Tidak seperti hari-hari biasanya, kini sekitar kaki Gunung Lawu tampak ramai, terlebih lagi di Desa Lambak, yang terletak di sebelah Timur kaki gunung itu. Sepertinya, tak ada tempat lagi bagi orang-orang yang datang ke desa itu. Entah dari mana mereka datang. Setiap hari, selalu saja bertambah. Kedatangan orang-orang yang tampaknya dari kalangan persilatan itu, tentu saja membuat Ki Sutar yang merupakan kepala Desa Lambak jadi kebingungan setengah mati.
Laki-laki tua itu tidak tahu, kenapa desanya tiba-tiba saja didatangi orang-orang dari kalangan persilatan begitu banyak. Kekhawatiran seketika timbul di hatinya. Kekhawatiran yang wajar, melihat semua orang yang datang rata-rata memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan tinggi. Belum lagi, hampir semuanya membawa senjata. Ki Sutar khawatir terjadi keributan di antara mereka. Terlebih lagi jika melibatkan para penduduk. Hal inilah yang membuat Ki Sutar begitu khawatir, sehingga memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki maksud kedatangan mereka.
“Bagaimana? Apa kalian sudah mendapatkan keterangan?” tanya Ki Sutar pada dua orang pembantunya yang datang menghadap.
“Mereka hendak ke puncak Gunung Lawu, Ki,” sahut salah seorang yang masih terlihat muda.
“Ke puncak Gunung Lawu...? Mau apa kesana?” tanya Ki Sutar tidak mengerti.
Kedua anak muda itu tidak menjawab. Sementara Ki Sutar memandangi kedua pembantunya ini dalam-dalam. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi, kedua anak muda itu tetap diam tidak membuka suara. Mereka malah saling berpandangan satu sama lain.
“Kalian tahu, untuk apa mereka ke puncak Gunung Lawu?” tanya Ki Sutar lagi.
“Tidak, Ki,” sahut pemuda satunya lagi yang mengenakan baju warna kuning muda.
“Tidak...?! Lalu, apa saja yang kalian ketahui?” Ki Sutar jadi mengerutkan kening.
Belum juga kedua pemuda itu menjawab, tiba-tiba datang tergopoh-gopoh seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Dia langsung jatuh terduduk di lantai. Seluruh pakaiannya kotor berdebu. Keringat mengucur deras, membasahi wajah dan lehernya. Ki Sutar dan kedua pemuda pembantunya jadi terkejut.
“Ada apa ini...? Apa yang terjadi padamu, Warjan?” tanya Ki Sutar terkejut melihat keadaan orang yang baru datang itu.
Orang yang bernama Warjan juga salah satu pembantunya yang ditugaskan menyelidiki kedatangan orang-orang persilatan ke desa ini. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tidak langsung menjawab. Napasnya masih terengah-engah. Disekanya keringat yang membanjiri leher.
“Celaka, Ki.... Celaka...,” lapor Warjan masih tersengal.
“Katakan yang benar. Ada apa...?” agak menyentak suara Ki Sutar.
“Mereka mulai membuat keributan. Aku berusaha melerai, tapi mereka malah mengeroyokku...,” lapor Warjan masih agak tergagap.
“Ohhh...,” Ki Sutar mendesah panjang. Inilah yang dikhawatirkan sejak semula. Kedatangan orang-orang persilatan memang tidak bisa membuat tenang. Biarpun kecil, pasti terjadi keributan di antara mereka. Ki Sutar khawatir, keributan itu akan menjalar lebih luas lagi. Dia tidak ingin desa yang tenteram dan damai ini jadi ajang pertumpahan darah.
“Di mana keributan itu terjadi?” tanya Ki Sutar.
“Di sebelah Selatan, Ki,” jawab Warjan.
“Ada penduduk yang terlibat?” tanya Ki Sutar lagi. Nada suaranya terdengar penuh kecemasan.
“Tidak, Ki,” sahut Warjan mulai agak tenang suaranya.
Ki Sutar terdiam lagi. Kakinya melangkah ke depan, dan berhenti di ambang pintu. Pandangannya lurus ke jalan ramai yang dipadati orang bersenjata dan berpakaian aneh-aneh, bercampur baur dengan penduduk Desa Lambak. Sementara Warjan dan dua orang pemuda pembantu kepala desa itu hanya diam, sambil duduk bersila di lantai. Mereka memandangi Ki Sutar yang masih berdiri di ambang pintu menghadap keluar.
“Kalian ikut aku,” ujar Ki Sutar tanpa berpaling sedikit pun.
Laki-laki tua yang masih tampak gagah itu melangkah keluar, diikuti Warjan dan dua pemuda pembantunya. Tak berapa lama kemudian, mereka terlihat sudah berkuda meninggalkan rumah berukuran cukup besar dan berhalaman luas. Mereka langsung menyatu dengan orang-orang yang memadati jalan tanah dan berdebu ini.***
Sementara itu, di sebelah Selatan Desa Lambak tampak dua orang tengah bertarung senjata, disaksikan sekitar dua puluh orang. Seorang yang mengenakan baju ketat berwarna hitam, tampak memegang sepasang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing. Sedangkan lawannya yang mengenakan baju warna merah, menggunakan senjata berupa tameng berbentuk segi tiga berwarna perak.
Dua puluh orang yang menyaksikan pertarungan tampaknya juga dari kalangan persilatan. Ini terlihat dari senjata-senjata yang disandang. Entah sudah berapa lama pertarungan itu berlangsung. Dan tampaknya, masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus andalan yang ampuh dan dahsyat. Tapi, belum kelihatan tanda-tanda kalau pertarungan bakal berhenti. Mereka sama-sama tangguh dan digdaya. Sehingga orang-orang yang menyaksikan tidak mengerdipkan mata sedikit pun.
“Berhenti...!”
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Begitu kerasnya, sehingga membuat mereka yang ada di sekitar pertarungan jadi terkejut. Bahkan dua orang yang tengah bertarung itu pun langsung berlompatan mundur, menghentikan pertarungannya. Mereka semua menoleh ke arah datangnya bentakan tadi.
Tampak di atas sebongkah batu yang cukup besar dan tinggi bagai sebuah bukit kecil, berdiri seseorang mengenakan baju hitam pekat. Kepalanya tertutup caping berukuran lebar, sehingga seluruh wajahnya tertutup caping itu. Pakaian yang dikenakan begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang bergagang kepala naga, tampak tersampir di punggungnya.
“Tidak ada gunanya kalian bertarung di sini. Kenapa tidak segera ke puncak Gunung Lawu...?” lantang sekali suara orang bercaping lebar itu.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka hanya saling melemparkan pandang, kemudian kembali menatap orang berbaju hitam itu. Tanpa ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, tempat itu mulai ditinggalkan satu persatu. Sementara dua orang yang tadi bertarung, masih berada di tempatnya. Mereka saling berpandangan tajam, seakan-akan belum puas dengan pertarungan yang terhenti barusan.
“Kita akan bertemu lagi di puncak Gunung Lawu, Pendekar Tombak Kembar,” tantang orang baju merah yang memegang sebuah perisai segitiga berwarna keperakan.
“Aku tunggu kau di sana, Perisai Maut,” sambut laki-laki muda yang dipanggil Pendekar Tombak Kembar.
Kembali mereka saling bertatapan, kemudian sama-sama meninggalkan tempat itu dengan arah berlawanan. Sementara orang berbaju hitam ketat yang wajahnya tertutup caping besar masih tetap berdiri di atas batu, meskipun sudah tak ada seorang pun di tempat pertarungan itu tadi.
Pada saat itu, Ki Sutar dan ketiga orang pembantunya sampai di tempat ini. Sementara orang berbaju hitam yang seluruh kepalanya tertutup caping lebar masih berdiri tegak di atas batu yang cukup tinggi, bagaikan sebuah bukit. Tak ada orang lain lagi selain mereka. Ki Sutar melompat turun dari atas punggung kuda. Gerakannya indah dan ringan sekali.
“Di mana mereka, Warjan?” tanya Ki Sutar.
“Tadi mereka bertarung di sini, Ki,” jelas Warjan.
“Hm...,” gumam Ki Sutar perlahan. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekitarnya memang berantakan, seperti baru saja terjadi pertarungan sengit. Juga banyak tapak kaki yang membekas di tanah berumput kering ini. Dia tahu, Warjan tidak berdusta. Tapi apa mungkin pertarungan bisa berlangsung begitu cepat, dan berakhir begitu saja...? Ki Sutar yang sedikitnya mengetahui kehidupan orang-orang persilatan, sudah tidak merasa aneh lagi oleh pertarungan yang berlangsung cepat. Hanya saja, di sini tidak ditemukan adanya bercak darah. Apalagi sesosok mayat.
Pandangan Ki Sutar tertuju pada sosok tubuh berbaju hitam dan bercaping lebar. Perlahan Ki Sutar melangkah menghampiri. Tapi belum juga dekat dengan batu besar itu, orang berbaju serba hitam dan bercaping lebar sudah melompat turun dari atas batu. Gerakannya begitu ringan. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar lima langkah lagi di depan Ki Sutar.
“Hm.... Siapa kau?” tanya Ki Sutar sambil memandangi orang yang tidak kelihatan wajahnya.
“Aku si Caping Maut,” sahut orang itu memperkenalkan diri.
“Caping Maut..,” gumam Ki Sutar perlahan.
Laki-laki tua itu kembali memandang dalam-dalam orang bercaping lebar. Nama besar si Caping Maut sering didengarnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah punya nama, dan sangat disegani di kalangan rimba persilatan. Tapi, baru kali inilah Ki Sutar bertemu orangnya.
“Maaf, kalau kedatangan mereka membuatmu repot,” ucap si Caping Maut dengan suara lembut dan bernada sopan.
“Mereka memang sudah membuat kehidupan kami terusik,” jelas Ki Sutar berterus terang.
“Tidak lama, Ki. Besok juga mereka sudah meninggalkan desa ini. Mereka hendak berkumpul di puncak Gunung Lawu,” kata si Caping Maut memberi tahu. Masih dengan nada suaranya yang lembut dan sopan.
“Boleh aku tahu, untuk apa mereka ke Gunung Lawu?” tanya Ki Sutar.
“Mereka semua mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu,” jawab si Caping Maut
“Padepokan Gunung Lawu...?!” Ki Sutar mengerutkan keningnya.
“Apa kau tidak mendapat undangan, Ki?” si Caping Maut malah bertanya, setelah melihat kepala desa itu seperti kebingungan mendengar penjelasannya tadi.
“Jangankan undangan. Aku sendiri tidak tahu kalau di Puncak Gunung Lawu berdiri sebuah padepokan,” agak mendengus suara Ki Sutar.
“Oh..., benarkah...?” kini si Caping Maut yang kelihatannya terkejut.
Perlahan laki-laki berbaju hitam itu membuka caping yang menutupi kepalanya. Maka, terlihatlah seraut wajah tampan di balik sebuah caping lebar dan berwarna hitam itu. Wajah dengan senyum menawan dan sinar mata berbinar, bagaikan mata seorang bayi yang baru dilahirkan.
“Seharusnya kau menerima undangan, Ki. Semua kepala desa di sekitar kaki Gunung Lawu ini telah menerima undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Hm..., tidak heran jika kau terkejut melihat kedatangan mereka yang memenuhi desamu,” kata si Caping Maut lagi.
“Aku memang terkejut. Tidak pernah desa ini kedatangan orang dari kalangan persilatan begini banyak. Paling-paling, satu dua orang saja. Dan itu pun hanya singgah satu dua hari. Mereka kemudian kembali meninggalkan desa ini tanpa menimbulkan masalah apa pun juga,” jelas Ki Sutar, seperti mengeluh.
“Kalau begitu, maafkan atas kelalaian Ketua Padepokan Gunung Lawu,” ucap si Caping Maut seraya menjura memberi hormat.
Ki Sutar jadi kikuk juga, tapi cepat membungkukkan tubuhnya sedikit untuk membalas penghormatan tokoh persilatan yang sudah kondang namanya itu.
“Aku akan menegur Ketua Padepokan Gunung Lawu. Kuharap kau menerima undangan sebelum terlambat, Ki,” kata si Caping Maut lagi, seraya mengenakan caping hitamnya kembali.
Belum juga Ki Sutar mengucapkan sesuatu, laki-laki bercaping hitam itu sudah melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Ki Sutar dan ketiga orang pembantunya jadi terlongong.
“Ayo, kita kembali,” ajak Ki Sutar, langsung melompat naik ke punggung kudanya.
Empat orang itu kemudian sudah kembali bergerak meninggalkan tempat itu. Suasana pun menjadi sunyi, seperti tidak pernah terjadi sesuatu di sini.
“Tidak ada seorang pun yang ada di desa ini lagi, Ki,” jelas Warjan.
Ki Sutar hanya diam saja, memandang lurus ke depan. Warjan dan dua orang anak muda pembantu kepala desa itu saling berpandangan. Sejak mereka bertemu si Caping Maut, sikap kepala desa ini jadi berubah. Sering melamun, dan selalu berdiam diri menyendiri. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki tua gagah ini.
“Warjan..,” panggil Ki Sutar, perlahan suaranya.
“Ya, Ki,” sahut Warjan seraya mendekat di samping kepala desa itu.
“Aku akan ke puncak Gunung Lawu. Dan selama kepergianku, kaulah yang bertanggung jawab atas seluruh desa ini,” ujar Ki Sutar.
“Ketua Padepokan Gunung Lawu sudah memberi undangan, Ki?” tanya Warjan agak terkejut mendengar keputusan kepala desa Ini.
“Semalam, aku mendapat undangan darinya,” sahut Ki Sutar.
“Semalam...?” Warjan mengerutkan kening.
“Aku tidak tahu, siapa yang memberikannya. Undangan itu sudah ada di kamarku. Ada di meja kecil dekat jendela,” Ki Sutar menjelaskan tentang undangan yang diterimanya dari Ketua Padepokan Gunung Lawu.
Warjan hanya diam dengan kepala terangguk-angguk. Semalaman dia tidak tidur untuk menjaga sekeliling rumah ini, namun sama sekali tidak melihat ada orang datang membawa undangan untuk majikannya. Apalagi undangan itu sampai berada di kamar peristirahatan Ki Sutar sendiri.
“Aku berangkat sekarang,” kata Ki Sutar seraya melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.
“Kenapa tidak besok saja, Ki?” usul Warjan.
Ki Sutar tidak menjawab, dan terus saja melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar ditatapnya Warjan, dan dua orang anak muda pembantunya. Mereka hanya memandangi kepala desa itu dengan segudang pertanyaan di kepala. Mereka tidak mengerti, kenapa Ki Sutar tiba-tiba saja memutuskan hendak pergi ke puncak Gunung Lawu setelah mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Bahkan Ki Sutar berat meninggalkan desa ini, karena seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
Tanpa bicara apa pun juga, Ki Sutar segera meng-gebah kuda meninggalkan rumahnya yang berukuran cukup besar itu. Sementara Warjan dan dua orang pembantu kepala desa itu hanya bisa memandangi tanpa dapat mencegah lagi. Apalagi memberi usul agar Ki Sutar menunda kepergiannya. Sementara, Ki Sutar sudah jauh meninggalkan rumahnya. Kudanya digebah cepat menuju ke Gunung Lawu.***
KAMU SEDANG MEMBACA
61. Pendekar Rajawali Sakti : Memperebutkan Bunga Wijayakusuma
ActionSerial ke 61. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.