BAGIAN 6

570 27 0
                                    

Sudah seringkali Elang Perak mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti, dan kedigdayaannya dalam mengatasi lawan-lawan. Dan sekarang dia benar-benar berhadapan dengan pendekar muda digdaya berkepandaian tinggi itu. Rasa penasaran membuatnya tidak peduli. Padahal dari benturan tangan tadi, sudah bisa diketahui kalau tingkat tenaga dalam yang dimilikinya masih berada di bawah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan menyesal mencampuri urusanku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Elang Perak kembali melompat menerjang cepat. Beberapa pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, cepat dilepaskan. Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah, diimbangi gerakan kaki yang ringan dan lincah sekali. Sehingga, membuat setiap serangan yang dilancarkan Elang Perak tidak membawa hasil sama sekali.
Beberapa kali Elang Perak merubah jurus, tapi tak satu pun serangannya yang berhasil menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu cepat dan ringan. Bahkan terkadang seperti tidak sedang bertarung. Tapi, tidak mudah bagi Elang Perak untuk memasukkan serangannya. Setiap kali pukulannya hampir mengena, manis sekali Rangga selalu berhasil menghindar tanpa diduga sama sekali. Bahkan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melancarkan serangan balasan yang membuat Elang Perak jadi kelabakan menghindarinya. Padahal, serangan-serangan yang dilakukan Rangga hanya bersifat menguji dan menjajaki tingkat kepandaian lawan saja.
"Setan...!" geram Elang Perak semakin sengit dan penasaran.
Tiba-tiba saja Elang Perak melentingkan tubuh ke belakang, lalu melakukan putaran beberapa kali. Tepat ketika kakinya menjejak tanah, kedua tangannya bergerak cepat mengibas. Langsung dilontarkannya puluhan benda-benda kecil berwarna keperakan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!"
Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan gencar yang dilancarkan Elang Perak. Suara ledakan-ledakan keras menggelegar terdengar di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Setiap benda keperakan yang dilepaskan Elang Perak, selalu menimbulkan ledakan di saat menghantam tanah atau pohon dan bebatuan yang berada di sekitar pertarungan.
Debu dan kepingan bebatuan serta serpihan dari pepohonan yang hancur terhantam benda keperakan itu, membuat pandangan jadi terhalang. Sehingga, tubuh Rangga benar-benar tak terlihat lagi. Yang terlihat hanyalah bayangan putih saja yang berkelebat cepat menghindari setiap serangan yang datang.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga merentangkan kedua tangan ke samping, lalu cepat sekali dihentakkan ke depan dengan kedua telapak tangan terbuka lebar-lebar. Pada saat itu, dua cahaya merah melesat cepat ke arah Elang Perak.
"Heh...?!" Elang Perak terkejut setengah mati. "Hup! Yeaaah...!"
Bergegas tubuhnya melenting ke udara, dan melakukan putaran beberapa kali untuk menghindari sinar-sinar merah yang dilepaskan Rangga dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tahap terakhir. Dan begitu kaki Elang Perak menjejak tanah, tanpa diduga sama sekali Pendekar Rajawali Sakti sudah meluruk cepat bagaikan kilat. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat serangannya sehingga Elang Perak tidak sempat lagi berkelit.
Desss!
"Akh...!" Elang Perak memekik keras agak tertahan.
Pukulan Rangga yang begitu keras tepat menghantam dadanya. Akibatnya Elang Perak terpental cukup jauh ke belakang, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu yang cukup besar.
"Hoek...!"
Elang Perak memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya yang penuh berlumur darah. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga, membuat Elang Perak terpaksa harus menderita luka dalam yang cukup parah di dada.
Sementara Rangga berdiri tegak memandangi Elang Perak yang mencoba bangkit berdiri. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengucur dari mulut Meskipun bisa bangkit berdiri, tapi sepasang kakinya seakan-akan tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Limbung. Elang Perak terpaksa menyangga tubuh dengan berpegangan pada pohon di sampingnya. Dipandanginya Rangga dengan sinar mata redup.
