2. Mendung.

300 44 2
                                    

.
.
.
.
.

Setiap jengkal kebencian yang Yoongi tunjukkan pada Jimin kala mereka bertemu, bisa dirasakan bahkan hanya dari tatapannya saja.

Jimin pun tak memungkirinya.

Ia menerima semuanya bagai pesakitan yang pantas dihakimi, Jimin pasrah saat sorot penuh luka itu tanpa permisi ikut menyalahkannya hingga menyayat-nyayat hatinya.

Dua bulan sebelum ayah dan ibunya menikah. Jimin mengetahui kenyataan bahwa calon suami ibunya adalah ayah Yoongi.

Jimin mengutuk dirinya sendiri. Menyesali bahwa Yoongi tidak mengetahui hal tersebut sebelum mereka—Jimin dan ibunya serta Yoongi dan ayahnya, melakukan jamuan makan malam bersama sebagai pertemuan pertama calon keluarga.

Sorot hampa itu masih tersimpan jelas dikepalanya. Jimin sadar, saat itulah kehancurannya melanda—melihat Yoongi yang terluka tanpa ia mampu menolongnya.

"Sejak kapan kau mengetahuinya?", tanya Yoongi, dingin. Obsidiannya menunduk, tak ingin menatap Jimin. Hanya tak ingin kelepasan, cukup suasana hatinya saja yang berantakan.

Jamuan sudah selesai. Berdua ada di teras depan rumah Jimin, duduk bersebelahan.

"Maaf"

Yoongi menggeleng, mencemooh. Bukan itu yang ingin ia dengar. "Sejak kapan?", ulangnya seolah tak memberi ampun. "Apakah ini, alasanmu memutuskan hubungan kita?"

Jimin tahu, mulai saat itu Yoongi telah memproklamirkan diri untuk membenci Jimin hingga dasar terdalam kerak bumi.

.
.
.
.
.

"Tidak bisakah kita bersikap biasa, Yoon?", pinta Jimin, setelah pesta pernikahan ayah dan ibunya selesai.

Mengerikan!

Kenapa Jimin terdengar seperti seorang pengemis?

Ini pertemuan kedua bagi Yoongi, sejak dirinya tahu bahwa calon ibunya adalah ibu Jimin. Karena pertemuan-pertemuan yang sebelumnya—setelah pertemuan yang pertama tentu saja, ia selalu mencari alibi untuk mangkir dari segala pertemuan yang diadakan oleh sang ayah.

Sengaja mencari alasan untuk menghindar agar tidak bertemu Jimin.

Menurutnya, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cara dihadapi.

Well. Alhasil, sikap kekanak-kanakan Yoongi belakangan ini sukses membuat ayahnya murka dan semakin membencinya.

"Bagaimana bisa?—bagaimana caranya bersikap biasa saja?", berusaha agar suaranya tak bergetar. Yoongi perlahan melarikan maniknya pada sepasang iris yang dulu selalu ia kagumi tengah menatapnya lembut. Kenapa rasanya sakit? Kenapa hanya menahan rindu saja, bisa sesakit ini?

Hei, Dylan. Bisakah kau ajari Yoongi bagaimana cara agar tidak menjadi rindu?

"Demi ayah dan ibu kita, Yoon. Setidaknya jaga perasaan mereka"

Bullshit!!

Gejolak emosi memenuhi dadanya. Yoongi yakin matanya sudah memerah menahan tangis. Jimin baru saja bertutur seolah dirinya tak punya hati. "Lalu bagaimana dengan perasaanku. Siapa yang akan menjaganya?", lirihnya memelas. Bersumpah hanya kali ini ia akan mengiba.

Beruntung keduanya menyisihkan diri dari yang lain. Tempat itu sepi, tak ada orang kecuali mereka. Suara musik hanya mengalun samar diperdengaran mereka, sisa acara pesta.

Jimin mencelos, menelan ludah susah payah. Terlampau paham dengan apa yang dirasakan Yoongi, posisi mereka tak jauh beda. "Yoon...", melangkah untuk meraih Yoongi, namun ditolak saat itu juga oleh sang pemilik nama. Yoongi melangkah mundur. "Kita sudah dewasa, Yoon. Sudah sepantasnya kita bisa mengerti"

Ia tak pernah tahu jika mulutnya bisa sekejam itu. Jimin merutuk dalam diam.

Isakan kecil lolos. Air matanya tak terbendung lagi. Dalam diam Yoongi mengusap pipinya kasar. Dewasa katanya?—harus mengerti katanya? Lantas apa orang tuanya kurang dewasa sebab mereka tidak mau mengerti bagaimana keadaan anaknya?!

"Kenapa harus aku yang mengerti mereka? Kenapa bukan mereka mencoba memahamiku?", pikirannya mulai kacau. Yoongi tak ingin logikanya ikut terluka karena berpikir terlalu keras.

"Yoongi..." panggil Jimin lembut. Ini tidak akan mudah, batinnya.

"Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk tahu alasan kenapa kau meminta putus, dulu. Membuatku bertanya-tanya dibagian mana salahku?"

Tidak, Yoongi. Jangan dilanjutkan!

"Dengan dalih kau sudah bersama yang lain. Membawa Seulgi diantara kita. Kau menyembunyikan semuanya dariku, Jim. Bersandiwara layaknya tak terjadi apa-apa", menjeda sejenak hanya untuk menarik nafas, meredakan sesenggukan. "Menjadikanku seperti orang bodoh saat tahu pertama kali bahwa orang tua kita akan menikah. Sebenarnya selama ini kau menganggapku apa, heoh? Apakah sebegitu tidak berartinya diriku untukmu, Jimin?"

Mengalir begitu dingin, penuh luka. Terasa sakit disetiap frasa.

"Yoongi, cukup!", Jimin merasa ia harus menghentikan racauan Yoongi yang mulai tak jelas. Ia tak ingin seseorang mendengarnya, apalagi orang tua mereka. "Aku hanya tak ingin menyakitimu"

Yoongi kembali mengusap kasar pipinya, nafasnya tersengal-sengal karena menahan isakannya. Sama sekali bukan gayanya menangis dihadapan sembarangan orang. Obsidiannya menyalang, "Dan kau merasa berhasil? Kau yakin aku tidak tersakiti sekarang?", telak mencibir.

Jimin putus asa, ia menggeleng ribut.

"Jika kau ingin menyalahkan seseorang, maka salahkanlah aku. Aku terima—aku salah karena tidak jujur padamu dari awal. Jika kau ingin marah, maka kau berhak marah padaku. Kau bisa membenciku sepuasmu jika hal itu bisa membuatmu merasa baik-baik saja", Jimin baru saja menorehkan belati dihatinya sendiri, mencabik-cabiknya hingga tak berbentuk.

Sungguh, Jimin sampai mati tak rela telah mengatakan hal tersebut. Ia hanya ingin Yoongi tidak menjauh darinya. Ia hanya ingin Yoongi tetap disampingnya, bersamanya.

Namun apa daya... Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.

Yoongi tak sepaham. Ia terlanjur tenggelam dalam kepayahan.

Cukup sudah menangisnya. Yoongi paksa bibirnya untuk mengulas senyum, seutas bukti luka. Ucapan Jimin mulai tidak masuk akal.

"Lupakan masa lalu kita, Yoon. Lupakan semuanya. Sekarang kita keluarga"

Yoongi tak ingin mendengar omong kosong apapun. Ia muak. "Baiklah, jika kau yang memintanya, Jimin", sejurus sorot dingin yang belum pernah Jimin dapati, tercetak dikedua netra sewarna rembulan tersebut. Hampa dan mati. "Aku tidak tahu permainan seperti apa yang sedang kau mainkan sekarang. Tapi jika kau meminta, maka aku akan menyanggupinya"

Jimin mengerutkan dahinya, ia tak mengerti. Kenapa tiba-tiba Yoongi jadi sulit dipahami?

"Kau tidak perlu khawatir bagaimana caraku melewatinya. Cukup kau lihat siapa yang akan bertahan sampai akhir", tanpa peduli lagi dengan bagaimana raut panik Jimin yang hendak mencegahnya, Yoongi sudah terlebih dulu memilih pergi dan berlalu.

Berdoa saja Jimin tidak menyesali pilihannya.

.
.
.
.
.

Lanjut?

Kuy lah vomentnya...

Wasn't Mine || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang