1. Melukis Badai.

553 48 1
                                    

.
.
.
.
.

Menikah?!

"Pernikahan ini bisa ditunda hingga Yoongi lulus kuliah. Untuk sementara, lebih baik mereka bertunangan terlebih dulu saja", suara Presdir Jeon mengisi keheningan. "Bagaimana, bukankah ini jalan tengah terbaik, Min-Sajang?"

Itu bukan sebuah pertanyaan!

Setidaknya pertanyaan tersebut sama sekali tidak berlaku untuk Yoongi.

Aturan yang berlaku dirumah ini untuknya adalah, Yoongi tidak memiliki hak suara untuk memilih. Tidak punya keputusan untuk menetapkan. Apalagi secuil tingkah untuk mengatur hidupnya sendiri.

Tawa ayahnya menggema, Tuan Min baru saja menancapkan tajamnya ujung tombak tepat ke ulu hati sang anak. "Tidak masalah, Presdir Jeon. Apapun keputusan anda saya akan menyetujuinya"

—Bahkan dengan mengorbankan anaknya sendiri.

Yoongi bergeming, mengatur nafasnya yang tiba-tiba terasa menggelegak dari dasar perut. Luapan amarahnya tertahan. Tersangkut di tenggorokan dan mengganjal disana.

Bukankah hidupmu terlalu memuakkan Min Yoongi?

"Baiklah. Jadi kapan tanggal baiknya?"

Itu bukan vonis mati. Tapi Yoongi yakin, dirinya sudah dieksekusi mati sekarang.

.
.
.
.
.

Langkah Yoongi nampak lesu seperti biasa. Pagi yang mendung mengiringi perjalanannya menuju kampus.

Kelas pagi yang menyiksa. Yoongi tidak suka bangun pagi. Apalagi di musim dingin seperti ini. Ia ingin kembali pulang dan bergelung dibawah selimut.

Helaan nafas panjang mengiringi tapak kakinya menyusuri koridor kampus.

"Yoon"

Tak ada jawaban, karena sepertinya Yoongi tidak berniat menjawab. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang datar tanpa ekspresi. Ia hanya berhenti dihadapan sosok pemanggil namanya.

"Bekalmu tertinggal. Ibu memintaku untuk memberikannya padamu", Jimin mengulurkan sebuah paper bag kecil berwarna abu kearah Yoongi.

Tak ingin berlama-lama, Yoongi segera menerimanya.

"Lain kali jangan sampai lupa. Jadi aku tidak perlu kesini"

Masih dengan tatapan dingin tak bersahabat yang Yoongi layangkan. Ia malah semakin mendengus jengah. "Bahkan tidak ada yang memaksamu untuk melakukannya", desisnya seraya berpaling. Ia sengaja menekan setiap kalimat yang terlontar, berharap Jimin bisa mendengarnya.

Dan setelahnya, Yoongi membuang paper bag tersebut di tempat sampah terdekat. Tepat dihadapan Jimin, dan membuat Jimin benar-benar tak menyangka. Bahkan sosok itu melenggang pergi tanpa dosa, seolah apa yang telah dilakukannya hanyalah hal yang biasa.

"Mau sampai kapan kau akan seperti ini, Yoon?"

.
.
.
.
.

"Darimana?"

"Sebelah", sahut Jimin singkat.

"Fakultas Yoongi?"

Jimin mengiyakan tak bersemangat.

"Kenapa?", tanya Taehyung penasaran setelah mendapati wajah tertekuk sang sahabat yang tak ada enaknya dilihat. "Dia berulah lagi?"

"Biasa"

Seakan tahu apa maksud ucapan Jimin, Taehyung hanya manggut-manggut berusaha maklum. Padahal beribu makian sudah terkumpul di tenggorokannya. "Tidak mencoba bicara lagi? Secara baik-baik mungkin? Mencari waktu untuk ketemu?", sarannya terdengar bijak.

Jimin menggeleng samar. Paper cup berisi hot cappucino diseruput pelan. "Dianya yang susah diajak bicara, Tae", nadanya nyaris putus asa.

Taehyung sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan meski terhalang meja. "Mungkinkah dia masih sakit hati padamu?", bisiknya tak ingin didengar orang.

Mencibir Taehyung melalui tatapan, Jimin mendengus. "Jangan asal!", sudah siap menyiram lawan bicaranya dengan kopi panas ditangan.

Beralih menyandarkan punggung pada badan kursi, Taehyung mengerutkan dahi. "Jika bukan karena alasan itu, lalu apa lagi? Bukankah sikapnya berubah saat tahu, ayah dan ibu kalian ingin menikah?"

Jimin menggulirkan manik kesamping, ia tak ingin bersitatap dengan Taehyung. Menyesap cappucino menjadi pilihan.

"Lihat! Kau bahkan tidak menyangkalnya. Bisa jadi dugaanku benar kan?", ucap Taehyung merasa menang.

Jimin menggeleng tak habis pikir. Taehyung kadang terlalu berprasangka buruk pada Yoongi. "Mungkin saja dia masih belum menerima perjodohannya"

"Omong kosong!", Taehyung ingin sekali menonjok sahabatnya itu supaya sadar. Betapa naifnya Jimin yang menganggap semua ini masih dalam kategori wajar dan baik-baik saja. "Lalu bagaimana dengan perasaanmu?"

Jimin telak membeku, netranya berpendar kaget. Apa yang Taehyung bicarakan? "Perasaan yang bagaimana?", mencoba berdalih. Taehyung tidak sepandai itu membaca pikiran orang kan?

"Ck!! Kalian berdua sama saja"

Obrolan yang seperti ini, yang Jimin takutkan. Terkadang Taehyung membuatnya was-was dengan segala analisisnya yang menjurus kearah kebenaran. Seakan-akan, berbohong didepan Taehyung itu percuma.

"Jim..."

Pemilik nama mengintip dari sudut matanya.

Taehyung terlihat ragu sebelum berucap. "Kau tidak sedang mencoba membatalkan perjodohan itu kan?"

.
.
.
.
.

Lanjut?

Bakalan angst ga ya? Takut ga dapet feel. Ga bisa ng-drama soalnya.
Kekeke

Ga yakin juga bisa chapter panjang.
Kalau respon oke, nanti bisa dipikirkan lagi deh.

Wasn't Mine || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang