Bagian 2 revisi

3.9K 131 3
                                        

Sri, namaku Sri. Di pelosok jahanam ini banyak yang memanggilku wanita jejadian. Enam tahun lamanya aku disisihkan dari kehidupan orang-orang Kampung Tanjung. Dahulu Emak pernah bercerita kepadaku. Setelah kabar aku melahirkan di atas makam Nyai Jontro meluas, orang-orang kampung begitu penasaran denganku, berduyun-duyunlah mereka mendatangi rumahku, masuk tanpa permisi. Mereka mengintip bilik kamarku yang sempit. Kemudian saat keluar dari rumahku, mereka memasang wajah ketakutan, seperti baru saja melihat aku sedang meneteki bayi setan.

Aku masih ingat, Emak tak dapat banyak menolong keadaanku semasa itu. Lebih-lebih ia sudah mengetahui kemelut dan ancaman yang kuhadapi. Kami hanya bisa menahan malu manakala orang berbisik-bisik menggunjingkan tentang kehamilanku. Orang-orang kampung kami terus-terusan memandang putraku layaknya tontonan sirkus walaupun aku tahu, mereka sebetulnya menyangsikan apabila melihat fisik Aman yang tak pula menyerupai mahluk gaib. Padahal, seandainya mereka jeli, putraku memang mirip genderuwo berwujud manusia. Namanya Antok. Si bejat itu adalah pria beristri yang kerap dipuji-puji sebagai anak alim terpandang lagi berbudi di kampung kami. Bapaknya, adalah satu-satunya orang di kampung kami yang sudah lima kali naik haji.

"Tapi, Sri. Emak khawatir kalau orang desa sudah terlanjur memercayai kebohongan ini kelak kehidupanmu kian terpuruk. Antok seharusnya bertanggung jawab kepadamu dan anakmu. Tega-teganya dia membiarkanmu dihina terus-terusan seperti ini, " ucap Emak. Rupanya setelah berminggu-minggu, akhirnya Emak gerah menghadapi omongan orang-orang sekitar.

"Aku takut, Mak. Sejak awal aku sudah ingin mengakui kepada semua orang yang sebenarnya terjadi, tapi rasanya sungguh sulit. Aku yakin, mereka sebenarnya tidak peduli, apakah ini anak manusia atau setan, yang pasti merekan akan menyalahkanku, akulah yang salah karena mengizinkan jabang bayi ini bertengger di perutku. " Aku menangis terisak. Kejadian malam itu sungguh membuatku trauma. 

"Tidak, putriku. Kamu korban. Kamu tidak bersalah." Emak yang bertubuh kering itu memelukku erat-erat. Saat itu, cuma dialah yang percaya kepadaku. Sejujurnya, aku salit hati, benci, dan sangat ingin mempermalukan si bejat itu. Tetapi aku meyadari keadaanku. Pria licik itu sesudah menodaiku dengan pongahnya berkata,  bahwa aku tak mungkin mendapat kepercayaan dari orang kampung ini sebab aku tak punya bukti atau pun saksi.

Aku ingat. Dua bulan setelah aku melahirkan, Emak akhirnya meninggal dunia. Aku geram kepada Pak Haji--ayah Antok-- yang tak tahu-menahu itu sangat sering mendakwahkan ke orang-orang kampung kami supaya jangan melakukan perbuatan musyrik dan bersekutu dengan iblis seperti aku dan Emak. Kiai itu bahkan sampai hati menghasut orang-orang kampung supaya tak datang tiga harian emak sehingga tak ada satupun sanak saudara atau tetangga yang datang ke rumah kami.

Hari ini, lelaki itu kembali membangkitkan luka lama yang belum sembuh. Selama ini aku cukup baik mendiamkan dan membiarkan ia hidup tenang bersama istrinya itu. Tanpa harus menanggung aib sepertiku. Tanpa merasakan dikutuk dan dihina oleh orang sekampung. Keterlaluan sekali ia mengadu domba Sunan dan Aman.

Sunan itu juga putraku, aku sangat yakin malam itu aku melahirkan putra kembar. Nyai Jontro atau siapa pun dukun beranak yang datang menyelamatkan, ia membisikkan kata-kata sebelum pergi. Saat aku bangun dari pingsan, aku melihat nenek itu menggendong dua bayi di tangannya, lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam kepalaku. Esoknya, aku hanya menemukan ada satu bayi, sementara si nenek baik hati itu menghilang. Aku berpikir dia yang menculik salah satu putraku. Namun, kecurigaanku melenyap setelah aku melihat bayi yang digendong Janitra, istri Antok. Dari mana ia bisa mendapatkan seorang bayi? Padahal selama ini aku tahu mereka tak memiliki anak. Lagi pun, Janitra tidak pernah hamil. Antok berkilah bahwa bayi itu ia adopsi dari panti asuhan. Tetapi, aku tidak memercayainya sama sekali. Dia penipu. Aku masih ingat hari saat aku tertipu bujuk rayunya. 

Mulai hari ini aku menekatkan diri untuk melawan semua penderitaan yang Antok berikan kepadaku. Tidak akan kubiarkan sedikit saja ia kembali menyakitiku atau kedua anakku.

Anak GenderuwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang