Aria Kandaka membuka kain hitam penutup muka orang-orang itu satu persatu. Kedua matanya semakin lebar terbeliak. Sepuluh orang berpakaian serba hitam ini ternyata adalah murid-muridnya sendiri. Memang, dia tadi cepat bertindak membunuh sehingga tidak sempat lagi mengenali jurus-jurus yang mereka gunakan. Tidak heran kalau dalam beberapa gebrakan saja, sepuluh orang itu mampu dituntaskan.
"Setan...! Kenapa mereka memusuhiku...?!" dengus Aria Kandaka geram.
"Mereka lebih patuh pada perintahku, Arya Kandaka."
"Heh...?!"
Aria Kandaka cepat memutar tubuhnya. Pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat di depannya. Dan tahu-tahu, di depan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping mengenakan baju hitam pekat. Meskipun sudah berumur lebih dari empat puluh tahun, tapi wajahnya masih kelihatan cantik. Sementara Rangga yang berada di samping Aria Kandaka hanya diam saja memperhatikan.
Plok, plok, plok...!
Wanita itu menepuk tangan beberapa kali. Maka dari kegelapan malam, bermunculan orang-orang berbaju serba hitam bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung bergerak mengepung tempat ini. Ada sekitar dua puluh orang dengan kepala terselubung kain hitam. Dan hanya pada bagian matanya saja yang terlihat.
"Siapa kau sebenarnya? Kenapa mengacau padepokanku?" tanya Aria Kandaka, terdengar lantang suaranya.
"Lima tahun memang bukan waktu yang pendek. Tapi itu juga tidak cukup untuk menghapus ingatan, Aria Kandaka. Kau pasti tidak akan lupa dengan benda ini!"
Wanita berbaju serba hitam yang selama ini dikenal sebagai Winarti melemparkan sebuah benda berwarna keemasan. Benda itu jatuh tepat di ujung kaki Aria Kandaka yang terbeliak begitu mengenali benda berbentuk tusuk rambut berwarna kuning keemasan. Perlahan tubuhnya membungkuk, memungut tusuk rambut emas itu. Sebentar diperhatikannya benda itu, kemudian ditatapnya wanita berbaju serba hitam sekitar dua batang tombak di depannya.
"Mustahil...!" desis Aria Kandaka, seakan-akan tidak percaya dengan dirinya sendiri. "Kau sudah mati, Lasti...."
"Itu anggapanmu, Aria Kandaka. Tapi, kenyataannya aku masih tetap hidup. Dan sekarang, aku hendak menuntut balas!" dingin sekali nada suara wanita yang kini dikenal Aria Kandaka bernama Lasti. Bukan Winarti yang selama ini dikenalnya.
"Bagaimana mungkin kau bisa hidup? Dan wajahmu itu...?" Aria Kandaka benar-benar jadi kebingungan.
Lasti tersenyum tipis. Tangan kanannya kemudian terangkat ke wajah. Perlahan-lahan sekali tangannya bergerak seperti mengupas sesuatu di wajahnya. Dan Aria Kandaka jadi terbeliak begitu mengetahui kalau wanita itu memakai topeng yang begitu tipis, dan menyerupai wajah adiknya.
Kini, di depannya bukan lagi Winarti yang ada. Melainkan, seorang wanita berwajah cacat, penuh luka. Seperti luka akibat tergores ujung pedang. Kulit mukanya juga kelihatan hitam, seperti bekas terbakar. Aria Kandaka benar-benar terkejut, dan mengenalinya. Wajah itu memang pernah dilihatnya lima tahun yang lalu. Bahkan luka-luka di wajah yang menghitam itu akibat dari goresan ujung pedangnya.
Lima tahun yang lalu, di antara mereka memang terjadi suatu perselisihan. Tepatnya, perselisihan asmara. Dulu, selagi mereka muda, antara Aria Kandaka dengan Lasti telah terjalin cinta kasih. Namun karena Aria Kandaka mengasingkan diri ke Gunung Lawu, Lasti terpaksa ditinggalkan. Mereka memang tidak bisa bersatu, karena orang tua Lasti melarang hubungan mereka. Sebabnya, orang tua Lasti adalah antek Wira Permadi, yang memerintah Kadipaten Karang Setra waktu itu. Maka bibit cinta kemudian berkembang jadi bibit permusuhan.
Mereka kemudian bertarung di tepi sebuah jurang setelah lama tak bertemu. Aria Kandaka yang saat itu masih malang-melintang di dalam rimba persilatan, berhasil melemparkan wanita itu ke dalam jurang yang cukup dalam. Ujung pedang membabat habis wajah wanita itu.
Bahkan satu tusukan pedangnya berhasil menembus bagian dada. Memang mustahil kalau wanita yang bernama Lasti ini masih bisa bertahan hidup. Tapi kenyataannya, sekarang masih bernapas dan berada di depan orang yang dulu dicintainya.
"Kau terkejut kenapa aku masih hidup, Aria Kandaka...? Maut memang belum mau menjemputku. Seorang tua yang baik hati telah menyelamatkanku di dasar jurang. Dialah yang merawatku sehingga aku punya kesempatan membalas sakit hatiku padamu," dingin sekali suara Lasti.
Geraham Aria Kandaka menggeretak hebat. Hatinya benar-benar geram, karena selama dua purnama ini tinggal bersama-sama orang yang masih berpihak pada Wira Permadi. Bahkan semua rahasia padepokan yang dibangunnya ini sudah diketahui Lasti. Sampai tempat penyimpanan Bunga Wijayakusuma Merah pun diberi tahu.
Aria Kandaka baru menyadari, kalau saat seperti ini memang sudah direncanakan Lasti. Acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu, dimanfaatkan wanita ini untuk menghancurkannya dan padepokan yang didirikannya selama satu tahun ini. Bahkan dia berhasil memalingkan kesetiaan murid-murid Aria Kandaka padanya. Benar-benar suatu kerja yang rapi dan terencana baik. Dan ini membuat Aria Kandaka benar-benar geram. Dia merasa telah tertipu, tanpa dapat menyadari sedikit pun juga. Hasil kerjanya selama setahun ini begitu mudah dihancurkan oleh seorang wanita yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.
"Terimalah kematianmu, Aria Kandaka! Hiyaa...!"
"Uts!"
Aria Kandaka cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu pedang tipis berkelebat cepat di depan dadanya. Tapi sebelum sempat melakukan sesuatu, Lasti sudah kembali melakukan serangan cepat. Pedangnya berkelebatan dahsyat mengurung ruang gerak Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Sementara Rangga yang sudah mengetahui pertentangan cinta antara kedua orang itu segera menyingkir menjauh. Tapi, perhatiannya tidak lepas dari orang-orang berbaju serba hitam yang mengelilingi sekitar tempat pertarungan ini. Pada saat itu, terlihat tamu-tamu undangan yang masih berada di padepokan menghampiri. Mereka tak ada yang berbuat sesuatu, dan hanya berdiri saja menyaksikan pertarungan Aria Kandaka melawan wanita berbaju serba hitam dari luar lingkungan kepungan orang berbaju hitam yang menggenggam senjata golok terhunus di depan dada.
Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus berjalan cepat. Dan masing-masing sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang dahsyat. Begitu cepatnya pertarungan berlangsung, sehingga tubuh mereka lenyap. Yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan disertai kilatan-kilatan cahaya pedang.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Tiba-tiba saja Aria Kandaka mengecutkan cepat pedangnya ke dada wanita berbaju serba hitam itu. Sungguh sulit dipercaya. Lasti tidak berusaha berkelit sedikit pun. Bahkan pertahanannya di bagian dada dibuka lebar-lebar. Maka tak pelak lagi, pedang Aria Kandaka yang terkenal dahsyat itu menghantam dada Lasti dengan keras.
"Ha ha ha...!" Lasti malah tertawa terbahak-bahak.
"Heh...?! Edan...!" dengus Aria Kandaka terbeliak tidak percaya.
Bukan hanya Aria Kandaka saja yang terkejut setengah mati. Tapi, Rangga dan juga semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terkejut! Betapa tidak...? Jelas sekali kalau pedang Aria Kandaka membabat dada Lasti. Tapi, wanita itu tetap berdiri tegar. Bahkan tak ada sedikit pun luka di dadanya.
Aria Kandaka cepat-cepat melompat mundur. Pandangannya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengecutkan pedang di depan dada, lalu cepat melompat Pedangnya langsung dibabatkan ke leher wanita berbaju serba hitam itu.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Bet!
"Heh...?!"
Untuk kedua katinya mata Aria Kandaka terbeliak. Sukar dipercaya! Pedang kebanggaannya selama ini ternyata patah jadi dua bagian begitu menghantam leher wanita berbaju serba hitam itu. Pada saat yang bersamaan, Lasti menghentakkan tangan kanannya. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras meng-geledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Des!
"Akh...!"
Aria Kandaka terpekik keras. Tubuhnya terpental ke belakang begitu pukulan yang dilepaskan Lasti mendarat telak di dada. Keras sekali tubuhnya jatuh terguling di tanah. Darah seketika muncrat dari mulutnya. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Aria Kandaka bangkit berdiri.
"Ugkh!"
Kembali dimuntahkannya darah segar dari mulut. Tarikan napasnya juga jadi terhambat, akibat pukulan bertenaga dalam tinggi yang mendarat di dada.
"Saatmu sudah tiba, Aria Kandaka! Hiyaaat..!"
Lasti melompat cepat bagaikan kilat Pedangnya berkelebat mengarah ke leher Aria Kandaka. Tak ada lagi kesempatan bagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu untuk menghindar. Terlebih lagi, saat ini tengah menderita luka dalam yang cukup parah di bagian dada. Aria Kandaka hanya dapat mendesis dan terbeliak melihat Lasti sudah melancarkan serangan cepat, dengan pedang mengarah ke leher. Tapi pada saat mata pedang itu hampir membabat leher Aria Kandaka, mendadak saja....
Trang!
"Ikh...?!"
Lasti tersentak kaget setengah mati. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan. Cepat-cepat serangannya ditarik, lalu melompat mundur sejauh dua batang tombak. Manis sekali kedua kakinya menjejak tanah.
"Setan...!" geram Lasti begitu melihat Rangga sudah berdiri di samping Aria Kandaka.
"Sudah cukup kau menghancurkannya, Nisanak. Tidak perlu sampai membunuhnya," tegas Rangga.
"Minggir! Ini bukan urusanmu!" bentak Lasti geram.
"Aku memang tidak ada urusan dalam hal ini. Tapi tindakanmu sudah kelewat batas, Nisanak. Kau hancurkan nama baik seseorang, hanya untuk mengumbar nafsu dan dendammu," kata Rangga, tetap tegas suaranya.
"Hanya satu kali kuperingatkan, Pendekar Rajawali Sakti! Minggirlah, atau kau juga ingin mampus!" ancam Lasti tidak main-main.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit.
Mata Pendekar Rajawali Sakti melirik Aria Kandaka yang berada di sampingnya. Keadaan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung. Luka dalam akibat pukulan Lasti tadi, seakan-akan telah meremukkan seluruh rongga dadanya. Bahkan tarikan napasnya saja sudah demikian terhambat.
"Menyingkirlah, Paman. Biar kutangani dia," ujar Rangga.
"Hati-hatilah, Rangga. Aku yakin dia membawa Bunga Wijayakusuma Merah. Tubuhnya jadi kebal, dan kepandaiannya berlipat ganda," Aria Kandaka memperingatkan.
Setelah memperingatkan Pendekar Rajawali Sakti, Aria Kandaka bergerak ke belakang menjauhi. Sementara Lasti sudah bersiap melakukan serangan. Pedangnya sudah melintang di depan dada. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Matanya menatap tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita berbaju serba hitam di depannya.
"Aku sering mendengar julukanmu, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal kalau mati di tanganku," ancam Lasti dingin.
"Aku hanya ingin mencoba keampuhan Bunga Wijayakusuma Merah yang kau bawa," sambut Rangga kalem.
"Rupanya kau sudah tahu kalau aku yang memiliki bunga itu, Pendekar Rajawali Sakti," desis Lasti dingin.
"Ya. Karena tak ada orang lain lagi yang tahu tempat penyimpanannya selain kau. Mustahil bunga itu hilang begitu saja dari tempatnya."
"Kau baru datang siang tadi, tapi sudah tahu segalanya. Aku mengagumi kepintaranmu dalam menilai, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sayang, kau akan mati malam ini," semakin dingin suara Lasti.
"Terima kasih."
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, mereka melompat saring menerjang. Lasti melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dengan tangan kirinya. Serangan itu langsung disambut Rangga dengan hentakan tangan kanannya. Dua pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu di udara, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.
Tampak mereka sama-sama terpental berputaran ke belakang. Hampir bersamaan pula, mereka mendarat kembali di tanah. Lasti langsung melesat lagi begitu kakinya menjejak tanah. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan ke arah dada Rangga. Namun dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari tebasan pedang wanita berbaju serba hitam ini.
Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Lasti yang sudah banyak mendengar kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, tidak lagi bermain tanggung-tanggung, meskipun sekarang ini sudah menguasai Bunga Wijayakusuma Merah yang membuat kepandaiannya jadi berlipat ganda. Bahkan tubuhnya juga jadi kebal terhadap senjata. Itu terbukti ketika pedang Aria Kandaka patah begitu membabat lehernya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sampai sepuluh jurus berlalu, Rangga masih menghadapi dengan tangan kosong. Beberapa kali pukulannya berhasil mendarat, tapi tak sedikit pun membuat Lasti goyah. Bahkan wanita itu kelihatan semakin garang. Dan setiap pukulan Rangga yang mendarat di tubuhnya, membuat kekuatan wanita itu terus bertambah. Hingga, tak sedikit pun merasa sakit setiap kali mendapat pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm... Kekuatannya semakin bertambah besar saja. Sungguh dahsyat pengaruh bunga itu pada dirinya," gumam Rangga langsung menyadari.
Sementara Lasti semakin dahsyat saja melancarkan serangan-serangannya. Dan Rangga tidak lagi membalas menyerang. Dia hanya berkelit, berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Pendekar Rajawali Sakti terus mencari kelemahan wanita berbaju serba hitam itu. Hingga akhirnya....
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat tubuhnya meluruk deras membuka jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Cepat sekali serangan yang dilakukan Rangga kali ini, sehingga Lasti tak sempat lagi menyadari. Dan sebelum wanita berwajah penuh luka itu melakukan sesuatu, kaki Pendekar Rajawali Sakti sudah mendepak kepalanya.
"Akh...!" Lasti terpekik keras agak tertahan. Wanita bermuka buruk penuh luka itu kontan terhuyung-huyung terkena dupakan kaki Rangga pada kepalanya. Dan sebelum dapat berbuat sesuatu, Rangga sudah mencabut pedang pusakanya. Sinar biru langsung menerangi sekitarnya. Kemudian pedangnya dikebutkan ke arah dada. Tapi Pendekar Rajawali Sakti menahan arus tebasan sedikit, sehingga ujung pedangnya hanya menebas baju bagian dada wanita itu.
Bet!
"Ikh...?!"
Lasti jadi kelabakan, karena bagian dadanya jadi terbuka. Pada saat itu, tangan kiri Rangga bergerak cepat menyambar bagian perut wanita itu.
Bret!
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya sejauh dua batang tombak dari wanita berbaju serba hitam ini. Di tangan kirinya kini telah tergenggam sobekan baju Lasti. Di antara sobekan kain itu, terdapat sekuntum bunga berwarna merah bagai berlumur darah.
"Keparat..!" geram Lasti.
Rangga tersenyum melihat hasil serangannya begitu memuaskan. Kini tak ada lagi kekuatan yang dimiliki Lasti tanpa Bunga Wijayakusuma Merah. Pendekar Rajawali Sakti memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru terang langsung lenyap seketika begitu pedang itu tenggelam ke dalam warangka.
"Kubunuh kau, Rangga! Hiyaaat..!"
Lasti jadi nekat. Bagaikan kilat dia melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya dikibaskan disertai pengerahan seluruh kemampuan tenaganya. Tapi hanya sedikit saja Rangga menarik tubuh ke belakang, tebasan pedang itu berhasil dihindari. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti berhasil memasukkan satu sodokan tangan kanan ke dada wanita ini.
"Akh...!"
Lasti terpental ke belakang, dan tidak dapat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh telentang di tanah. Dan pada saat itu, Aria Kandaka melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok yang dipungutnya dari tanah.
"Hiyaat..!"
"Paman, jangan...!" seru Rangga mencoba mencegah. Tetapi terlambat...
Bres! "Aaa...!"
Golok di tangan Aria Kandaka langsung menghunjam dalam ke dada wanita berwajah buruk penuh luka itu. Darah seketika menyembur deras sekali. Lasti berkelojotan, sementara golok masih memanggang dadanya dengan dalam hingga sampai ke pangkal gagangnya.
Tak berapa lama dia mengejang, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Aria Kandaka cepat melompat mundur begitu melihat bekas kekasih yang telah menjadi musuh bebuyutannya sudah tak bernyawa lagi. Saat itu Rangga sudah berada di sampingnya. Perlahan Aria Kandaka memutar tubuhnya menghadap Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar ditatapnya pendekar muda itu, lalu pandangannya beredar ke sekeliling.
"Pergilah. Bawa bunga itu untuk Nyai Karti. Dia lebih membutuhkan daripada aku," kata Aria Kandaka.
"Bagaimana dengan di sini?" tanya Rangga.
"Biar aku yang mengurus. Tidak semua muridku berkhianat," sahut Aria Kandaka.
Memang di tempat ini, terlihat beberapa orang pemuda berbaju serba merah. Sedangkan sekitar tiga puluh orang berbaju hitam sudah menjatuhkan diri, berlutut begitu melihat Lasti tewas. Dan orang-orang persilatan yang masih berada di padepokan ini, satu persatu menyingkir meninggalkan bagian belakang padepokan ini. Mereka seperti tidak mau tahu, apa yang sebenarnya terjadi.
Rangga menatap dua orang gadis kembar yang tadi menyatu bersama orang-orang persilatan tamu undangan Padepokan Gunung Lawu ini. Rangga tidak lagi terkejut melihat mereka. Memang sudah diduga kalau kedua gadis kembar itu pasti datang kembali ke padepokan ini untuk mencari Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat dibutuhkan bagi penyembuhan ibu mereka dari kelumpuhan. Rangga tak peduli kalau kedua gadis itu merasa malu, karena tak mempercayainya.
"Aku akan kembali lagi ke sini, Paman," kata Rangga.
"Kedatanganmu selalu kuharapkan. Pergilah, sebelum ada di antara mereka yang menginginkan bunga itu," sahut Aria Kandaka.
Rangga menjura memberi hormat, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah mendekati dua orang gadis kembar itu. Sementara Aria Kandaka masih berdiri memperhatikan. Sebentar Rangga berbicara pada Dewi Kembar dari Utara, kemudian mereka sama-sama beranjak pergi meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini.***
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
61. Pendekar Rajawali Sakti : Memperebutkan Bunga Wijayakusuma
AcciónSerial ke 61. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.