"Kau benar-benar tangguh, Pendekar Rajawali Sakti," puji Elang Perak, tulus.
"Sebaiknya bersemadilah, Kisanak. Aku yakin, kau menderita luka dalam cukup parah," jelas Rangga.
"Aku tidak menyesal kau tundukkan, Pendekar Rajawali Sakti. Aku bangga bisa dikalahkan pendekar digdaya dan ternama sepertimu," kata Elang Perak lagi diiringi senyum kebanggaan menghias bibirnya. "Hanya satu pesanku, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah pada kedua gadis liar itu. Jangan sampai kau diperalat mereka...."
Setelah berkata demikian, Elang Perak membalikkan tubuhnya. Dia kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat ini. Beberapa saat Rangga masih berdiri memandangi kepergian Elang Perak, sampai tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
Perlahan Rangga baru memutar tubuhnya, dan langsung memandang kedua gadis kembar yang berdiri berdampingan. Rangga mengayunkan kakinya perlahan mendekati kedua gadis kembar yang dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara. Dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan mereka.
"Kaliankah yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara?" tanya Rangga seakan-akan ingin memastikan.
"Benar," sahut Randita seraya berkerut keningnya.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang diri kami?" Randini balik bertanya.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan salah satu dari gadis kembar itu. Memang diakui dalam hati, tidak mudah membedakan kedua gadis ini jika mengenakan pakaian yang potongan dan warnanya sama. Wajah mereka begitu serupa, hampir tak ada bedanya. Hanya warna baju yang dikenakan saja yang membedakan.
Kedua gadis itu masih keheranan, karena Rangga bisa mengetahui tentang diri mereka. Padahal mereka tidak pernah saling berjumpa sebelum ini. Dan memang diakui, kalau nama Pendekar Rajawali Sakti sering didengar. Tapi baru kali ini mereka bisa berjumpa.
"Rasanya tidak ada lagi di jagat raya ini ada dua gadis kembar berkepandaian tinggi yang begitu serupa, dan hampir tak ada bedanya," kata Rangga diiringi senyuman menghias dibibir. "Kalau penilaianku tidak salah, benarkah dugaanku itu...?"
"Benar, kami memang dijuluki Dewi Kembar dari Utara," sahut Randita membenarkan dugaan Rangga.
"Ah.... Beruntung sekali bisa bertemu dengan kalian di sini," desah Rangga.
"Kau sengaja datang ke sini mencari kami...?" tanya Randita mulai diliputi kecurigaan.
"Ya," sahut Rangga singkat
"Untuk apa mencari kami?" sambung Randini bertanya.
"Rasanya tempat ini kurang cocok untuk berbicara. Sebaiknya, kita cari tempat yang lebih nyaman," kata Rangga tanpa menjawab pertanyaan kedua gadis itu.
Rangga langsung saja mengayunkan kakinya meninggalkan tempat yang sudah hancur porak-poranda ini. Sementara, si Dewi Kembar dari Utara saling berpandangan. Sebentar kemudian, mereka menatap punggung Rangga yang terus saja melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Kedua gadis kembar itu kemudian mengayunkan kaki mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, setelah saling melemparkan pandangan sebentar.
"Aku memang sengaja datang ke Gunung Lawu ini untuk mencari kalian berdua...," jelas Rangga, memulai.
Pendekar Rajawali Sakti duduk bersandar di bawah pohon. Sedangkan Randita dan Randini duduk berdampingan sekitar setengah tombak di depan pemuda berbaju rompi putih ini. Mereka terdiam saja, memandangi wajah tampan di depannya.
"Kenapa kau mencari kami?" tanya Randita.
"Ada pesan yang harus kusampaikan," sahut Rangga.
"Pesan...? Dari siapa?"
"Nyai Karti," sahut Rangga.
Dewi Kembar dari Utara terkejut mendengar jawaban Rangga barusan. Mereka sampai terlonjak bangkit, seperti disengat kala beracun. Sedangkan Rangga hanya memandangi saja dengan bibir tetap mengulas senyum. Kelihatan tenang sekali, seakan-akan tidak terpengaruh oleh keterkejutan kedua gadis kembar itu atas jawabannya barusan.
"Di sini bukan tempatnya bermain-main, Kisanak. Kami berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan kami dari Elang Perak. Tapi jangan harap semudah itu bisa mempermainkan kami!" dengus Randita. Begitu dingin sekali nada suaranya.
Tatapan mata Randita juga tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Randini sudah meraba ujung pedang yang menyembul ke pinggang belakang. Tapi, Rangga masih tetap kelihatan tenang.
"Kenapa kalian begitu terkejut mendengarnya...? Bukankah kalian juga datang ke sini untuknya?" masih terdengar tenang nada suara Rangga.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang kami?" tanya Randini, agak dalam nada suaranya.
"Nyai Karti sendiri yang mengatakannya. Itulah sebabnya, aku cepat datang ke sini, meskipun sebenarnya enggan. Aku juga masih ada urusan lain yang lebih penting. Tapi mengingat keadaan Nyai Karti yang semakin kelihatan parah, aku tidak bisa mengenyampingkan begitu saja. Terserah anggapan kalian padaku. Yang penting, pesan untuk kalian akan kusampaikan. Hanya itu yang kubawa dari Nyai Karti," tutur Rangga.
"Apa pesannya?" tanya Randini lagi.
"Kalian diminta pulang segera, dan melupakan semuanya. Hanya itu yang bisa kusampaikan," sahut Rangga.
Randita dan Randini saling berpandangan, kemudian kembali menatap tajam-tajam ke arah Rangga. Sepertinya kedua gadis kembar ini belum bisa percaya penuh pada kata-kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Padahal mereka tahu dan sering mendengar nama dan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan rimba persilatan di setiap kemunculannya.
"Apa lagi yang kau ketahui?" tanya Randita, seolah-olah menyelidik.
Rangga tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan menyandarkan punggung ke pohon. Matanya menerawang jauh ke depan, melewati bahu kedua gadis kembar di depannya ini.
"Kalian sudah dapatkan bunga itu?" Rangga malah balik bertanya.
"Belum," sahut Randita.
"Kelihatannya penyakit ibu kalian memang tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan Bunga Wijayakusuma Merah. Tapi, aku tidak yakin kalian bisa memperolehnya dari puncak gunung ini. Yang kutahu, bunga itu hanya ada satu kali dalam seratus tahun, dan pohonnya juga tidak ada di sini," kata Rangga lagi.
"Memang pohonnya tidak ada di sini. Tapi, Bunga Wijayakusuma Merah ada di sini. Aria Kandaka-lah yang memilikinya," jelas Randita.
"Ketua Padepokan Gunung Lawu...?"
"Benar."
"Kalau memang dia yang memiliki, kenapa tidak bicara saja terus terang? Aku yakin, Aria Kandaka bersedia memberikannya. Aku kenal baik dengannya. Dia orang yang sangat bijaksana. Bahkan selalu memperhatikan kepentingan orang lain, daripada dirinya sendiri," kata Rangga lagi.
"Kau pikir mudah memintanya begitu saja...?" agak sinis nada suara Randita.
"Kenapa tidak...?"
"Karena bunga itu, ibu kami harus menderita kelumpuhan bertahun-tahun. Beliau kalah bertarung dalam memperebutkan Bunga Wijayakusuma Merah. Bukan hanya Aria Kandaka, tapi juga oleh tokoh-tokoh persilatan lain yang saat ini berkumpul di puncak Gunung Lawu ini," masih terdengar ketus nada suara Randita.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Pendekar Rajawali Sakti memang baru tahu kalau itulah persoalannya. Dan tampaknya memang tidak mudah bagi kedua gadis ini untuk bisa mendapatkan Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat diperlukan untuk menyembuhkan penyakit kelumpuhan yang diderita ibu mereka selama beberapa tahun ini. Sedangkan yang diketahuinya, bunga itu hanya dapat digunakan satu kali. Namun bunga itu begitu banyak kegunaannya, sehingga tidak heran jika banyak tokoh persilatan memperebutkannya. Dan tentu saja mereka menginginkan untuk tujuan masing-masing.
"Kanjeng ibu terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat beracun. Masih untung tidak tewas, dan hanya menderita kelumpuhan saja. Dan hanya bunga itu sendiri yang dapat menyembuhkannya," jelas Randita.
"Kalian memang harus mendapatkan sebelum orang lain memilikinya. Aku akan bicara pada Aria Kandaka," tegas Rangga.
"Percuma saja bicara padanya," dengus Randini.
"Kenapa...?"
"Bunga itu sudah hilang. Itu pengakuan dari Aria Kandaka sendiri," sahut Randini.
"Oh..., benarkah...?"
Rangga terkejut bukan main mendengar Bunga Wijayakusuma Merah sudah hilang, dan tidak berada lagi di tangan Aria Kandaka. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Langsung dirasakan kalau persoalannya berkembang semakin sulit, sebelum dirinya masuk dalam kemelut ini.
"Sebaiknya kalian pulang saja. Ada adikku di sana," ujar Rangga.
"Adikmu...? Siapa?" tanya Randita.
"Pandan Wangi. Aku menyuruhnya menunggu ibu kalian. Tidak baik meninggalkan orang tua dalam keadaan tidak berdaya seorang diri di dalam gua," kata Rangga lagi.
"Tapi kami tidak bisa pulang tanpa membawa bunga itu," tolak Randini tegas.
"Nyai Karti tidak mengharapkan kalian mendapatkannya. Beliau malah memikirkan keselamatan kalian berdua. Sebaiknya, segeralah pulang. Aku akan membawa bunga itu untuk kalian. Percayalah. Aku akan berusaha mendapatkannya untuk kalian," Rangga mencoba meyakinkan.
"Bagaimana, Randita...?" tanya Randini meminta pendapat saudara kembarnya.
Randita hanya mengangkat bahu saja. "Baiklah. Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Randini.
"Panggil saja aku Rangga." Kedua gadis kembar itu hanya tersenyum saja.
Sesaat kemudian mereka berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing. Dewi Kembar dari Utara menuruni puncak Gunung Lawu ini, sedangkan Rangga sendiri terus menuju Padepokan Gunung Lawu yang berada di tengah-tengah puncak gunung yang selalu terselimut kabut ini.
Tapi, benarkah Randita dan Randini benar-benar kembali ke Bukit Utara seperti yang diminta Pendekar Rajawali Sakti...? Kedua gadis itu memang tidak terus melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di lereng Gunung Lawu ini, dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan rindang untuk menaungi diri dari sengatan sinar matahari.
"Kita akan kembali ke sana diam-diam, Randini," kata Randita perlahan.
"Untuk apa?" tanya Randini.
"Aku ingin membawa bunga itu untuk Kanjeng Ibu dengan tanganku sendiri," sahut Randita bertekad.
"Kau tidak percaya pada Pendekar Rajawali Sakti, Randita...?"
"Aku percaya. Justru kedatangannya memberi kesempatan pada kita, Randini. Kau pasti bisa mengerti jalan pikiranku "
Randini terdiam dan mengangguk-anggukkan kepala. Memang bukan hanya wajah dan bentuk tubuh mereka saja yang sama persis. Bahkan jalan pikiran mereka juga selalu sama. Meskipun terkadang ada perselisihan pendapat. Tapi, selalu saja mereka mempunyai jalan kesepakatan bersama, yang tentu saja tidak dimiliki orang lain. Mereka seperti memiliki satu jiwa dalam tubuh kembar masing-masing.
"Malam nanti, kita mulai bergerak," desis Randita memantapkan rencananya.
"Ya...," sahut Randini mendesah.

61. Pendekar Rajawali Sakti : Memperebutkan Bunga WijayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang