BAGIAN 7

512 23 0
                                    

Pembicaraan mereka terhenti saat matahari sudah condong ke arah Barat. Aria Kandaka sendiri sengaja mengulur-ulur waktu, dengan mengumumkan adu ketangkasan bisa dilanjutkan esok hari. Sehingga, tak ada lagi rasa penasaran dari para undangan yang datang ke padepokannya ini. Tapi, tidak sedikit para undangan yang sudah meninggalkan padepokan.
Dan mereka yang pergi, merasa kalau acara adu ketangkasan itu tidak ada gunanya. Memang ada juga yang sudah merasakan adanya sesuatu yang tidak beres di padepokan ini, sehingga lebih memilih meninggalkan padepokan daripada ikut terlibat dalam suatu urusan yang tidak diketahuinya. Sehingga, yang tinggal hanya beberapa orang saja. Dan pada malam harinya, mereka kembali melanjutkan pembicaraan.
Kali ini, pembicaraan sudah berkisar pada Bunga Wijayakusuma Merah yang telah hilang dari tempat penyimpanannya. Rangga juga sudah mengatakan kalau kelumpuhan yang diderita Nyai Karti hanya dapat disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah itu.
"Ya.... Kelumpuhan Nyai Karti memang hanya bisa disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah. Dia bisa lumpuh begitu, karena terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang beracun dan sukar dicari obatnya, kecuali oleh bunganya sendiri," kata Aria Kandaka, perlahan suaranya.
"Tapi sayang sekali. Bunga itu sekarang tidak ada lagi di sini, Rangga," selak Winarti.
"Apakah dari tamu-tamu yang hadir, mengetahui tentang bunga itu?" tanya Rangga menyelidik.
"Ya! Ada beberapa di antara mereka yang tahu. Bahkan sudah beberapa kali berusaha merebutnya dariku. Tapi aku tidak punya bukti untuk menuduh salah seorang dari mereka," sahut Aria Kandaka menjelaskan.
"Memang sulit..," gumam Rangga perlahan.
"Itu sebabnya, aku terpaksa menahan mereka di sini dengan mengadakan pertandingan. Itu pun karena keinginan mereka yang ingin menjajaki tingkat kepandaian masing-masing," sambung Aria Kandaka.
"Apa ada di antara undangan yang sudah meninggalkan padepokan ini, Paman?" tanya Rangga lagi.
"Beberapa di antaranya memang sudah. Bahkan Elang Perak, Dewi Kembar dari Utara, dan Ki Gambang yang mengetahui tentang bunga itu juga sudah meninggalkan padepokan ini," sahut Aria Kandaka.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu kalau Elang Perak dan Dewi Kembar dari Utara tidak memiliki bunga itu. Sedangkan beberapa nama yang sempat disebutkan Aria Kandaka, masih berada di padepokan ini. Kecuali, Ki Gambang yang sudah meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini kemarin siang.
Tapi, apa mungkin Ki Gambang yang mengambil bunga itu dari tempat penyimpanan pusaka? Atau mungkin ada orang lain yang telah menguasai, dan sekarang menunggu waktu yang tepat untuk membawanya pergi dari padepokan tanpa seorang pun yang mencurigainya? Dan memang benar apa yang dikatakan Aria Kandaka tadi. Tidak ada bukti untuk menuduh atau mencurigai salah seorang dari mereka.
"Maaf, aku tinggal dulu," ucap Winarti tiba-tiba seraya bangkit berdiri.
"Oh, ya. Silakan...," sahut Rangga juga bangkit berdiri.
Winarti menjura memberi hormat, kemudian melangkah keluar dari ruangan ini. Rangga kembali duduk di kursinya setelah Winarti tenggelam di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Di dalam ruangan berukuran cukup besar ini, hanya ada Rangga dan Aria Kandaka saja. Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan mereka terus berbicara hingga jauh malam.
"Maaf, Paman. Boleh bertanya sedikit..?" pinta Rangga menyelak pembicaraan.
"Tentu saja, Rangga," sahut Aria Kandaka mempersilakan.
"Ini menyangkut Bibi Winarti, Paman."
"Winarti...? Ada apa dengannya...?" tanya Aria Kandaka agak terkejut
"Kudengar, Bibi Winarti sedang memperdalam ilmu-ilmunya di Gua Pantai Selatan. Kapan dia datang ke sini, Paman...?" tanya Rangga hati-hati.
"Sudah dua purnama ini," sahut Aria Kandaka.
"Kenapa kau tanyakan itu, Rangga?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja, apakah Bibi Winarti sudah menguasai ilmu-ilmu kesaktiannya. Aku senang kalau Bibi Winarti sudah semakin sempurna ilmu-ilmunya," kata Rangga kalem.
Aria Kandaka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rangga dari pertanyaannya tadi. Sesuatu yang pasti menyangkut Winarti. Sedangkan Rangga sendiri kelihatan tenang saja, meskipun dipandangi dengan sinar mata penuh selidik.
"Maaf, Paman. Mungkin aku salah menduga," ujar Rangga merasa tidak enak juga.
"Ada apa sebenarnya, Rangga...? Katakan saja," desak Aria Kandaka.
Rangga menghembuskan napas panjang, dan terasa begitu berat sekali. Hatinya seperti berat mengatakannya, takut kalau laki-laki separuh baya ini tersinggung.
"Belum lama ini, aku dan Pandan Wangi sempat mampir ke Gua Pantai Selatan. Di sana, kami sempat pula berbincang-bincang dengan Bibi Winarti. Katanya, dia masih perlu satu atau dua tahun lagi untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Dan sekarang, aku bertemu lagi di sini. Aku hanya heran saja, Paman. Karena, belum ada satu purnama bertemu dengannya di Gua Pantai Selatan," kata Rangga hati-hati.
"Dia sudah dua purnama tinggal di sini, dan membantuku menggembleng murid-murid padepokan ini. Bahkan datang membawa dua orang yang dikatakan muridnya," jelas Aria Kandaka lagi.
"Murid...? Sejak kapan Bibi Winarti punya murid, Paman?" tanya Rangga agak terkejut.
"Katanya, selama berada di Gua Pantai Selatan," sahut Aria Kandaka. "Ada apa, Rangga? Kenapa bertanya seperti itu...?"
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.
"Kuharap, kau tidak menaruh prasangka buruk pada Winarti, Rangga," agak dalam nada suara Aria Kandaka.
Rangga hanya diam saja. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bangkit berdiri, dan berpamitan hendak istirahat. Aria Kandaka tidak mencegah, dan masih tetap berada di kursinya sampai Rangga tidak terlihat lagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak termenung. Dipikirkannya kata-kata Rangga yang terakhir tadi.
"Hm.... Sepertinya Rangga mencurigai Winarti. Tapi, kenapa...?" Aria Kandaka jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Benarkah Pendekar Rajawali Sakti mencurigai Winarti? Atau itu hanya perasaan Aria Kandaka saja. Tapi pembicaraannya barusan dengan Rangga, membuat hatinya jadi tidak bisa tenteram.

61. Pendekar Rajawali Sakti : Memperebutkan Bunga WijayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang