Baru saja Joseph melepaskan bucket hat di kepalanya, secepat kilat Sherena merebutnya dari tangan Joseph, kemudian menyabet laki-laki tersebut. "Bego!" hardiknya pada pukulan pertama. Refleks Joseph menyilangkan sebelah tangannya di depan wajah, mengadang sabetan Sherena. "Bisa-bisanya lo bilang ke Raven kalau—"
Omelan Sherena terhenti di sana ketika dia sadar mulai ada beberapa orang lalu lalang di lobi gedung jurusan. Kedua tangan Sherena mengepal. Ia benar-benar geram. "Ish, nyebelin pokoknya lo!"
Laki-laki itu terbengong menatap Sherena. "Apa salah gue?" tanyanya. Namun, bukannya mendapatkan jawaban, yang didapatkannya justru satu sabetan lagi, dan kali ini, Joseph sukses meraih pergelangan tangan Sherena dan mencengkeramnya kuat untuk menahan gadis itu memberinya sabetan lain.
Wajah Joseph maju beberapa sentimeter lebih dekat kepada Sherena. Tatapannya lurus menyorot ke mata Sherena dengan tajam. "Gue nanya baik-baik, ya, Sherena," katanya.
Sherena langsung mematung saat itu juga. Wajah Joseph yang semakin dekat dengannya membuatnya perlahan mundur, mundur, kemudian berhenti sebab tangannya masih dicengkeram dengan begitu kuat oleh lawan bicaranya.
Joseph kembali menjauhkan wajahnya, lalu melepaskan cengkeramannya. "Tadi pagi gue cuma ditinggalin roti panggang sama temen apartemen gue. Gimana kalau kita makan sekarang?" tawar laki-laki itu seraya merebut topinya dari tangan Sherena.
Tidak ada alasan bagi gadis itu untuk menolak. Sama seperti Joseph, sarapannya tadi pagi memang tidak mencukupi kebutuhannya, sehingga makan siang dengannya bukanlah ide yang buruk. Sekalian Sherena harus membicarakan soal kebocoran mulut Joseph kepada Raven. Jadi sebenarnya, persetujuan Sherena untuk makan siang tidak sepenuhnya untuk makan siang bersama laki-laki ini, melainkan untuk lanjut mengomelinya karena sudah dengan lancang mengatakan apa yang tidak perlu diceritakannya kepada Raven.
Tiba di kantin kampus, Sherena lantas menempati salah satu meja yang kosong, kemudian memberi uang kepada Joseph sambil bilang, "Ayam bakar."
Kedua bola mata Joseph berputar sambil ia berdecak. Tanpa protes lebih panjang, laki-laki itu menaruh ransel merah marunnya di meja, kemudian beranjak ke kedai penjual ayam bakar.
Lima belas menit berselang, Joseph kembali dengan dua piring ayam bakar di kedua tangannya. Laki-laki itu duduk dan menginterupsi fokus Sherena pada ponselnya dengan pertanyaan "Jadi, sebenarnya apa salah gue?"
Sesaat Sherena hanya melirik kepada laki-laki yang mulai menyibukkan diri dengan mengucir rambut gondrongnya. Sherena kemudian menjelaskan kepada Joseph dengan emosi yang kembali tidak stabil. Dan itu sukses besar. Sukses membuat Joseph langsung diterjang perasaan bersalah, lebih tepatnya.
"Lo keberatan kalau Raven tau ya, Sher?" tanya Joseph dengan suara lirih. Tidak ada jawaban dari Sherena, yang kemudian Joseph anggap sebagai persetujuan. "Gue nggak tau, sori."
Kali ini gantian Sherena yang merasa bersalah karena sudah meluapkan emosinya ketika mengemukakan kemarahannya. Mungkin juga salahnya sendiri karena kemarin malam Sherena tidak saling sepakat dengan Joseph kalau laki-laki itu tidak boleh mengatakan apa pun tentang hal ini.
Berarti dalam kasus ini, tidak ada satu pun yang salah?
"Sher gue kenal Raven udah lebih dari empat—eh, lima—eh, enam tahun. Gue tau gue bisa bikin dia janji buat tutup mulut," ujar Joseph. "Ini masalah sepele. Jangan diperpanjang, ya? Gue bakal bikin dia jaga rahasia ini di antara anak-anak SR."
Dan mau tidak mau, Sherena mengangguk mengiakan. Berarti tugasnya setelah ini adalah membuat Geby juga bersumpah untuk tutup mulut. Sekaligus ia pasti dihitung utang penjelasan kepada Geby.
Sherena mengacungkan kelingkingnya yang kemudian mendapatkan respons tawa kencang dari Joseph. "Kayak anak kecil banget lo, segala minta pinky promise," ujar Joseph seraya menangkis tangan Sherena dari hadapannya. Bibir Sherena mengerucut. Perlahan tapi pasti tangannya kembali diturunkan. Gadis itu mulai fokus pada hidangan di hadapannya.
Tawa Joseph semakin kencang. Ia meraih kelingking Sherena kini. "Iya, iya, Sherena. Ini cuma antara lo, gue, dan Raven. Apa itu cukup jelas?"
"Dan Geby," tambah Sherena. Senyumnya mengembang tipis. "Temen lo itu ngomongin masalah ini di depan muka Geby. Jadi, ya lo bisa tebak sendiri deh gimana Geby."
Joseph mengangguk-angguk paham. Meja mereka kemudian hening. Keduanya fokus kepada makanan masing-masing, sampai sapaan tak mengenakkan—di telinga Sherena—hampir membuat gadis itu tersedak.
"Wei, ke mana lo, berengsek? Semalam balik jam dua aja segala cabut kelas pagi. Gue balik dua jam setelah lo aja santuy, men," sapa laki-laki yang sudah bisa Sherena ketahui dari gaya bicara dan suaranya. Tentu saja Raven. Laki-laki berjambul pirang itu menyikut kepala Joseph tanpa wajah berdosa. "Kalian pedekate kok nggak bilang-bilang, by the way."
Senyum Raven sempat tertuju kepada Sherena beberapa saat seraya ia menarik kursi untuk turut duduk di meja persegi tersebut.
"Nggak ada yang pedekate. Gue punya pacar, Sherena punya pacar," balas Joseph dengan tenang. "Iya kan, Sher?" tanya Joseph. Lamat-lamat Sherena mengangguk menyetujui ketika dilihatnya Raven masih memandangi dirinya.
Raven terkekeh. "Oh gitu, ya." Kini Raven yang mengangguk-angguk seraya merampas es jeruk milik Joseph yang tergeletak di atas meja.
Selesai dengan makan siangnya, Joseph lantas beranjak dari kursinya. "Ayo, Ven. Temenin gue ke studio grafis dong. Gue mau ngambil papan MDF gue," ujar Joseph seraya mengenakan bucket hat-nya, dan menyampirkan ranselnya di sebelah bahunya. "Sher, duluan ya."
Sherena hanya mengangguk. Keduanya serta-merta pergi meninggalkan Sherena.
Usai makan, Sherena kembali mengeluarkan ponsel di tasnya, melihat adanya beberapa pesan masuk dari Geby.
Geby SR : Lo kok langsung cabut sih habis kelas Inggris?
Geby SR : Sini ke kosan gue sebelum kelas anatomi ntar sore
Geby SR : Kalau lo masih di kampus, sekalian nitip makan siang dong
Geby SR : Thank you
Dua puluh menit berlalu sejak pesan tersebut Sherena baca, dan kini di sinilah Sherena berdiri. Di depan pintu dengan angka 23 di depannya. Kamar Geby. Beberapa kali Sherena mengetuk pintu yang juga ada namanya tersebut, sampai penghuninya keluar.
"Lo ke mana?" tanya Geby.
Sherena mengerlingkan matanya. Tanpa menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu, Sherena melangkah masuk ke dalam ruangan, menaruh makan siang pesanan Geby, lalu membaringkan dirinya di atas ranjang.
Pandangan Sherena tertuju ke langit-langit ruangan. Beberapa detik berselang, Sherena menoleh kepada Geby yang duduk di sofa kecil di sudut ruangan sambil memeluk bantal sofa. "Lo khawatir nggak, kalau gue bilang semalam gue beneran nginap di apartemen Joseph?"
Geby memeluk bantal tersebut semakin erat. "Jadi, itu beneran, dan bener-bener atas keputusan lo?"
Sherena mengangguk, lalu ceritanya mengalir begitu saja dari mulutnya sambil Geby menyantap makan siangnya. Sherena juga bilang kalau ia makan siang dengan Joseph. Juga meminta Geby untuk tidak mengatakan tentang hal ini kepada siapa pun.
"Gue bukannya apa ya, Sher," tutur Geby begitu Sherena mengakhiri ceritanya. "Tapi, mengingat Joseph bukan cowok baik-baik, bikin gue waswas waktu denger kabar begini."
Sherena tak memberi jawaban. Sherena paham maksud Geby.
"Eh tapi bukan berarti gue menghalangi apa pun, sih. Maksud gue, kita juga kan nggak tau apa yang bakal terjadi besok. Tapi kalau merangkum apa yang udah terlihat, sih, Sher, menurut gue, Joseph tuh ...."
YOU ARE READING
Get Drunk
RomanceSetahu Sherena, di kebanyakan kampus-atau mungkin, di seluruh kampus-citra anak Seni Rupa itu sudah kacau balau. Tidak terkecuali di kampusnya, Universitas Pangeran Antasari. Dan sejak Sherena tercemplung di dalamnya selama satu semester, ia bisa me...