Tidak Benar

33 6 2
                                    

Ayahku ini tidak normal. Bukan apa-apa, dia masih menggali upilnya dengan jari, kok. Cuma ya, pokoknya tidak normal! Kubanting pintu kamarnya begitu sadar aku telah dewasa.

"Aku mau menikah dan pergi dari rumah ini!" pekikku.

Perlu jeda cukup lama sampai si brewok itu merespon. "Ok."

Dia masih berkutat dengan komputernya tanpa melirik sedikitpun. Membuatku terenyak.

"Jangan harap kau akan melihatku lagi!"Kubalikkan tubuh menjauh, kucoba redakan amarahdengan berhalu tentang desain gaun yang akan kukenakan kelak.

"Tapi apa kau punya pacar? Tanya Ayah. "Maksudku, apa kau pernah punya pacar, hm?"

Langkahku terhenti.

"Kau ini tidak laku, kan?" lanjut Ayah.

Ba-ba-bagaimana bisa si brengsek ini berkata begitu dengan datarnya?

"Aku tidak populer karena selama ini menyegel pesonaku, tahu."

"Bodoh. Kalau begitu sekarang kau jadi tidak punya persiapan."

"Siapa bilang aku tidak punya—"

"Sudahlah," potongnya. Orang acak-acakan itu bangkit dari kursinya dengan susah payah. Mungkin tubuhnya mulai kaku akibat terlalu lama duduk di sana. sambil melangkah melewatiku dia tersenyum culas."Kita lihat bagaimana pesona khayalanmu itu bekerja."

= = =

Ingatan ini masih ada sejak usiaku 5 tahun. Saat itu, ayah sedang sibuk merevisi skripsinya di kos-kosan kumuh.

"Anu, apa benar ini kediaman orang yang dijuluki Master Apatis? Sejak tadi ketuk pintu tidak ada jawaban. Tapi pintunya tidak dikunci dan ada sandal juga di luar," aku menjelaskan alasanku membuka pintu tanpa izin. Sosok pemuda yang mungkin adalah Master itu memunggungiku. Ada lalat terbang di seputar kepalanya.

"Anu ...." Aku canggung dan kuputuskan menunggu di ambang pintu rumahnya, sampai pemuda itu menata kembali berbagai buku yang berserakan.

"Bocah, sayang sekali aku tidak punya cukup uang. Minta ke tetangga sebelah sana," katanya kemudian. Aku nyaris berdiri 1 jam dan dikira minta sumbangan?

"Aku bukan mau minta sumbangan!"

"Lalu?"

"Surat ini," kataku. Menyerahkan amplop yang sejak tadi berada di tanganku. Tunggu dulu. Jangan-jangan amplop ini yang membuatku disangka peminta-minta? Bodolah.

Dengan setengah kantuk Master membuka dan membaca isinya sekilas, tanpa berniat memahami.

"Kata Ibu, sekarang giliranmu merawatku."

"Hah?"

"Kata Ibu, aku ini anakmu, Pak."

"Kau punya Ibu rupanya?Yang tampan sepertiku jangan dipanggil Pak, ya."

"Kau melupakan dosa yang sangat besar, Tuan," ungkapku ngeri. "Ibuku itu yang berambut panjang, matanya besar, ceroboh dan mudah diperalat. Bagaimana bisa kau lepas tanggung jawab begitu saja? setahun terakhir Ibu berusaha memperbaiki kekurangannya untuk keperluan merebut warisan. Akhirnya Ibu akan menikahdengan pejabat. Ibu sudah tidak mengakuiku lagi, lho. Ibu yang menyuruhku ke sini juga, lho."

"Hoo, kau anak buangan, ya?"tebak Master. "Rata-rata mantanku memang mudah diperalat, sih. Jadi tambah sulit mengingatnya."

"Lah, Anda yang buang saya!" aku semakin tidak habis pikir menghadapinya.

"Tiap tahun ada saja anak kecil yang mengaku-ngaku anakku. Kau tidak sedang membodohiku, kan?" tanya si Ayah sialan. "Dari tata bahasa dan usahamu sampai di sini, kulihat kau mewarisi 1,6% sifatku. Kuizinkan kau menjalani masa percobaan seminggu. Selama tinggal, biasakanlah menyapu dan mengepel tiap pagi. Aku perlu menguji apakah kau layak jadi keturunanku."

Kenapa jadi dia yang sombong?Batinku terperas.

Selama bertahun-tahun, aku baru sadar bahwa aku ini pembantunya.

= = =

Singkat cerita, keesokan harinya saat jam pulang sekolah, Kak Sean sudah berdiri di hadapanku. Dengan suasana dramatis khas Asia Timur, aku mengatakannya. "Kak, nikahilah aku."

Sean, meski namanya keren tapi itu bukan nama pemberian orang tuanya. Sean adalah suatu julukan, kepanjangan dari 'Seandainya'. Karena pemuda cupu berkacamata yang no life ini terlalu percaya diri bisa pergi ke isekai dan menikahi koleksi waifu-nya. Dia suka menyebarkan khayalan ke mana-mana. Kami para orang sial yang terpaksa satu sekolah dengan Sean tidak pernah mengingat nama aslinya.

Sekarang, bayangkan bagaimana jika seorang gadis nyata tiba-tiba menyadarkan sosok delusional ini lalu mengajak menikah. Bukankah diri ini sudah semacam malaikat bagi Sean? Ya, inilah pesonaku sebenarnya. Kehadiranku yang mengobati mental Sean adalah berkah luar biasa. Aku tidak butuh cinta. Aku hanya perlu seseorang yang bisa kuperalat agar aku punya alasan untuk pergi dari ayah. Sean adalah target paling cepat.

Si pemuda berkacamata terlihat canggung sesaat. Dengan berat hati dia berkata, "maaf, tapi aku punya tunangan."

Aku terperangah tak percaya. Bukan karena tunangan yang dimaksud, tapi karena aura malaikatku tidak berhasil memecahkan ruang imajinasinya.

Martabat malaikatku ternodai. Alangkah tidak masuk akal kalau aku harus meminta dua kali agar diterima Sean.

Waktunya ganti target. Aku harus segera dapat pacar hari ini!

Kutinggalkan calon penghuni isekai, lalu bergegas turun ke lantai satu dan membuka catatan rahasiaku. Selama hampir dua tahun sekolah di SMA ini, aku telah mengumpulkan data-data pria yang berpeluang menjadi pacar. Kalau aku filter, kemungkinan ada empat orang yang belum pulang. Mereka adalah pemuda-pemuda bertubuh atletis yang mengikuti ekskul olahraga.

Masih ada kesempatan.

= = =

Pertama kalinya aku mencetak rekor penolakan lima kali dalam kurun dua jam. Rasanya tidak mau pulang. Sudah hampir dua jam pula aku main-main dengan kucing pinggir jalan. Hari sudah gelap. Ditolak lima kali pun tidak membuatku sakit hati. Aku cuma kesal karena waktu terbuang sia-sia, dan gagal menangis seperti kebanyakan orang.

"Gagal lagi, ya?"

Aku menoleh ke sumber suara walau sudah tahu itu siapa. Kami sepertinya melewati jalan pulang yang sama hari ini. "Berisik."

"Seperti biasa ekspresimu itu hanya ada dua. Antara marah dan bodoh saja," ucap Ayah disela-sela meneguk minuman kalengnya.

Aku pamit pergi pada kucing tanpa mau mendengar ocehan Ayah. Pasti dia akan mengikutiku di belakang sambil berceramah. Kuharap begitu. seharusnya begitu. Tapi kali ini tidak. Dia seolah sukses membaca semua niatku.

"Kalau kau pikir aku akan menikah setelah kau pergi, itu salah besar," katanya. "Aku tidak berniat menikah."

Cih, mana mungkin. Lihat saja berapa koleksi mantannya. Aku pasti penghalang yang membuatnya tidak dekat dengan wanita manapun lagi. Selama ini dia pasti menahan diri. "Berisik."

"Sesulit itu, ya, mencari pacar? Mau kuajarkan cara jadi populer?" ejek Ayah.

"Berisik." Ucapku lagi. Ayah menjaga jarak sekitar lima meter selama kami berjalan.

"Kau bisa pergi dari rumah kapanpun. Tidak perlu embel-embel menikah. Kalau mau pergi, pergilah," kata Ayah lagi. "Aku cuma meluruskan kalau levelmu masih terlalu rendah untuk bisa mengganggu hidupku. Jangan bersikap seolah kau mampu menghalangi jalanku, bocah."

Aku menoleh untuk menatapnya. Kukira ekspresi yang kulihat akan seperti bapak-bapak yang suka membuat lelucon. Tapi kali ini wajah Ayah tampak serius.

"Niatku memiliki keluarga sudah hilang begitu kau datang."ujar Ayah setelah jeda cukup panjang. "Kurasa aku dan kau saja cukup."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 04, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Who?Where stories live. Discover now