²⁰| saingan

1K 163 74
                                    

Air masih berjatuhan dari langit. Dari SUV Mercedes, Chandra membantu Yuna turun dengan memayungi sampai di depan ruko tua yang kini menjadi tempat tinggal sementara Yuna. Tak banyak kata yang terucap antara keduanya. Yuna hanya berterimakasih karena Chandra memberinya tumpangan. Ada yang membuat Chandra heran, ruko tua itu seperti tempat yang ia kenal di masa lalu. Ah mungkin itu cuma firasatnya saja.

Chandra memutar balik mobil ukuran monsternya. Tiin...tiin... hampir ia menabrak pengendara motor di depannya. "Kalo ujan gak usah maksain pake motor woy!" Tempramen Chandra meluap, kaca jendela terbuka. Sean terlihat di matanya meski dalam wajahnya tersembunyi dibalik helm full-face. "Pantes... yang pake gak punya hati." Chandra mendelik sinis sementara Sean masa bodoh rival abadi menghalangi jalannya.

Tok...tok...tok...

Yuna menunggu seorang membukakan pintu untuknya. Ibu Sean sepertinya tak ada di rumah, nampak sepi dan gelap ruko tua itu kini. Hujan masih mengguyur, Yuna basah kuyup terciprat hujan terus menerus. Menggigil Yuna terlalu lama kedinginan.

"Nunggu sampe hujan reda pun Ibu sama Aki gak ada di rumah." Sean berkata sinis. Dia baru sampai di depan ruko, tempat ia tinggal bersama keluarga kecilnya. "Lo baru pulang Sean? Kemana aja lu, gue nunggu sampe pegel di halte." Yuna kesal Sean ingkar janji, katanya ia akan datang pukul 3 sore. Sampai setengah 5 sore, lelaki itu tak datang.

"Gue ada janji ketemuan sama temen gue sebelum dia pulang ke Paris. Kemana lo Sean?" Boleh saja Yuna marah karena Sean tak kunjung datang padanya, tetapi bagi Sean dialah yang lebih pantas merasakan sakit hati melihat gadis itu memilih pulanh bersama Chandra yang jelas-jelas rival abadinya. Ia mengepalkan tangannya rasanya ingin marah pada gadis di depannya, andai Yuna tahu Sean lebih terluka.

"Andai setiap manusia bisa melihat sisi lain dari kemarahannya." Cukup itu yang Sean katakan setelahnya ia mengacuhkan apapun yang akan dikatakan gadis ugal-ugalan itu. Sean mencari kunci di saku celana, membuka gerbang usang toko. Pucat rupa Yuna sebab kedinginan terlalu lama, di bawah tekanan tubuh yang melemah Yuna ingin Sean mendengarnya, tapi Sean menghiraukannya.

"Se...an..." Yuna ambruk, beruntung Sean menyadari itu. Akhirnya Sean jugalah yang menggendong Yuna masuk rumah.

Sangat dingin tubuh Yuna yang masih tak sadarkan diri, mungkin sebab dari terlalu lama terguyur hujan dan kedinginan. Andai Yuna tahu, Sean selalu jadi malaikat yang siap menjaganya kala ia terluka ataupun bersuka. Sean mengompres Yuna dengan handuk yang sudah dibasahi air. Tatap teduh matanya hanya untuk gadis itu. Walau Yuna tak tahu, Sean menunggu Yuna di kursi, membelai wajah dan menggenggam telapak tangan yang masih terasa dingin.

Andai Yuna tahu, Sean memandang gadis itu penuh perasaan. Wajah terlelap Yuna menarik bibir Sean untuk tersenyum. Praaanggg... benda jatuh terdengar dari dapur. Sean merasa harus mengeceknya, ia mencoba melepas genggaman tangannya dari tangan Yuna. Namun, gadis yang terlelap di kasur terlalu kuat menahan Sean pergi. Jika Sean memaksa, Yuna akan bangun dan terganggu dari lelapnya ia terjaga.

•••

Saat sang surya menyapa, hari sudah berganti pagi. Ibu Sean sudah bangun, dari semalam ia mencari putra semata wayangnya. Namun karena sudah larut, Ibu memilih tak mau mengganggu Sean yang mungkin sudah terjaga dalam mimpinya.
Dan pagi itu Ibu Sean mengetuk kamarnya Sean, Ibu curiga karena Sean tak kunjung bangun sampai matahari di bersinar searah dengan jam 9 pagi.

"Sean...Yono... kalian sudah bangun belum?"

Tak ada jawaban dari dalam kamar. Ibu membuka dan memasuki kamar paling depan di ruko. Betapa terkejutnya Ibu melihat Sean tidur dengan anak gadis. "SEAN!!!" Geram Ibu Sean melihatnya, bagaimana mungkin Sean berani membawa anak perempuan ke kamarnya. Sungguh tindakan yang gegabah itu.

The Sibling's ProblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang