5. Mendung Berkepanjangan.

254 38 0
                                    

.
.
.
.
.

"Selamat ya sayang, atas pertunangannya kemarin", goda Seokjin yang berjalan disamping Yoongi. "Kau tahu, beritanya sudah menyebar kemana-mana. Dan sebentar lagi kau akan jadi nyonya besar Jeon"

Kelakar Seokjin, sama sekali tak lucu. Bukannya menimpalinya dengan tawa atau merasa bangga, Yoongi mengerang pelan. "Diamlah Seokjin, kepalaku pusing mendengar ocehanmu pagi-pagi"

Seokjin tahu yang sebenarnya, tapi kenapa bocah itu bertingkah seolah tak mau mengerti?

Tanpa menggubris ucapan Yoongi, Seokjin malah semakin gencar tak peduli. "Apa tadi Jungkook yang mengantarmu ke kampus? Terus semalam kau tidur dimana?", tiba-tiba Seokjin menghentikan Yoongi dan memegang kedua pundak sang sahabat. Pikirannya melayang pada sesuatu.

"Apa?", Yoongi mengernyit bingung.

Dengan raut khawatir yang dibuat-buat, Seokjin memindai Yoongi dari atas kebawah. "Kau... belum diapa-apakan kan sama dia?"

Yoongi memutar maniknya jengah seraya menepis tangan Seokjin kasar. "Memangnya kau berani melarangnya jika dia melakukan apa-apa padaku?"

Terkesiap pelan, Seokjin menahan nafas. "Memangnya apa yang sudah kalian lakukan tadi malam?!"

"—Sstt!! Pelan kan suaramu", desis Yoongi, membekap mulut Seokjin sambil mengedar pandang hanya untuk mendapati beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Ia berdecak tak suka. "Kau pikir, dia akan melakukan apa padaku?!", elaknya, melanjutkan langkah.

"Kenapa kau bertanya padaku? Yang seharusnya tahu kan dirimu", Seokjin menggandeng lengan Yoongi, menggelayut manja. Sudah biasa. "Jadi, dia benar-benar tidak melakukan apa-apa padamu? Mengajakmu tinggal bersama mungkin?", tebaknya ragu-ragu. Takut jika Yoongi akan meluap-luap padanya lagi.

Mendengus samar. "Dia tidak akan berani macam-macam padaku, lagipula dia bukan orang yang seperti itu"

"Terus dia orang yang seperti apa? Mustahil jika kalian belum berciuman, benarkan?"

Yoongi meringis, Seokjin pasti tidak akan berhenti.

.
.
.
.
.

"Hei, Jin!"

"Hei, Tae!", Seokjin langsung mengisi kursi kosong dihadapan Taehyung.

Kafe klasik di dekat kampus.

"Bagaimana keadaannya?", bertanya sambil menyesap hot chocolate yang tadi sempat ia pesan. Seokjin memandang dari balik bulu matanya.

"Buruk", Taehyung menggeleng miris. "Dia ijin di kelas kedua, tidak enak badan katanya", menatap Seokjin lamat-lamat. "Bagaimana dengan Yoongi?"

Tersenyum kecut. "Tidak jauh beda. Dia semakin menjadi-jadi belakangan ini", tatapan Seokjin menerawang. "Sering melamun, memilih menyendiri, bahkan kami sudah jarang keluar bersama"

Taehyung mengetuk konstan paper cup-nya dengan jari. Menimbulkan suara mengganggu diantara sayup music yang diputar. Keningnya berkerut, tanda sedang berpikir. "Kau sudah mencari tahu tentang Jungkook?"

Mengangkat bahu, Seokjin terlihat acuh tak acuh. "Tidak sulit, kau cukup mengetik namanya di internet. Dia akan muncul—lumayan terkenal. Pewaris DoubleJ Telkom, tak sedikit yang sudah tahu"

"Bukan itu maksudku", sergah Taehyung, lalu mendengung sejenak. "Kepribadiannya... orangnya bagaimana atau sikapnya mungkin? Bukankah kau bisa mengorek informasinya dari Yoongi?"

"Sudah kubilang, Yoongi lebih sering menyendiri akhir-akhir ini. Dia jarang mengajakku berbicara jika bukan aku yang memulainya", sungut Seokjin.

Taehyung mengangguk pelan dengan tak rela. "Tapi, aku masih penasaran... Kenapa Yoongi tiba-tiba menerima perjodohannya?"

Seokjin terdiam.

"Tidakkah kau sempat berpikir, jika dia sedang membalas dendam pada Jimin?", ada sejumput keraguan dalam suaranya. Taehyung menanti Seokjin mengemukakan pendapatnya.

"Karena Jimin menyeret Seulgi dalam hubungan mereka?", malah balik bertanya.

Bahasan ini yang membuat Seokjin sedikit sensitif. Ia masih ingat bagaimana kacaunya Yoongi dulu saat tahu Jimin meminta mereka putus.

"Bisa jadi. Mungkin saja dia ingin melihat Jimin juga terluka", lagi-lagi Taehyung ragu dengan spekulasinya.

Seokjin mendengus, tak setuju. "Yoongi bukan orang yang seperti itu, Tae. Kau tidak ingat bagaimana dulu, betapa bersikukuhnya dia meminta Jimin agar kembali?", tak terima jika sahabat dihina seperti itu. "Menangis siang-malam hingga jatuh sakit. Yoongi tipe orang yang sulit untuk melepaskan sesuatu, Tae. Dia akan memperjuangkan apa yang menurutnya pantas untuk diperjuangkan"

"Maaf", cepat-cepat Taehyung meminta maaf, ia merasa sedikit bersalah. "Aku hanya heran, Seokjin. Dia seharusnya sudah tahu jika Jimin hanya menggunakan Seulgi untuk menyembunyikan kebohongannya demi menutupi kedekatan kedua orang tuanya. Tapi kenapa dia masih bersikap sinis pada Jimin setelahnya?"

Taehyung hanya tak habis pikir dengan sikap Yoongi yang tiba-tiba berubah begitu tahu Jimin akan menjadi saudara tirinya. Bukankah semua sudah jelas, lalu apa yang membuat Yoongi menjadi seperti itu?

"Kita tidak tahu seberapa terpuruknya dia menghadapi semua itu, Tae", Seokjin menarik nafas panjang. Ada beberapa hal yang tak bisa ia ceritakan mengenai Yoongi pada Taehyung karena ia sudah terlanjur berjanji. "Mungkin semua terlalu tiba-tiba untuk Yoongi"

Nyaris frustasi, Taehyung hanya bisa menghela nafas. Ia juga tidak mau Jimin ikut terpuruk karena masalah keluarga yang sedang dihadapinya.

"Jimin selalu bilang, dia baik-baik saja. Tapi aku yakin, dia sedang memupuk lukanya sendirian, Jin", gumam Taehyung setengah melamun.

Sebesar apapun Seokjin mencoba paham, dirinya sudah pasti tidak akan bisa. Karena ia tidak mengalaminya sendiri, ia tidak berada diposisi yang sama.

Jimin dan Yoongi terpaksa berpisah dengan dalih demi kebahagiaan kedua orang tuanya. Tapi Seokjin tahu, bahwa tak ada dari keduanya yang menginginkan perpisahan itu.

Jimin dengan besar hati mengalah, merelakan semestanya hancur menjadi kenangan yang menyakitkan. Tak sadar telah melukis badai diantara dirinya dan Yoongi hingga luluh lantah. Jimin kacau, Yoongi pun tak jauh beda.

Dan mereka tengah menyimpannya dalam sandiwara keluarga bahagia.

.
.
.
.
.

Rela ga sih, Minyoon kayak gini?

Wasn't Mine || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang