Tiba di Rumah

36 7 3
                                    

Tiba di rumah, meletakkan sepatu di rak lalu mengucapkan, "Aku pulang!"

Sebelum aku menginjakkan kaki di lantai rumah tanpa alas kaki, ibuku keluar dengan senyuman tipis. "Sudah pulang, ya? Ayo makan, Ibu sudah siapkan ikan gurami bakar kesukaanmu!"

Waduh, ikan gurami, bukan hanya kesukaanku saja, tapi juga kesukaan manusia itu! Grr... sebal sekali!

"Iya, Bu, aku ganti baju dulu!"

Ibuku lalu pergi ke sofa dan menonton TV, tanpa menanyakan bagaimana hariku. Ah iya, juga, aku selalu menjawab "biasa saja!" Begitu dan begitu seterusnya.

Kemudian aku berlari kecil menaiki tangga, dan sampai di kamarku. Sebagai acuan saja, kamarku berhadapan dengan manusia itu. Jadi setiap aku membuka pintu kamar, selalu saja tercium bau kamarnya yang memuakkan. Maksudku, kamarnya tidak berbau busuk, hanya saja dirinya yang membuat kamarnya menjadi busuk.

Jujur, aku memang suka kartun Jepang, apa itu ... hmm, anime? Ya itulah. Tapi hanya dalam batas wajar, tidak berlebihan seperti manusia di depanku sekarang.

"Kau kenapa memandang kamarku lama sekali?" tanyanya dengan nada dingin.

"Ih, jijik!" teriakku sambil membanting pintu.

Aku mendengar hinaan ringan darinya sebelum aku selesai menutup pintu kamarku.

Coba tebak, kenapa aku jijik dengan dia? Dia itu wibu parah! Ada banyak barang-barang berbau Jepang yang ia beli dengan uang jatah bulanannya dari ayah. Selalu membeli barang-barang tidak penting dari kartun kesukaannya yang musiman.

Kadang ia membeli figur-figur keren dari karakter tertentu, lalu beberapa minggu setelahnya, akan berganti ke karakter yang lain. Pernah aku bertanya--bodohnya aku karena kepo--kepadanya kenapa selalu membeli barang-barang yang berhubungan dengan satu karakter itu-itu saja.

Dan ia menjawab dengan jawaban yang menyebalkan, asli! "Terserahku, kau bertanya begitu juga tidak akan paham seleraku!"

Apa! Kakak sialan! Bisa-bisanya aku punya kakak wibu seperti dia. Iyuhh.

Rencananya, aku akan belajar kelompok di sini, tapi aku maunya belajarnya di ruang tamu. Harapanku, supaya tidak bertemu dengan kakakku. Bisa malu aku kalau teman-temanku tahu aku punya kakak memalukan sepertinya.

Tiba-tiba, bel rumahku berbunyi sangat keras, aku yang di kamar sambil berebah ini langsung melompat kaget akibat suaranya. "Ah, mereka cepet banget!"

Selalu, selalu saja, kakakku di depan sekarang, menatapku lekat-lekat dengan lirikannya yang dingin. "Biar aku aja! Kamu tidur sana!"

"Gamau! Kakak tidur aja sana sama karakter kakak! Aku mau kerja kelompok, jangan ke bawah, plis!" Aku memohon-mohon dengan nadaku yang teramat kupaksa memelas.

"Aneh!"

Lalu suara pintu yang digebrak pun terdengar kencang.

Saat aku sudah sampai di pintu, dan membukanya, dua teman perempuanku tampak semangat belajar. Mereka girang sekali sampai Devina melompat-lompat hingga pot gantung di depan rumahku hampir mengenai pelipisnya.

"Hati-hati, ayo masuk, kita belajar di ruang tamu aja, ya, kalau di kamar ... hehe!" kataku sembari malu-malu.

"Iya, aku tahu kok kamarmu tuh lagi berantakan, sama kayak orangnya!" Kata blak-blakan Elca pun keluar.

Gila, nih anak minta ditabok binder, batinku dengan senyuman paksaan.

Elca dan Devina pun duduk, mengambil buku bahasa Indonesia sebagai pelajaran pertama yang akan dibahas. Aku yang belum sempat membawa buku pun langsung lari secepatnya ke kamar.

Tanpa kusadari, ada bayangan melewatiku, kukira itu kakakku, ternyata saat aku cek, tidak ada apa-apa. Yah, hanya halusinasi.

Berjalan menuruni tangga, saat aku sudah sampai ke lantai dasar, rasa kagetku bukan main. Lihatlah! Sekarang kakakku tengah duduk di ruang tamu, memakan roti sambil mengamati kedua temanku dengan cuek.

Aku merasakan aura ketidaknyamanan dari kedua temanku, yang tampaknya sangat merasa diawasi oleh kakakku. Lalu Elca menoleh ke arahku dan dia menutup matanya sembari menggelengkan kepalanya.

Abaikan saja kakakku, lalu aku duduk membelakangi kakakku, Elca dan Devina tampak mengganti pola duduk mereka, sehingga wajah sialan kakakku tidak terlihat.

Selang beberapa menit kami belajar, tiba-tiba Elca merengek kesulitan memahami soal dari bahasa Indonesia, aku pun ingin membantu, tapi ternyata letak kesulitan kita sama.

"Aku pun bingung soal itu!" Devina pun ikutan cemberut.

Tiba-tiba saja, bayangan menutupi cahaya dari jendela, membuat kami bertiga terpaksa menoleh ke atas. Kakakku tengah berdiri di atas sofa dengan berkacak pinggang. "Ada yang ingin ditanyakan? Aku mendengar rengekan kesulitan."

"Ti--"

"Ada! Ini kak, kami kesulitan, huee!" Devina dengan polosnya bertanya pada manusia berbahaya itu, Devina! Ingin kukirim telepati kepadamu! Ayo terkirim! Tapi bodohnya aku, telepati itu pasti tak akan terkirim.

"Hmm ... ini soalan yang mudah, begini, jadi ...."

"Ahhh, begitu ..., Devina paham deh kalau kakak yang ngajarin! Makasih, kak!"

Kakakku pun hanya tersenyum tipis, lalu ia duduk bersama dengan kami. "Mungkin aku bisa membantu sedikit banyak!"

Kenapa senyumannya itu benar-benar jarang kulihat! Lihatlah! Senyuman berbahaya itu, jarang sekali kudapatkan dalam hidupku, sampai aku lupa kapan terakhir aku melihatnya tersenyum lepas seperti itu.

Selesai.

"Ayo makan! Dhita, ajak temanmu makan sekalian!" Suara ibuku dari dapur pun terdengar kencang.

"Kalian lapar?" tanyaku pada Devina dan Elca, jawaban mereka anggukan pelan.

Kakakku berdiri, membereskan buku-buku Elca dan Devina, terkecuali punyaku.

Aku yang melihat tingkahnya barusan pun rasanya ingin kucubit ginjalnya, kenapa aku punya kakak seaneh dia? Rencana apa ini, Tuhan?

Begitu kami sampai di dapur, aroma semerbak gurih pun tercium. Perutku terasa konser, mataku hilang arah, tanganku tergerak sendiri.

Tepisan, kakakku menepis tanganku yang akan mencuri tempe goreng. "Tidak sopan!" pekikku padanya.

Kakakku pun hanya membalas dengan senyuman licik.

Elca dan Devina memilih tempat duduk berdekatan, ibuku kemudian datang dengan nampan berisi gurami bakar. Ugh, inilah yang jadi peti harta karun. Tapi aku sadar, bahwa ada satu manusia yang juga suka dengan gurami bakar, manusia paling serakah dalam dunia perserakahan.

"Doa dulu, ya!" Ibuku pun memimpin doa. "Aamiinnn, selamat makan!"

Lahap sekali, Devina dan Elca tanpa malu-malu menggerogoti bagian gurami bakar, mata mereka tak bisa berbohong. Kakakku yang biasanya sangat rakus pun, hari ini tampak dingin sekali, sangat kalem dengan cara makannya yang normal.

"Kak Master, tumben makannya kalem gitu?" tanyaku dan kakakku pun menatapku dengan jahat.

---

Elca dan Devina pun berpamitan, mereka tertawa saat tahu bahwa aku menceritakan kepada mereka betapa rakusnya mereka saat makan.

Lalu saat aku menoleh ke belakang, kakakku dengan tatapan dinginnya lagi menghalangi jalan. "Apa maumu?" tanyaku.

"Hari ini ... aku cukup puas bermain drama denganmu, Dhita! Asal kamu tahu ... aku hanya ingin mematikan rumor tentangku di depan temanmu. Setelah ini, semua temanmu akan tahu betapa mulianya aku sebenarnya!"

"Kau tak cukup bukti, Master!"

"Aku sudah berikan mereka karakter anime yang kubeli seharga dua ratus ribu, harap mereka anggap itu sebagai buah tangan, sekarang mereka akan tahu bahwa aku adalah orang yang murah hati!"

"Itu saja?" tanyaku terus memancingnya.

"Dan oh, ya, aku juga menyebarkan rumor pada mereka bahwa kau adalah WOTA akut sedunia, yang bahkan rela menghabiskan uangnya demi konsernya! Selamat mengembalikan kepercayaan temanmu, dah!"

"Kakak! Sialan!!!"

Who?Where stories live. Discover now