Saat matahari baru menampakkan diri di puncak Gunung Lawu, semua tamu undangan sudah memadati halaman depan Padepokan Gunung Lawu. Mereka menempati kursi-kursi yang telah disediakan, mengelilingi panggung besar yang berdiri di tengah-tengah halaman. Sementara beberapa kursi yang berada pada barisan depan di belakang panggung, masih terlihat kosong. Kursi itu diperuntukkan bagi ketua Padepokan Gunung Lawu dan keluarga serta para kerabat dekatnya.
Semua murid padepokan itu sudah berjajar rapi di sekitar panggung. Mereka mengenakan pakaian warna merah, dengan bentuk dan potongan sama. Ada sekitar lima puluh orang yang rata-rata masih berusia muda, dan masing-masing menyandang pedang serta tombak.
Gong...!
Tiba-tiba terdengar gong dipukul. Suara yang begitu keras dan menggema, membuat suara-suara menggumam dari orang-orang yang berbicara seketika terhenti. Semua mata tertuju ke pintu depan bangunan besar yang berada tidak jauh dari panggung ini.
Begitu pintu terbuka, muncul Aria Kandaka didampingi adik perempuannya, Winarti. Di belakang mereka menyusul beberapa orang laki-laki. Mereka berjalan menuju ke panggung, disaksikan puluhan pasang mata dari para tamu undangan. Aria Kandaka langsung naik ke atas panggung. Sedangkan yang lain duduk di kursi yang sudah disediakan. Suasana pun menjadi hening, begitu Aria Kandaka sudah berdiri di tengah-tengah panggung. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengedarkan pandangan ber-keliling. Kemudian, tubuhnya membungkuk memberi penghormatan pada semua tamu undangannya.
"Atas nama seluruh penghuni Padepokan Gunung Lawu, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran saudara-saudara yang telah menyempatkan diri datang memenuhi undangan..," terdengar lantang dan berwibawa suara Aria Kandaka.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Semua terdiam mendengarkan kata sambutan yang diberikan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Semua mata tertuju pada Aria Kandaka yang kali ini mengenakan baju putih bersih, yang bagian belakang-nya panjang. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya. Tampak gagah dan berwibawa kelihatannya.
"Maksud kami mengundang saudara-saudara semua adalah untuk memohon pengakuan dan restu atas kehadiran Padepokan Gunung Lawu, yang hari ini genap berusia satu tahun. Dan kami akan memperlihatkan hasil tempaan selama satu tahun ini dari murid-murid Padepokan Gunung Lawu. Kami berharap, saudara-saudara semua bisa menilai, apakah Padepokan Gunung Lawu pantas berdiri atau tidak," sambung Aria Kandaka.
Setelah mengucapkan beberapa kata sambutan lagi, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu pun melangkah turun dari panggung diiringi suara riuh tepuk tangan para hadirin yang memadati halaman. Memang bukan hanya undangan saja yang hadir. Tidak sedikit para penduduk desa di sekitar kaki Gunung Lawu yang datang ingin menyaksikan peringatan satu tahun berdirinya padepokan ini. Juga, dari padepokan-padepokan lain yang ada di sekitar Gunung Lawu yang mengirimkan utusan-utusannya untuk menyaksikan kemampuan murid-murid Padepokan Gunung Lawu.
Setelah Aria Kandaka duduk di kursi yang telah disediakan untuknya, dua orang berbaju merah melompat naik ke atas panggung. Gerakan mereka begitu indah dan ringan sekali. Mereka membungkuk untuk memberi hormat pada ketua padepokan itu, kemudian membungkuk pada para hadirin. Lalu, mereka sama-sama memberi penghormatan. Tanpa berbicara sedikit pun, mereka langsung memperagakan keahliannya masing-masing dalam ilmu olah kanuragan.
Suara-suara riuh dari tepukan tangan, dan celetukan-celetukan mulut usil mulai terdengar. Acara demi acara pun berlangsung. Murid-murid Padepokan Gunung Lawu yang sudah dipersiapkan tampil mempertunjukkan kemahirannya, bergantian berlompatan naik ke atas panggung. Acara seperti ini memang membosankan. Terlihat dari para undangan yang mulai tidak betah lagi duduk di kursinya. Tiba-tiba, salah seorang undangan bangkit berdiri dari kursinya.
"Aria Kandaka...! Apa kau tidak bisa menampilkan pertunjukan menarik...?" lantang sekali suara orang yang mengenakan baju merah menyala itu.
Dia adalah seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya tinggi tegap, dan menyandang golok berukuran besar yang bagian atasnya bergerigi. Perhatian semua orang, langsung tertuju padanya. Bahkan empat orang murid Padepokan Gunung Lawu yang sedang berlaga, jadi menghentikan pertunjukannya. Mereka tahu, siapa orang yang mengeluarkan suara lantang menggelegar itu. Di kalangan persilatan, julukannya adalah Golok Iblis Peminum Darah.
"Hup!" Tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat naik ke atas panggung. Gerakannya begitu ringan dan indah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di tengah-tengah panggung.
"Dengar kalian semua! Aku akan mempertunjukkan sesuatu yang menarik!" ujar si Golok Iblis Peminum Darah, dengan suara keras dan lantang menggelegar.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat cepat. Langsung dilontarkannya beberapa pukulan keras menggeledek ke arah empat orang murid Padepokan Gunung Lawu yang berada di atas panggung. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadari. Tahu-tahu, empat orang murid itu sudah berpelantingan jatuh keluar panggung.
Suara-suara riuh dan gumaman terdengar seketika, begitu empat orang murid Padepokan Gunung Lawu itu terkapar di tanah. Beberapa orang murid lainnya bergegas menghampiri memberi pertolongan. Mereka mengangkut keempat pemuda itu, menjauhi panggung. Melihat acara yang semula berjalan lancar mulai dirusak, Winarti cepat bangkit berdiri. Tapi, Aria Kandaka lebih cepat lagi mencekal tangan adiknya ini. Terpaksa Winarti duduk kembali di kursinya sambil mendengus.
"Aria Kandaka...! Tampilkan orang terbaikmu ke sini. Kalau ada di antara murid-muridmu yang bisa menandingiku dalam lima jurus, keberadaan padepokanmu akan kuakui!" ujar si Golok Iblis Peminum Darah lantang menggelegar.
"Biar aku yang membungkam mulutnya, Ki Kandaka," kata seorang anak muda yang duduk di sebelah kiri Aria Kandaka.
Aria Kandaka memandang anak muda itu sejenak, kemudian menatap ke arah panggung tempat si Golok Iblis Peminum Darah berdiri tegak di sana. "Baik. Hati-hatilah kau, Raseta," kata Aria Kandaka mengizinkan.
"Terima kasih, Ki."
Pemuda yang dipanggil Raseta itu cepat melesat naik ke panggung. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas panggung, hanya beberapa langkah saja di depan si Golok Iblis Peminum Darah. Pada saat itu, seorang laki-laki tua berjubah kuning panjang dan berkepala gundul naik juga ke atas panggung.
"Sebentar...," katanya lembut.
Raseta segera menjura memberi hormat pada orang tua berjubah kuning gading itu. Sedangkan si Golok Iblis Peminum Darah hanya mendengus saja. Matanya melirik sedikit pada orang tua berjubah kuning gading itu.
"Aku ingin, acara ini tidak dikotori oleh darah dan nafsu pribadi. Memang sebaiknya Padepokan Gunung Lawu ini bisa menunjukkan kemampuannya melawan para undangan yang ada. Tapi, hendaknya memberi batasan, agar jangan sampai menimbulkan korban. Terlebih lagi, sampai ada darah menetes," ujar orang tua berjubah kuning gading itu berwibawa.
"Kami akan menuruti anjuran Paman Pendeta," ujar Raseta seraya menjura memberi hormat.
"Bagus. Dalam hal ini, aku akan menjadi penengah. Dan siapa saja yang jatuh keluar panggung, itu yang kalah. Bagaimana...?"
"Setuju, Paman Pendeta," sahut Raseta cepat.
"Silakan kalian mulai."
Laki-laki tua berkepala gundul yang mengenakan baju jubah kuning panjang itu melangkah turun dari panggung. Sementara si Golok Iblis Peminum Darah hanya mendengus saja, seakan tidak senang oleh peraturan yang diberikan pendeta tua itu.
"Maaf. Sebagai tuan rumah, aku mempersilakan Paman menyerang lebih dulu," kata Raseta sopan.
"Phuih!" Sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit, si Golok Iblis Peminum Darah menggeser kaki sedikit ke kanan. Kemudian goloknya yang berukuran besar dan bergerigi di depan dada disilangkan. Sementara Raseta hanya memperhatikan saja, dan masih berdiri tegak tak bergeming sedikit pun juga.
"Hiyaaat..!" Bagaikan kilat, si Golok Iblis Peminum Darah melompat menerjang pemuda itu. Goloknya yang berukuran besar berkelebat cepat, membabat ke arah dada Raseta.
Namun manis sekali Raseta menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok itu lewat di depan dadanya. Dan sebelum si Golok Iblis Peminum Darah bisa menarik kembali senjatanya, tiba-tiba saja Raseta sudah memberi satu serangan balasan yang cepat. Dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya, membuat si Golok Iblis Peminum Darah jadi terkejut setengah mati.
"Hiyaaat..!"
Cepat-cepat si Golok Iblis Peminum Darah melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Saat itu, Raseta juga sudah melompat mengejar. Kembali diberikannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada si Golok Iblis Peminum Darah. Tapi Raseta cepat-cepat menarik pukulannya, begitu si Golok Iblis Peminum Darah mengebutkan senjata untuk menangkis pukulan yang diberikan Raseta.
Bahkan kini si Golok Iblis Peminum Darah sudah cepat menyerang dahsyat Goloknya yang berukuran besar, berkelebat mengincar tubuh anak muda itu. Akibatnya, Raseta harus berjumpalitan menghindarinya. Semua orang yang menyaksikan perarungan itu jadi menahan napas. Bahkan beberapa tamu undangan mulai kasak-kusuk, berbisik-bisik sambil tidak lepas memperhatikan jalannya pertarungan yang semakin sengit.
Tanpa terasa, lima jurus sudah berlalu. Beberapa celetukan usil mulai terdengar mengejek si Golok Iblis Peminum Darah yang tadi sesumbar akan menjatuhkan Raseta kurang dari lima jurus. Dan sekarang, sudah lebih dari lima jurus. Tapi, Raseta malah tetap tegar.
"Cukup...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, disusul melesatnya bayangan kuning naik ke atas panggung. Pendeta tua yang tadi memberi peraturan, tahu-tahu sudah berdiri di atas panggung. Maka pertarungan itu pun seketika berhenti. Mereka sama-sama memandang pendeta tua itu. Raseta segera melompat mundur, lalu menjura memberi hormat.
"Kau sudah kalah, Golok Iblis. Sebaiknya, segeralah turun dari panggung," ujar pendeta tua itu dengan suara lembut tanpa ada maksud menyinggung.
"Heh,..?! Apa katamu, Pendeta Tua...?" bentak si Golok Iblis Peminum Darah tidak menerima.
"Kau tadi mengatakan, hanya sampai lima jurus saja. Kau harus menepati janji dengan ucapanmu sendiri, Golok Iblis. Kau harus mengakui keberadaan Padepokan Gunung Lawu ini," pendeta tua itu mengingatkan.
"Setan...!" dengus si Golok Iblis Peminum Darah sengit.
Golok Iblis Peminum Darah mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia merasa seakan-akan semua mata memandang padanya dengan begitu sinis dan melecehkan. Karena, dia tidak mampu merobohkan seorang anak muda dalam lima jurus.
"Silakan kau kembali ke tempatmu, Golok Iblis," ujar pendeta tua itu masih dengan suara lembut dan sopan.
"Huh!" Golok Iblis Peminum Darah jadi mendengus kesal.
Bukan hanya kesal. Bahkan juga malu yang tak bisa dikatakan lagi. Memang ucapannya tadi terasa begitu angkuh dan meremehkan. Dan itu didengar orang banyak. Mau tak mau, harus diakuinya keberadaan Padepokan Gunung Lawu meskipun harus menanggung malu yang amat sangat. Tanpa banyak bicara lagi, si Golok Iblis Peminum Darah langsung melesat pergi. Dia tidak kembali lagi ke kursinya, tapi terus pergi meninggalkan puncak Gunung Lawu.
KAMU SEDANG MEMBACA
61. Pendekar Rajawali Sakti : Memperebutkan Bunga Wijayakusuma
AksiSerial ke 61. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.