3. Tak Ada Pelangi.

250 44 0
                                    

Ga boleh protes kalo chapter pendek.

.
.
.
.
.

"Sayang, dipertunangan Yoongi besok kau datangkan?", Nyonya Min bertanya disela acara makan malam mereka.

Mendengarnya saja, Jimin hampir menjatuhkan sendok saking tidak siapnya. "Iya, Ma", singkat namun terselip ketidakrelaan didalam suaranya.

Nyonya Min mendesah. "Yoongi bahkan belum pulang kerumah lagi sejak terakhir kali dia bertemu calon tunangannya disini. Apa dia masih sibuk kuliah, Jimin?", sejurus kekhawatiran ibu.

Jimin melirik ayahnya yang terlihat tidak terusik sama sekali, sebelum kembali menatap ibunya. "Mungkin karena masih semester awal, Ma. Jadi masih banyak tugas", bernafas lega, karena ibunya mengangguk maklum.

"Seharusnya kau mengajarinya, Jim. Meski jurusan kalian berbeda, tidak ada salahnya kau membantunya mengerjakan tugas"

Jimin tersenyum, sendok ia letakkan. Makanannya sudah habis. "Besok, Jimin akan menemuinya, Ma", janji seorang anak hanya untuk membuat tenang hati sang ibu.

Mau tak mau, ucapan Jimin membuat nyonya Min tersenyum. "Ajak dia pulang juga. Mama sudah kangen"

.
.
.
.
.

Yoongi memilih tinggal di apartemen dengan alasan lebih dekat dengan kampus. Sebuah apartemen mungil yang ia tempati sejak semasa sekolah menengah dulu, peninggalan dari mendiang ibunya.

Sementara Jimin, ia masih tinggal di rumah ibunya yang dulu. Dengan alasan dekat dengan kampus juga rupanya.

Tapi bedanya, Jimin akan menyempatkan pulang ke rumah keluarga barunya setiap kali ia ada waktu. Sedangkan Yoongi, ia bahkan bisa berbulan-bulan tidak pulang tanpa perlu merasa bersalah.

.
.
.

"Aku tahu, kau tidak pulang karena tak ingin bertemu dengan ayahmu. Tapi kan sekarang sudah ada ibumu. Kenapa masih tidak mau pulang?", tanya Seokjin berbisik pada Yoongi yang duduk dihadapannya.

Suasana perpus begitu lengang, suara kecil pun bisa terdengar bahkan hanya untuk membalik selembar kertas.

Berdua dengan setumpuk buku dimasing-masing meja, tengah  menyelesaikan tugas kampus yang se-abrek.

"Tidak ada korelasinya juga", tukas Yoongi kesal tanpa mengalihkan dirinya dari mencatat tugas-tugas yang sedang ia kerjakan.

Seokjin mendecih, bibirnya melengkung kebawah. "Jelas ada! Setidaknya kau bisa menemui ibumu. Lain halnya jika kau tidak ingin pulang karena alasan tertentu. Menghindari seseorang misalnya"

Seokjin—ia satu-satunya yang tahu bagaimana kisah hidup Yoongi hingga saat ini. Hanya pada Seokjin, Yoongi bisa bercerita. Membagi beban takdir tanpa merasa takut disalah pahami.

Berdecak dengan raut tak suka. "Aku tidak ingin mendengarmu", sengit Yoongi.

Bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu sekarang.

Meringis dalam diam, Seokjin menyesali ucapannya. "Maaf", menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Terus nasib pertunangan mu, bagaimana?"

Seokjin berhasil menghancurkan suasana hati Yoongi. Lihat bagaimana sosok pucat itu terhenti dari kegiatannya dan melayangkan tatapan tak bersahabat pada Seokjin yang menampilkan cengiran tanpa dosa padanya.

"Besok malam"

.
.
.
.
.

Sekian kalinya pikiran itu terbersit bagai padatnya lalu lintas kota Seoul. Yoongi menatap kebawah dari balkon apartemennya.

Sudah bisakah 9 lantai membuatnya mati tanpa rasa sakit? Ataukah ia harus merasakan sekarat terlebih dulu, sebelum nafasnya menghilang?

Semilir angin menerbangkan anakan poni yang Yoongi sadari sudah sedikit memanjang. Kapan terakhir kali ia memotong rambut?

Udaranya terlampau dingin, padahal baru jam 7 malam. Biasanya tidak sedingin ini.

Suara bel pintu mengalihkan Yoongi dari kejenuhannya akan hidup.

.

"Aku membawakan makanan untukmu"

Pintu terbuka. "Aku sudah makan", jawab Yoongi bersiap menutup kembali pintunya.

"Aku ingin bicara padamu", cegah sosok yang berdiri dihadapan Yoongi.

.
.

"Mama ingin kau pulang", jelas Jimin begitu dipersilahkan duduk di ruang tengah sekaligus ruang tamu. Ia meletakkan bungkusan makanan yang tadi ia bawa diatas meja.

Yoongi duduk diseberang, sengaja menjauh. "Aku tahu"

"Besok pertunangan mu, jadi..."

"Kau tidak perlu mengingatnya", sela Yoongi tak berniat menatap Jimin. Entah kenapa ia selalu lemah dan terbawa emosi saat bersinggungan dengan sepasang netra tersebut.

"Oh—oke. Ayah juga memintamu pulang ke rumah sebelum siang. Jadi dia memintaku untuk menjemput mu", Jimin tiba-tiba merasa canggung tanpa alasan.

Apa yang Yoongi dengar dari Jimin barusan, membuatnya mengeraskan rahang. "Aku bisa kesana sendiri"

Jengah sudah, Jimin tak tahan. "Yoon, kita sudah berjanji untuk melupakan semuanya. Aku hanya..."

"Aku.bisa.sendiri", ucap Yoongi lagi-lagi menyela. "Sekarang kau bisa pergi", ia bangkit berdiri. Sebuah isyarat agar Jimin juga mengikutinya. Atau lebih tepatnya, mengusirnya.

Jimin mendesah. "Kalau begitu kabari aku jam berapa kau pulang. Kita bisa kesana bersama"

.
.
.
.
.

Tega ga liat Minyoon kayak gitu?

Mau lanjut kah?

Wasn't Mine || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang