Minggu, 12 Desember 1993

68 1 0
                                    

Asap rokok mengepul seraya Boy tengah berbicara dengan jidatnya yang ia kerutkan. Sudah 30 menit semenjak aku duduk di depan balkon kamarnya, membicarakan kesulitan yang tengah kami hadapin sebagai orang dewasa tanggung. Tak ku sangka ia tengah berada disituasi yang sama sepertiku; terjepit oleh diri sendiri. 

"Bas, ini teh kayaknya emang lagi fasenya sih kita pusing begini," ujarnya menyimpulkan perbincangan kami sore itu. 

"Hmm, aku setuju."

"Ai maneh gimana tuh sama si Erna?" (Kamu gimana sama Erna?) pertanyaannya begitu tiba-tiba diantara percakapan mengenai hidup, ya meskipun Erna adalah salah satu cerita dalam hidupku. 

"Teuing," (gak tau) jawabku menggantung, tentang ini biar aku ceritakan lain waktu, "urang balik ti heula ah, dek ngajar." (Saya pulang dulu ah, mau ngajar)

"Heeh atuh sok." (Iya, silahkan)

Seusai berpamitan pada Boy setelah percakapan kami yang aku rasa sudah selesai, aku buru-buru turun dari kamar Boy untuk pulang dan siap-siap mengajar private untuk anak SMA yang aku ajari Fisika. Uangnya lumayan untuk bensin motorku atau bila ban motorku tiba-tiba kempes. 

"Mau kemana, Bas?" Tanya Ceu Iin, ibu Boy. 

"Pulang dulu, Ceu.  Mau ngajar."

"Oooh iya atuh."

Aku pun pulang ke rumah yang hanya beberapa langkah dari rumah Boy.  Pertanyaan Boy menggema dibenakku, sudah hampir sebulan aku mendiamkannya. Bahkan, belum ada di kepalaku untuk membahasnya. Apa aku benar-benar mencintainya?

Aku percepat langkahku, dan buru-buru  bersiap untuk pergi mengajar ke Sukajadi. Ah, soal Erna, nanti ku pikir lagi, sekarang aku benar-benar terjepit oleh segala hal. 

Catatan BaskaraWhere stories live. Discover now