6. Langit pun Menangis.

410 52 4
                                    

.
.
.
.
.

"Bisa kau jelaskan kenapa kau melakukannya?", desisnya diantara gemeletuk rahang yang berusaha menahan dingin.

Yoongi terhenyak, Jimin berdiri didepan pintu apartemennya dengan keadaan basah kuyup. Samar-samar suara hujan dan guntur bersahutan diluar sana, memecah keheningan malam yang mencekam. Sebersit rasa khawatir menghinggapi hatinya tanpa diminta. "Apa yang terjadi denganmu?"

Jimin memejamkan maniknya sekilas, seolah menahan gejolak amarah yang menyeruak. "Jelaskan dulu semuanya, maka aku akan mencoba mengerti"

Tidak! Dirinya tidak akan semudah itu mengerti.

Jika Yoongi berniat membalas dendam atas keputusan gilanya yang dulu, maka sudah pasti Jimin tidak bisa mengerti.

Kenapa harus sekarang? Kenapa harus disaat dirinya tidak sesiap apa yang telah ia siapkan selama ini?

Jimin tidak ingin. Ia tidak rela jika Yoongi bersama dengan orang lain. Bahkan hanya menyaksikannya, membayangkannya saja rasanya sudah tak akan sanggup.

"Kau basah Jimin, kau bisa sakit. Sekarang kita masuk dan keringkan bajumu terlebih dulu", ajaknya seolah tak mempedulikan apa maksud dan tujuan Jimin berkunjung ke apartemennya malam-malam. Yoongi tidak bodoh untuk menangkap apa yang dimaksud oleh Jimin sebenarnya. Ia hanya tak yakin ia bisa memberikan jawabannya.

Jimin meringis, menggeleng samar. Ia menyerah, ia kalah. "Kau yang memintanya Yoongi", desahnya putus asa. Tanpa pikir panjang atau sekedar membuat lawan bicaranya mengerti, ia meraup sepasang bibir ranum yang selalu mengundangnya untuk meminta dijamah.

Jimin sadar Yoongi pasti akan terkejut dengan perlakuannya. Tapi dirinya pun dibuat tak kalah terkejut begitu tahu, sosok manis itu tidak menolak bahkan membalasnya saat itu juga.

Saling memainkan seakan tahu dimana tempat masing-masing, Jimin mendorong Yoongi hingga menyentuh dinding. Semakin menghimpit seolah tak ada ruang untuk keduanya. Ia menutup pintu yang langsung terkunci otomatis dengan satu kakinya.

Memagut bibir manis tersebut dalam ritme yang berantakan, mencoba menyalurkan betapa frustasi Jimin tengah dilanda rindu. Tangannya serampangan menyentuh apapun hingga dirinya yakin bahwa Yoongi adalah nyata. Membiarkan logikanya terhenti untuk sekedar berpikir. Menuntun hatinya untuk mengaku, bahwa sejauh apapun dirinya abai, ia akan tetap memimpikan semestanya.

Jimin ingin Yoongi tetap menjadi miliknya. Tak ingin orang lain merebut Yoongi dari sisinya.

Bagi Jimin, semua belum terlambat.

Persetan jika ia harus menanggung resiko!
Kalau perlu, mati pun tak mengapa!

Dirinya berhak bahagia, menjadi inti sisi egoisnya mengendalikan segalanya.

.
.

Yoongi memberi Jimin secangkir cokelat hangat. Membiarkan selimut tebalnya menggelung tubuh Jimin yang setengah telanjang.

"Kau dari rumah tadi?", sekedar basa-basi, Yoongi menatap lurus pada layar televisi tanpa terfokus. Pikirannya kacau, tapi tidak dengan hatinya yang tidak tahu malu malah merasa senang.

"Iya", Jimin mengangguk, meletakkan cangkirnya setelah menoleh kearah Yoongi yang duduk disampingnya. Beruntung ia masih bisa menahan diri. Jika tidak, mungkin sudah tak ada hari esok lagi untuknya. "Tidak bisa tidur"

Pukul 02.18 pagi. Jimin jelas gila!

Yoongi menarik nafas sejenak, punggungnya yang tegak terasa kaku. Ia gelisah tak tenang. "Heoh...", sahutnya sekenanya. Ia tak tahu harus merespon seperti apa. Jantungnya sudah berdegup tak karuan, ia lupa kapan terakhir kali dirinya bisa segugup ini.

Suasana canggung berhasil menyiksa keduanya diantara sayup suara televisi.

"Yoongi?"

"—Uh?", sahutnya cepat, berkedip canggung.

Jimin terkekeh, merasa lucu dengan reaksi yang Yoongi tunjukkan. "Maaf telah membuatmu bingung selama ini. Maaf juga karena telah membuatmu kecewa", digenggamnya tangan Yoongi sangat lembut. Menatap lekat pada objek semestanya. "Dan maaf, karena aku baru saja melakukan kesalahan yang lain", ada sedikit penyesalan setelah melakukan semuanya pada Yoongi. Termasuk ciuman tadi.

"Jangan—jangan menyesal, Jimin", sahut Yoongi. Gila rasanya jika ia hanya diam saja. Ia berhak dan Jimin pun sama. Mereka berhak atas kebahagiaan mereka. "Jika kau menyesal, maka tak akan ada harapan lagi untukku", ucapnya serius. "Aku... tidak ingin", menunduk, cemas memikirkan apa yang akan mereka lewati selanjutnya.

Jimin tersenyum, ia usap lembut punggung tangan Yoongi dalam genggamannya. Teramat bersyukur, Yoongi mau menerimanya.

Kembali mengikis jarak, Jimin memeluk sosok manis itu dalam dekapan. "Satu-satunya penyesalan dalam hidupku adalah saat aku melepaskanmu, Yoon", menghirup lamat-lamat aroma manis yang dulu selalu menjadi favoritnya.

Menyamankan diri, Yoongi balas memeluk Jimin. Ia mengangguk pelan. Ada perasaan lega yang mengitari hatinya. Ia telah menemukan setengah keping hatinya yang pergi.

Jimin melepas pelukannya, ia tatap Yoongi sejenak. Bibirnya tersungging, sebelum kembali mendekat.

Menciptakan sekian pagutan yang tidak akan pernah berhasil melenyapkan bagaimana rindu telah menjadikan keduanya seperti seorang pesakitan.

Saling mengobati dalam bahasa tubuh yang hanya mereka yang bisa mengerti.

.
.
.
.
.

End?

Kalau mau lanjut, silahkan voment.
Pengen Minyoon nya kayak gimana?
Terus Kookga nya harus gimana?
Silahkan kritik dan saran...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wasn't Mine || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang