A Little Wish

78 10 16
                                    


"Tukutuk! Hamtaro berlari, Hamtaro berlari di roda putarnya. Apa yang paling dia senangi?"

"Nasi uduk dengan Pepsi."

Suara itu! Huh mengganggu saja! Kugenggam semangkuk biji bunga matahari kering untuk Hamham, hamster berjenis Winter White yang menginjak umur 4 bulan. Ia nampak bersemangat ketika aku menghampiri kandangnya. "Hamham laper ya?" tanyaku meski kutahu ia tak akan bisa membalas.

"Iya laper banget nih," sahut suara itu lagi.

Seketika bola mataku meliriknya, sosok pria berkaos putih lengkap dengan balutan jaket jeans hitam dan juga celana yang senada. Ia memainkan ponselnya bosan dengan keadaan dimana wanita yang ia mungkin kasihi lebih menyayangi seekor tikus ketimbang dirinya. Aku menyadari dan senang akan hal itu. Karna itu balasan yang setimpal atas perilakunya tadi.

Mari kita mundur 2 jam sebelum aku dan pria ini terdampar di kamar kosku. Aku ingat betul saat itu aku terdiam di ruangan 4m x 4m bercat pink yang kusebut kamar kos. Terlintas di benakku kalau kuaci Hamham tinggal satu dua biji lagi. Tentu saja sebagai pemilik yang baik, tanggungjawabku jika aku harus ke Pet Shop dan membelikannya apa yang seharusnya ia dapatkan. Suara dering ponselku membuyarkan selintas benak akan kuaci Hamham.

"Hmm," gumamku melihat nama Mastah terpampang nyata di layar ponselku. Ada apa dia mengirimkan pesan singkat di Minggu pagi ini?

Mastah

"Free?"

Sun, January 26

08:00

Pesan yang sangat singkat, padat, dan tidak jelas. Kubalas saja seadanya.

Me

"Ya"

Sun, January 26

08:04

Setelahnya tak ada balasan apapun, tapi aku menyadari ketukan di pintuku 15 menit kemudian. Kubuka perlahan dan tampak Mastah berdiri di sana. Pandangan kami bertemu. Hitam pekat matanya seakan menarikku ke dimensi lain yang akupun tak tahu apakah aku bisa lepas darinya. Dihias oleh bulu mata lentik alaminya menambah estetika dalam pandangan tajamnya itu. Hidung pesek khas Indonesianya pun tak luput kuperhatikan. Ia sangat tampan sekali.

"Iya aku tahu aku tampan, tidak perlu melihatku seperti itu," ucapnya dengan pede. Imajinasi akan ketampanannya luruh sudah. Aku benci dia. Aku memutar bola mataku malas, "Ya masuk," kupersilahkan ia duduk di atas kursi plastik. Mastah memang sering berkunjug ke kosku, pun aku tahu dia orang yang tak akan neko-neko, jadi kubiasakan diriku dengan kehadirannya disini. Kutanyakan apa maksud kedatangannya. Ia dengan santai memutar ponselnya, "Aku tahu kamu kangen, yaudah aku kesini."

What the....

Sesungguhnya apa yang dikatakan kakak tingkatku ini ada benarnya. Aku rindu dia, meskipun ia sangat menyebalkan tapi sebenarnya ia peduli. Mungkin.

Kulihat dia mengulik-ulik kandang Hamham. "Jangan diganggu. Mastah laper gak?" kataku mendekatinya. Kutarik satu kursi plastik lagi dan kuletakkan di sebelahnya. Mastah mengerutkan hidungnya, pertanda ada yang salah. "Apa?" tanyaku. Ia menjepit hidungnya dan berkata, "Jauh sana, kamu bau." Seketika rasa panas mencuat dari ubun-ubunku. Otomatis tangan kiriku mencubit lengannya keras. Setelah puas mendengar teriakan jantan Mastah, aku pun meninggalkannya dengan rasa perih yang teramat. Aku mengambil handuk coklat motif kembang di jemuran belakang.

"Jangan lama-lama mandi, nanti jadi dugong," ejeknya dengan tawa kecil sebagai penutup.

"Bomat!" dengusku sembari membanting pintu kamar mandi.

Who?Where stories live. Discover now