Bulan terang di langit malam. Kicau kedasih bersorak-sorak gembira, seolah-olah menyambut malapetaka tiba. Binatang itu biasanya selalu riuh jika berita kematian sejam-dua jam lagi akan segera diumumkan di toa masjid. Aku merasa bulu tengkukku berdiri. Aku mengingat kembali malam ketika Emak meninggal burung hitam menyeramkan itu tak henti-hentinya menjerit-jerit di batang rambutan di sebelah rumah kami. Sontak perasaanku mendadak tidak keruan. Sepanjang perjalanan bersama Nek Iroh, aku mencemaskan keadaan Aman di rumah. Karena kakiku tadinya terinjak paku, aku diobati dahulu Nek Iroh di pondoknya.
"Nek, aku akan ke rumah lebih dulu, perasaanku tak enak. Nanti nenek susul saja. Rumahku tepat sepuluh meter dari jalan belakang masjid," kataku. Aku segera berpamitan kepada Nek Iroh. Wanita itu mengangguk tanda setuju.
Seperti didorong rasa takut, aku berlari pulang ke rumah. Ada desakan di kepalaku yang membuatku tak bisa menahan diri lagi. Aku membayangkan Antok datang ke rumah, lalu menyakiti Aman.
Aku berhenti di depan pagar bambu gubuk kami. Pintu kayu gubuk itu menganga lebar. Ittu bukan kebiasaan kami membiarkan pintu terbuka malam hari. Sesuatu pasti telah terjadi. Aku menyerbu, ingin memasuki gubuk. Namun, baru sampai di pintu, hidungku mengendus aroma anyir yang bercampur baur dengan asap kemenyan hangus. Sontak saja aku menjerit memanggil-manggil nama Aman dan masuk rumah, tetapi tak ada Aman di sana. Baju seragam putih sekolahnya berserakan di luar lemari, tampak isi lemari kamar kami telah diacak-acak oleh seseorang.
"Amaaan!" Aku menjerit-jerit mencari Aman. Kemana dia pergi? Kakiku lemas, sudah lima kali aku mengelilingi rumahku tetap tak ada tanda-tanda keberadaannya. Aku menangis memanggil-manggil namanya, tapi tak ada sahutan. Para tetangga pun mulai ramai datang membantuku mencari Aman. Namun, mereka tak mendapatkan sama sekali jejak Aman.
"Kira-kira anakmu semisal pergi, ia akan tempat siapa, Sri? Atau siapa kira-kira yang kamu curigai menculik anakmu?" tanya Pak Kadus.
"Jangan-jangan ia dibawa setan genderuwo. Bapaknya?" celoteh yang lain. Darahku mendidih. Kali ini aku tak terima ada yang menghina putraku saat keadaan sudah genting begini.
"Aman bukan anak genderuwo! Kalian selama ini salah! Ayahnya orang kampung ini juga! Tapi ia tak mau bertanggung jawab!" Aku berteriak-teriak bak orang gila, sontak semua orang hening.
"Laki-laki bejat itu Antok. Kalian mungkin tidak percaya, tapi dialah yang telah membuatku hamil! Ia mengancamku dan Emak agar merahasiakan semuanya dan membiarkan fitnah genderuwo itu menyebar."
Di tengah situasi yang gawat, Nek Iroh baru saja sampai di rumah. Perempuan itu kebingungan melihat orang-orang ramai berkerumun di teras rumahku.
"Nek Iroh, " kurangkul wanita itu. "Wanita inilah yang membantuku melahirkan sembilan tahun yang lalu, bukan setan. Malam itu aku berjuang melahirkan putra kembarku, Aman dan Sultan."
Orang-orang Kampung Tanjung terkesiap. Sebagian dari mereka menatapku iba, sebagian lagi memandangku sinis, seolah-olah tidak memercayai ceritaku. Aku tak peduli, yang terpenting bagiku sekarang ialah cara menemukan Aman.
"Sri gawat!!" Tiba-tiba seorang pria paruh baya mendatangiku.
"Gawat kenapa Pak Joyo?" tanyaku gugup. Baru saja aku ingin berjalan dihadang olehnya.
"Antok! Dia ... dia ... dia."
"Dia kenapa, Pak?"
"Rumah Antok terbakar. Semuanya mati! Putramu Mati! Aman juga ada di sana!"
Kepalaku seakan-akan dihantam benda keras, kakiku dingin. Aku tak sanggup lagi mendengar kalimat selanjutnya dari bibir Pak Joyo. Semua menjadi gelap dan hening. Waktuku seperti diberhentikan dengan paksa. Rasanya aku ingin mati saja.
Sosok hitam itu melambai dari bawah pohon rambutan. Ia tersenyum ke arahku. Pasti dia! Dialah yang telah membalaskan dendamku, bahkan tega menghabisi cucu-cucunya sendiri. Dia tak ingin melihatku terus-terusan menderita. Inilah yang Emak takutkan. Celaka, Bapak kembali pulang.
- TAMAT-

KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Genderuwo
TerrorSri, namaku Sri. Di pelosok jahanam ini banyak yang memanggilku wanita jejadian. Enam tahun lamanya aku disisihkan dari kehidupan orang-orang Kampung Tanjung. Dahulu Emak pernah bercerita kepadaku. Setelah kabar aku melahirkan di atas makam Nyai Jon...