1 O ; jaket

249 36 1
                                    

Dirga merasakan bahunya dilapisi sesuatu- sebuah jaket hitam yang tadi pagi dia pakai. Kiku menyampirkan jaket itu dan tersenyum lembut menangkup wajah Dirga.

“Udara dingin di pagi hari itu tidak baik, Dirga-kun.”

Merona samar, ingin memalingkan wajah tapi enggan karena Kiku terlihat imut. Dirga berdeham kecil berusaha menetralkan detak jantung yang tidak karuan lajunya.

Matur nuwun.” meski tidak terlalu mengerti bahasa daerah Dirga, Kiku tahu artinya sama saja dengan arigatou.

Bagaimana bisa? Salahkan kebersamaan mereka saat dulu- maksudnya saat Kiku masih disisi Dirga.

Ya, Kiku mengingat saat itu. Saat keduanya berjalan-jalan untuk melihat apakah semua berjalan dengan baik, dan Dirga tidak sengaja berbicara ringan dengan rakyatnya.

Lalu, matur nuwun juga maaf yang terlontar dibibir Dirga ketika sebuah keluhan tidak sengaja dia dengar. Sembari tersenyum sendu, raut wajahnya menjadi kaku.

Kiku menggeleng mengusir kenangan kebersamaan yang cukup sedih jika diingat-ingat. Menyadari perubahan ekspresi Kiku, Dirga balas menangkup wajah Kiku.

“Ada yang menganggu?” tanya Dirga.

Menggeleng cepat-cepat, dan kembali tersenyum. Berusaha meyakinkan sang lawan bicara, melihat tangan Kiku yang terlihat bergetar kecil juga memucat.

Dengan cepat, Dirga merengkuh sang pemuda. Membawa ke dalam pelukan juga jaket hitam yang besar, Kiku dibuat kaget juga hangat secara bersamaan.

“Kau tidak perlu menyembunyikannya, katakan saja aku tahu itu.” nadanya yang lembut bersamaan pembawaan begitu tegas.

Tubuh tegap milik Dirga menjadi bukti betapa kerja keras sang pemuda setelah kepergian kedua koloninya. Meski, sekarang terlihat konyol Kiku tahu pemuda itu menyembunyikan sesuatu.

“Apa kau tidak mau turun? Kita malah membolos-” gerutu Kiku mengerucutkan bibirnya.

Melihat kesempatan, Dirga dengan kilat menyambar bibir Kiku melumatnya cepat lalu memutuskan sehingga benang saliva terjalin diantara keduanya.

“Aku hanya butuh kehangatan,” kilah Dirga ketika Kiku menatapnya tajam menarik kerah sang pemuda. “Kau hanya bisa segitu, hm?” pancingan Kiku membuat Dirga cengo sendiri.

Menyeringai lalu menarik dagu Kiku, mengelus bibir bawahnya dan menyatukan keningnya.

“Tunggu, nanti ya.”

Mengecup hidung Kiku lembut, dan mengajaknya turun.

•••


Kiku berjalan pulang sendirian, suasana sepi ketika dia hanya ditemani rintikan hujan. Airnya melapisi sehingga membuat jalanan licin.

Angin semilir bertiup memainkan rambutnya, awan bergerumul seolah hendak kembali menghujami. Berlari pelan dan menyadari jaket hitam Dirga dia bawa.

“Astaga, bagaimana aku bisa melupakannya,” desisnya.

Wajahnya mendongak menatap langit, dan sesuatu yang dingin menyapa kulitnya. Menyadari rintik akan berubah menjadi deras.

Kiku berlari menuju rumahnya yang masih kental nuansa tradisional ala Jepang.

Tadaima,” bisiknya pelan menggeser pintu.

Kesunyian menyambut. Tapi, Kiku seolah sudah terbiasa. Melepaskan sepatu hitam menaruhnya di rak, pemuda mungil itu segera menuju kamarnya.

Lalu, kembali menuju halaman belakang. Menyeruput ochanya, menimbulkan sedikit suara. Mampu menenangkan hatinya yang tiba-tiba gelisah entah kenapa.

Apa karena suatu kepastian?

Menggeleng menyangkal, hujan benar-benar menjadi deras.

Kiku menatap jaket yang ada dipangkuannya. “Ah, nanti aku akan mengembalikan jaketnya.”

Mengangkat dan menghirup aroma khas sesosok Dirgantara. Kiku menggigit bibir bawahnya, dan mengusir pikirannya.

Matanya menangkap sebuah surat yang ada di kantung jaket Dirga. Sedikit penasaran, mati-matian menahan untuk tidak membacanya.

Namun, dia kalah telak dengan rasa penasarannya. Dibuka dan dibacanya penuh hati-hati juga seksama.

Bibirnya terbuka lalu tertutup lagi, matanya membulat harusnya dia tahu. Tetapi, setidaknya ini memastikan sesuatu.

Kiku mengambil payungnya, bersiap seadanya dan buru-buru menerobos hujan. Ada sesuatu yang harus dia katakan dan itu tidak bisa dia tunda lagi.

•••

[ ✔ ] ❝ AISHTERU .Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang