"Keluar kau Antok! Keluar!" Aku memekik. Sudah lebih dari tiga kali aku menggedor-gedor pintu pagar, tapi tak ada yang membukakan pintu.
"Keluar Antok!" Kupanggil sekali lagi. Aku tahu Antok ada di dalam rumah besar itu. Ia mungkin sedang menertawaiku.
Tidak lama kemudian seseorang keluar dan membukakan pintu pagar. Aku tak sabar ingin menghardik dan memukul pria itu. Namun, di luar dugaanku, yang muncul dari balik pintu pagar bukan Antok, melainkan bapaknya, Kiai Zain.
"Ada apa? Apa urusan kau memanggil-manggil anakku?" tanya pria tua itu angkuh, sama sekali tak memberi kesan ramah dan murah hati sebagaimana yang sering dia tampilkan pada orang-orang kampung kami.
"Mana Antok? Dia harus minta maaf kepada putraku!"
"Atas kesalahan apa? Anak saya tidak pernah ada urusan dengan keluargamu. Kami tidak pernah bergaul dengan keluarga macam kalian."
"Tapi Antok sudah menyakiti putraku!"
"Pulanglah! Jangan engkau coba-coba meminta putraku minta maaf kepada anak setanmu itu," ucap Kiai Zain begitu melukai hatiku. Terbayang oleh wajah Emak yang harus menanggung aib dan derita gara-gara tuduhan keji itu, bahkan di hari kematiannya aku mengemis-ngemis kepada semua orang agar mau menguburkan jenazah Emak sebab tak seorang pun berkenan melayat ke rumahku kala itu. Semua akibat fitnah dan ajakan Kiai Zain.
"Antok adalah lelaki baik-baik. Mana mungkin dia menyakiti anakmu. Pulanglah, aku tidak sudi melihatmu di depan rumahku."
Rasanya aku ingin sekali mengatakan kepada Kiai Zain tentang rahasia kebusukkan putranya selama ini. Tapi mendadak saja muncul perasaan malu yang membuatku bagaikan Hawa yang ketahuan Tuhan menelan buah khuldi. Aku bagaikan insan kotor yang terusir dari surga karena kedapatan melakukan perbuatan dilarang Tuhan. Tapi sampai kapan Sri? tidak tegakah kamu dengan putramu yang hidupnya selalu tidak adil?
"Tunggu," tahanku, saat Kyai Zain hendak menutupkan pintu pagar.
Tapi Sunan? Bagaimana hancurnya anak itu jika ia sadar telah bertahun-tahun hidup dengan pemerkosa ibunya? Apakah ia akan siap dengan kenyataan bahwa ibu kandungnya ternyata cuma wanita miskin sepertiku? Lagi pula, dia pasti bertanya-tanya, kemana saja aku dahulu? Kenapa setelah sembilan tahun, aku ingin mengurusnya?
Aku melepaskan peganganku dari pintu pagar
"Apa lagi, Sri?"
"Tidak, Pak. Maaf." Aku mengurungkan niatku.
***
Mega menguning di langit pertanda kegelapan akan segera tiba. Aku singgah sebentar ke warung, membeli tiga batang lilin untuk keperluan Aman belajar malam ini. Di antara orang-orang kampung, cuma gubuk kamilah yang belum memasang listrik. Pendapatanku dari jadi tukang cuci pakaian tak mungkin sanggup membayar tagihan itu.
Aku memilih pulang melewati jalan pintas. Semata-mata karena aku ingin sampai ke rumah lebih cepat meskipun risikonya aku harus melintasi pekuburan. Aku belum lupa, ini jalan yang sama yang kulalui pada malam kelahiran Aman. Di Kampung Tanjung, tidak satu pun ada yang berani melintasi tanah ini baik petang ataupun malam sebab mereka takut dengan makam Nyai Jontro di sana. Namun, di pikiranku, kisah dukun beranak tak pula menakutkan dibandingkan wajah Antok bejat itu. Bahkan sampai detik ini aku masih meyakini bahwa Nyai Jontrolah yang menolongku ketika melahirkan malam itu. Setan masih lebih baik dibandingkan manusia macam Antok.
Sesampai di depan pekuburan. Kuamati dari jauh pohon sukun tempat aku berjuang mati-matian melahirkan Aman dan Sunan. Pohon itu kini sudah meranggas, daun-daunnya kehabisan umur. Kemarau telah merapuhkan tangkainya. Betapa dedaunan itu sama seperti diriku yang kehilangan waktu sembilan tahun hanya untuk merawat dan membesarkan seorang anak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Genderuwo
KorkuSri, namaku Sri. Di pelosok jahanam ini banyak yang memanggilku wanita jejadian. Enam tahun lamanya aku disisihkan dari kehidupan orang-orang Kampung Tanjung. Dahulu Emak pernah bercerita kepadaku. Setelah kabar aku melahirkan di atas makam Nyai Jon...