[ 04 ]

401 56 4
                                    

"Sob, minjem pensil 8B dong." Di tengah menggelegarnya Dark Side milik Alan Walker di dalam ruangan, suara Joseph terdengar jauh lebih menggelegar. Selepas bicara begitu, ia beranjak dari mejanya, mulai jalan mengelilingi satu per satu meja temannya, mencari apa yang ingin dipinjamnya. Sampai langkahnya terhenti di meja yang Geby tempati. "Geb, gue boleh pinjem nggak?" tanyanya seraya mengambil salah satu pensil yang tergeletak di atas mejanya.

Percakapan di antara Geby dan Sherena seketika terhenti begitu saja sebab kedatangan Joseph ke meja mereka. Geby melemparkan senyum dan anggukan sebagai jawaban ya atas permintaan izinnya, tetapi laki-laki itu tak kunjung beranjak. Ia justru diam di tempat, memandangi Geby dan Sherena secara bergantian.

"Ngapain?" tanya Sherena sinis. Joseph menggeleng, senyumnya mengembang. "Ya udah, kerjain sana tugasnya. Gue lagi ngobrol privasi sama Geby. Urusan anak perempuan."

"Oh, gitu," balas Joseph seraya mengangguk-angguk. "Soal semalam, bukan?"

Mata Sherena lantas memelotot mendengar pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Joseph. "Jo!"

Setelah senyum lebar di wajahnya tercetak, Joseph tertawa terbahak-bahak sambil berjalan kembali ke mejanya, melanjutkan tugasnya bersama Raven di tempatnya sendiri.

Geby dan Sherena yang semula sedang benar-benar membicarakan Joseph, kini serta-merta beralih topik. Hilang minat kepada laki-laki tersebut.

"Udahlah, nggak usah dibahas deh. Lagian, kemarin itu first and last, gue berani taruhan," ujar Sherena sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan berusaha menghilangkan ingatannya tentang Joseph dan apa yang semalam terjadi.

Senyum menggoda Geby terbit di wajahnya. "Yakin berani taruhan? Yuk coba taruhan sama gue, kalau sampai lo nginap lagi di apartemennya, gimana?" balas Geby justru semakin mengorek topiknya. Tangan kanan Geby terulur, mengajak Sherena berjabat. "Kalau gue menang, lo traktir gue alat lukis, ya? Semester depan kan gue bakal ambil studio lukis."

Dengan malas, Sherena menjabat tangan Geby. "Kalau gue menang, lo traktir gue alat grafis ya."

Geby mengangguk mantap sambil tersenyum. Ia sangat yakin untuk memenangkan taruhan ini. "Deal banget!" ujarnya antusias. "Pasti gue yang menang."

Sherena mengedikkan bahu.

Sementara kedua gadis itu bertaruhan, diam-diam Joseph dan Raven mendengarkan dari kursi mereka masing-masing. Salah satunya terkekeh, kemudian melirik kawan di sebelahnya yang fokus mengerjakan tugas. Ia menyikutnya pelan. "Ikut taruhan nggak, Jo?" tanyanya.

Senyum Joseph mengembang. Matanya sedikit memicing. Tangan kanannya lantas terulur, dan dengan suara pelan, Joseph bilang, "Gue pegang omongannya Geby. Kalau gue menang lo traktir gue Jägermeister sebotol di Dinar, ya."

Lantas Raven menggeleng-geleng sambil tertawa mencemooh. "Tai kali. Gue pegang dia, anjir," balas Raven. Joseph tak merespons, hanya mengulurkan tangan kanannya lebih dekat kepada Raven. "Nggak. Gue pegang dia."

"Cupu," cerca Joseph. Kini perhatiannya kembali tertuju ke lembar A3 di atas mejanya. Tangannya yang semula terulur itu, kini kembali menggenggam pensil, kembali menggores kertas. "Emang lo nggak mau pegang Sherena? Berarti lo lebih percaya kalau gue bisa menaklukkan dia, ya, ketimbang percaya kalau dia punya defense yang kuat?"

Raven bergeming. Terlebih ketika ia melihat Joseph tersenyum dan mendengkus, Raven semakin ragu akan pilihan awalnya. Joseph benar, Sherena mungkin memiliki pertahanan yang kuat untuk tidak menginjakkan kakinya lagi di apartemen Joseph. Namun, seorang Joseph Stephania yang dikenalnya, apa bisa tidak mendapatkan gadis yang diinginkannya?

Sebentar. Tapi Joseph tidak pernah menginginkan Sherena, kan?

"Deal. Jack Daniel's sebotol, ya?" Tanpa menunggu respons Joseph, Raven lantas meraih telapak tangan Joseph dan menjabatnya. "Gue pegang Sherena."

"Ngelunjak, berengsek," cela Joseph sambil tertawa. "Itu lebih mahal dari yang gue minta, anjir."

Raven mengedikkan bahunya. Sebelum tertawa kencang, laki-laki itu berujar, "Pemenang adalah raja, Jo. Mending lo sekarang buru-buru tabung gaji lo deh, buat traktir gue."

Joseph hanya bisa merespons dengan tawa kecil dan umpatan yang dikeluarkannya.

+ + +

"Joseph!"

Pekikan tersebut membuat langkah Joseph terhenti. Sang pemilik nama lantas menoleh ke sumber suara, melihat laki-laki dengan kaus kelabu berlari kecil ke arahnya. "Mau ke mana? Gue nitip beliin rokok dong," ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu Joseph dan memberikan selembar uang lima puluh ribuan.

Joseph tersenyum merespons permintaannya. "Biasa, Bang?" tanyanya.

Sambil berlalu ke lantai dua gedung, laki-laki yang merupakan kakak tingkatnya itu mengangguk. "Yoi. Berry Pop sebungkus," ujarnya kemudian berlari melompati tiap-tiap anak tangga. Tanpa dilihatnya, Joseph mengangguk, dan lantas beranjak pergi dari gedung jurusan menuju ke kantin kampus, membelikan apa yang dipesan, sekalian ia juga membeli rokok untuk dirinya sendiri.

Joseph lantas membuka kotak rokok, mengapit batangan putih tersebut di antara bibirnya. Pemantik di tangannya ia pantik, membakar ujung rokoknya, kemudian tangannya menarik batangan tersebut seraya ia mengembuskan asap dengan bebas ke udara.

Laki-laki berkucir kuda itu meninggalkan warung Ibu Sum yang menjual makanan-makanan ringan dan rokok. Di sepanjang jalannya ia terus mengisap dan mengembuskan asap rokok dari mulut dan lubang hidungnya.

Tiba di gedung jurusan, Joseph langsung menemui kakak tingkatnya yang tadi meminta tolong padanya di lobi. Ia lantas menghampirinya, memberikan sebungkus rokok yang dimintanya beserta dengan uang kembaliannya.

"Thank you ya, Jo," ujar laki-laki yang kerap disapa Bondan tersebut. Joseph mengangguk. "Stay nggak lo? Bantuin gue lah ntar malam. Mau garap karya TA gue."

Senyum Joseph mengawali jawabannya, "Nggak dulu ya, Bang. Gawe gue malam ini."

Bondan mengangguk-angguk. "Gawe apaan? Kayaknya lo gawe mulu dah. Lancar ya tiap minggu?"

"Iya, Bang. Gue emang gawe, seminggu empat hari di bar," jawab Joseph enteng. "Ya udah, gue duluan ya, Bang. Pengin balik dulu gue."

Sekali lagi Bondan mengangguk, ia membiarkan Joseph pergi meninggalkan gedung jurusan. Laki-laki itu berjalan menuju parkiran motor sambil membakar satu batang rokok lagi. Begitu saja seterusnya setiap habis sebatang. Ia mengambil sebatang lagi, sebatang lagi, sampai ketika tiba di apartemennya, baru Joseph sadar ia sudah menghabiskan empat batang rokok.

Selanjutnya setelah rokok keempatnya habis, Joseph mematikan baranya. Ia melempar bungkus rokoknya ke atas meja, dan melempar tubuhnya ke sofa, berbaring dan diam.

Ia mencoba memejamkan matanya, menikmati tenang selama beberapa detik pertama, sebelum akhirnya diusik oleh getaran ponsel di atas meja. Salah satu ponselnya bergetar, menampilkan nama Radin di layarnya.

"Hey!" ujar perempuan di seberang begitu teleponnya Joseph terima. "Kamu di mana, babe? Aku di jalan ke apartemen kamu."

Mata Joseph yang semula terpejam lagi, kini lantas terbelalak. Radin? Di jalan menuju apartemennya? Astaga, perempuan ini selalu saja tidak bilang kalau ingin datang!

"Serius?"

"Iya. Surprise. Tunggu aku,ya," balas Radin. Tanpa menunggujawaban dari Joseph, teleponnya lantas diakhiri. Joseph tak bisa berkutik.Menyuruh Radin untuk tidak datang dan pulang pun rasanya tidak mungkin. Jadimau tidak mau, ia membiarkan perempuan itu datang.

Get DrunkWhere stories live. Discover now