Pada hakikatnya, yang hidup akan mati dan yang mati akan hidup. Manusia hanya menyiapkan diri, karena pada dasarnya ia tidak tahu kapan maut akan menjemputnya.
********
Happy Reading
Jangan lupa vote dan komennya.***********
Tangisan langit mengguyur kota dengan derasanya di malam hari. Banyak umat manusia memilih berada di dalam rumah sambil menikmati teh atau coklat panas. Namun, tak sedikit di antaranya berada di luar rumah dan melakukan perjalanan jauh.
"Pa ... kapan kita sampai di rumah?" ujar seorang gadis sambil memainkan jilbabnya.
Lelaki yang sedang menyetir menoleh ke arah samping, tempat gadis itu duduk manis. "Sebentar lagi sampai. Lagian hujannya deras, Papa kesulitan menyetir," ucap lelaki itu lemah lembut, berusaha memberi pengertian pada anaknya.
"Aileen takut, ini sudah malam. Mama di rumah apa kabar, ya?" gumam Aileen sambil menahan rasa panas di pelupuk matanya.
"Jangan takut, Ai ... Mama baik-baik saja dan kita akan segera sampai." Lagi-lagi seorang ayah kembali menenangkan putrinya.
Kenapa perasaanku tidak enak, ya? batin papa Aileen.
Papa melajukan mobilnya lebih cepat. Ini sudah larut, Aileen harus ke sekolah esok harinya dan mama juga masih sendirian di rumah. Perjalanan yang lumayan jauh, papa sedikit penat dan mengantuk. Namun, ia menahan diri agar segera sampai ke rumahnya. Hanya beberapa kilometer lagi akan sampai ke kota. Sekarang mereka masih berada di daerah bukit yang dipenuhi jurang di samping kanan.
Mobil melaju semakin cepat, genangan air di jalan terciprat kemana-mana. Perasaan Aileen semakin tidak karuan. Ia mengambil boneka kucing kesukaannya, kemudian ia memeluk boneka tersebut sambil komat-kamit membaca zikir. Tibalah di belokan untuk ke sekian kalinya, tanpa papa Aileen sadari, ternyata ada sebuah truk yang berbelok.
"Papa, awas!" pekik Aileen.
Spontan papa Aileen membanting setirnya ke kanan, membuat mobilnya jatuh ke jurang. "Laa ilaahaillallah."
"Papa, Mama ...," lirih Aileen.
Mobil dengan bebas jatuh dan menabrak sembarang pohon. Darah mulai bercucuran di kepala papa. Aileen sedikit terlindung kepalanya berkat boneka kucing tersebut, tetapi luka di kepala Aileen tetap ada walau tak separah papa. Aileen merintih kesakitan, kakinya tidak bisa digerakkan. Aileen dengan susah payah meraih tangan papanya lalu menggoncangkan pelan tubuhnya.
"Papa, Aileen kesakitan. Papa bangun," lirih Aileen. Cairan bening di matanya mengalir indah di pipi yang berdarah.
Aileen merasakan pusing di kepalanya, tetapi ia tetap berusaha untuk membangunkan papanya. Namun ada yang aneh, Aileen tidak dapat merasakan deru napas papanya. Denyut nadi juga tak terasa saat Aileen memegang pergelangan tangan papanya. Cairan bening tercampur darah semakin deras keluar dari mata Aileen.
"Papa, bangun! Maafin Aileen yang merengek agar cepat sampai ke rumah. Papa jangan pergi ... argh," lirih Aileen sambil memegang kepalanya.
Kepalanya merasakan pusing yang luar biasa, matanya mulai berat. Samar-samar Aileen mendengar suara masyarakat ramai yang menuju ke arahnya.
"Cepat bantu! Panggil ambulans sekarang!" teriak seorang warga yang sempat didengar Aileen.
Lagi-lagi Aileen berusaha menggerakkan kakinya. Hasilnya nihil, kakinya tidak bisa digerakkan. Aileen bahkan kehabisan suara untuk berteriak meminta pertolongan. Hanya matanya yang berbicara dalam sunyi, dengan air mata sebagai bentuk pelampiasan rasa kehilangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lame Girl
Teen FictionRegan Saskara Achilles namanya, sering disapa Regan. Wajahnya standar, sawo matang, dan memiliki lesung pipi. Manis, itu kata pertama saat melihat sosok Regan. Ia juga pintar dalam bidang akademik terutama kimia. Orangnya pendiam, cuek, dan kaku. Ti...