dirinya yang tengah kegugupan setengah mati, pandangan mereka bertemu. Bibirnya kembali dilumat oleh Melvin, ia lalu dengan cepat membalasnya.

PelacurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang