BAGIAN 2

714 24 0
                                    

Padepokan Gunung Lawu memang berdiri di atas puncak Gunung Lawu yang sunyi dan sepi. Sebuah padepokan yang cukup besar, berdiri di antara pepohonan dan tumpukan-tumpukan bebatuan yang membukit. Hanya ada dua bangunan yang berukuran besar di sana, dan tanah lapang luas di depan salah satu bangunan itu. Sebuah panggung berukuran besar tampak berdiri di tengah-tengah lapangan ini. Umbul-umbul dan berbagai macam bentuk hiasan terlihat, membuat suasana di puncak gunung yang sunyi itu jadi semarak bagai hendak diadakan pesta.
Puluhan orang berseragam merah-merah tampak sibuk menghiasi sekeliling padepokan itu, agar terlihat lebih semarak. Di tengah-tengah panggung yang sedang dihias, tampak berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia didampingi dua orang laki-laki muda, dan seorang wanita berusia sekitar empat puluh hma tahun.
"Persiapan sudah benar-benar matang, Ki. Hari ini semuanya selesai. Tinggal menunggu tamu-tamu undangan datang," lapor salah seorang pemuda yang mengenakan baju warna biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang tergantung di pinggang pemuda itu. Ujung gagang pedangnya berbentuk kepala ular.
Wajahnya cukup tampan, tapi sedikit rusak oleh luka codet yang membelah pipi kanannya. Dia berdiri di samping kanan laki-laki separuh baya yang mengenakan baju warna putih bersih, yang bagian belakangnya panjang hampir menyentuh papan panggung.
"Apa sudah ada tamu yang datang?" tanya laki-laki setengah baya berbaju putih itu.
"Baru satu, Ki," sahut pemuda satunya lagi yang mengenakan baju warna kuning longgar.
Tubuh pemuda itu kurus, seakan-akan tidak seimbang dengan gada besar berduri yang tersandang di pundaknya. Kedua matanya tampak masuk ke dalam, dan memerah seperti kurang tidur. Rambutnya juga kemerahan tak teratur, hampir menutupi wajahnya yang kurus dengan tulang-tulang pipi bersembulan keluar.
"Kalian harus melayani semua undangan dengan baik. Jangan membuat mereka kecewa," pesan laki-laki separuh baya itu lagi.
"Semua tempat untuk beristirahat juga sudah disediakan, Ki. Tak ada yang membuat kecewa undangan nantinya. Entah kalau di antara mereka nanti ada yang mencari gara-gara," jelas pemuda yang mengenakan baju biru ketat.
"Bagus," desah laki-laki separuh baya itu.

Perlahan laki-laki setengah baya itu memutar tubuhnya, dan melangkah ringan menuruni panggung. Wanita yang mendampinginya mengikuti di samping kiri, diikuti dua orang pemuda dari belakang. Mereka terus melangkah menuju ke rumah besar di dekat panggung ini, dan baru berhenti setelah berada di dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas.
Mereka semua duduk melingkari meja bundar dari batu pualam putih yang berkilat. Dua orang gadis cantik muncul dari dalam sambil membawa baki berisi dua guci arak dan beberapa cawan dari perak. Dengan sikap penuh rasa hormat, kedua gadis cantik berbaju merah itu meletakkan baki di atas meja. Mereka mengatur rapi, dan mengisi cawan-cawan dengan arak. Kemudian, kedua gadis itu kembali melangkah masuk ke dalam, dan tak keluar-keluar lagi.
"Sudah kau siapkan orang-orang yang akan melakukan pertunjukan nanti?" tanya laki-laki separuh baya yang merupakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu lagi, sambil menatap wanita di sampingnya.
"Sudah," sahut wanita itu singkat.
"Aku tidak ingin mengecewakan tamu. Dan sebaiknya, kau persiapkan lebih matang lagi. Tunjukkan pada mereka, kalau Padepokan Gunung Lawu harus diperhitungkan kehadirannya di tengah-tengah dunia persilatan."
"Jangan khawatir, Kakang. Mereka tidak akan mengecewakanmu. Aku berani memastikan itu," tegas wanita yang mengenakan baju warna biru muda.
Meskipun usianya sudah berkepala empat, tapi wajahnya masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya juga ramping, dan padat berisi. Sebatang gagang pedang terlihat menyembul dari punggungnya. Di Padepokan Gunung Lawu ini, namanya adalah Winarti. Dia memang adik kandung Aria Kandaka, Ketua Padepokan Gunung Lawu.
"Kakang! Kelihatannya kau gelisah. Adakah sesuatu yang mengganjal di harimu?" tegur Winarti sambil menatap raut wajah Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Aria Kandaka yang dikenal sebagai Ketua Padepokan Gunung Lawu hanya menghembuskan napas saja. Wajahnya berpaling, menatap dua pemuda yang duduk di depannya. Sebentar kemudian, dia kembali berpaling memandang Winarti. Sedangkan yang ditatap malah terus memandangi tanpa berkedip.
"Tidak ada yang meresahkan hatiku, Winarti," elak Aria Kandaka, agak mendesah suaranya.
"Dalam beberapa hari ini, kau kelihatan seperti gelisah. Apakah ada kerabat yang terlupa diundang, Kakang? Biar aku yang menyampaikannya. Masih ada waktu dua hari lagi," tanya Winarti lagi.
"Tidak. Semua sudah kuundang. Tak ada yang terlewat satu pun juga," sahut Aria Kandaka, pelan.
"Kalau begitu, apa yang membuatmu gelisah?" Winarti masih mendesak.
"Aku hanya memikirkan akibat semua ini," sahut Aria Kandaka.
"Bukankah semua akibat yang akan terjadi sudah diperhitungkan?"
"Memang benar. Dan aku tidak ingin terjadi sesuatu yang bisa membuat cacat nama Padepokan Gunung Lawu ini."
"Kalau itu yang dikhawatirkan, aku rasa tidak ada masalah, Kakang. Aku sudah mempersiapkan segalanya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Percayalah. Semua pasti bisa berjalan lancar," Winarti meyakinkan kakaknya.
"Terima kasih. Pengorbananmu sudah terlalu banyak untuk padepokan ini," ucap Aria Kandaka.
"Tidak perlu kau ucapkan itu, Kakang. Semua yang kulakukan demi Padepokan Gunung Lawu. Juga demi kita semua," Winarti merendah.
Aria Kandaka tersenyum saja. Diambilnya cawan perak yang berisi arak. Sekali tenggak saja, arak manis itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Winarti dan kedua anak muda ikut menenggak arak itu hingga habis. Seorang anak muda yang mengenakan baju biru, menuangkan arak manis ke dalam cawan-cawan yang sudah kosong.
Beberapa kali Winarti melirik Aria Kandaka yang tampaknya masih kelihatan murung, seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Winarti tidak tahu, kenapa dalam beberapa hari ini kakaknya jadi murung. Padahal, acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu tinggal dua hari lagi. Suatu acara yang sangat bersejarah bagi padepokan ini, agar bisa diakui di kalangan rimba persilatan.
Memang tidak heran jika Aria Kandaka yang menjadi ketua padepokan ini kelihatan gelisah dan tidak tenang. Peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu merupakan satu tonggak yang teramat penting. Peringatan itu merupakan neraca ukuran bagi kelangsungan padepokan ini. Mati dan hidupnya Padepokan Gunung Lawu, sangat ditentukan oleh hari peringatan itu nanti.
"Aku akan jalan-jalan sebentar," pamit Aria Kandaka seraya bangkit berdiri.
"Perlu ditemani, Kakang?" tanya Winarti ikut berdiri.
"Tidak," sahut Aria Kandaka.
Winarti hanya memandangi kakaknya saja yang melangkah perlahan keluar dari ruangan berukuran cukup besar ini. Dia semakin yakin ada sesuatu yang dipikirkan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Tapi, dia tidak bisa lagi mendesak untuk mengetahuinya. Aria Kandaka sendiri enggan mengatakan, apa yang menjadi ganjalan hatinya saat ini.

61. Pendekar Rajawali Sakti : Memperebutkan Bunga WijayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang