Arc 2-8: Pedoturbasi

53 6 0
                                    

Bab 22: Pedoturbasi

###

Berjalan di dalam air rasanya terdengar cukup lucu. Air berwarna hijau, lebih cair daripada air, dan aku tidak tahu cairan apakah itu. Melangkah bersama Ketua di dalam keremangan, menyusuri koridor tanpa ujung, gelembung udara yang keluar dari hidung selama bernapas; semuanya terjadi begitu saja, tanpa rencana, tak terduga, dan kami harus tetap bertahan di dalam sini sementara mengenyahkan segala perasaan tak enak.

Ketua yang di front menoleh ke belakang. Aku meliriknya sekilas, lalu lanjut fokus menatap depan seperti biasa. Wajah pemuda tersebut agak kelelahan. Bisa saja ngilu pada telapaknya masih terasa. Bahkan, aku pun sedang menderita pula akibat luka yang sama. Air hijau yang ganjil tidak meresap ke dalam perban, maka air bukanlah penyebabnya. Lantas, mungkinkah bor berhulu kayu itu dibaluri racun? Aku tak bisa menentang, tidak dapat pula menyetujui. Jara itu telah kubuang dan tak bisa kuperiksa lagi, kecuali aku mau kembali setelah menempuh jarak sejauh ini.

Perjalanan panjang menelusuri lorong sangatlah menjemukan. Aku harus melakukan sesuatu. Harus. Atau, Ketua akan mengalami hal yang sama. Aku tidak mau Marjan-ku tersiksa akibat sesuatu tak menyenangkan yang seenaknya hadir di antara kami berdua.

"Hei, Cris, menurutmu apa yang terjadi dengan Sister Mint di masa kecilnya?" tanya Ketua kala kami jalan bersisian.

Aku memasang wajah serius. "Sister Mint mungkin disiksa di dalam istana ini. Ketua lihat matanya, bukan? Mata itu menyorotkan tekanan batin yang amat dalam. Melihat saja aku sudah tau." Tanpa sadar, aku meremas jubah di bagian dada.

"Jahat sekali...."

"Kita tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini sudah lama terjadi dan kita baru mengetahuinya sekarang."

"Jika kita lebih awal mengetahui hal ini, mungkin kita bisa menyelamatkan Sister Mint. Kalau tidak salah, Lime juga menyebut tentang menyelamatkan Sister Mint di suratnya, bukan?"

"Iya. Dan, kali ini kita pasti akan menyelamatkan Sister Mint." Aku mengeratkan kepalan tangan.

Tahu-tahu, sinar di ujung sana makin kuat. Tanpa diduga, sumber terang semakin dekat. Aku dan Ketua memelankan langkah serta meningkatkan kewaspadaan. Tentu produksi gelembung udara perlu diminimalkan supaya kehadiran kami tidak mudah ketahuan.

Kirana telah di depan mata. Begitu silau, membuatku tak dapat melihat apa-apa. Namun, setelah retina terbiasa, aku menampak ambang tanpa daun pintu. Asal binar berada di sisi belakangnya. Sehabis koridor ini, aku dan Ketua akan tahu apa itu.

Aku maju terlebih dahulu, lamun berhenti sejenak seusai melewati alang. Selanjutnya, aku mengendap perlahan, tetapi pasti. Ketua membuntuti agak dekat di belakang.

Apa yang ada di balik lawa adalah hal nang membuat otak kami berhenti bekerja, barang semilidetik pun. Pupilku terkonstriksi, badan bergidik kaget, aku tercengung bukan main di dalam koridor berisi cairan hijau ini.

Di depan kami, terdapat sel-sel penjara pada sisi kiri dan kanan. Meski sejumlah lampu di plafon memberikan penerangan, tetapi bagian dalam bilik-bilik kecil itu amatlah gelap gulita. Visi nan bisa netraku tangkap ialah sorot tajam dari para penghuni sel. Ada yang berona merah, hijau, biru, dan masih banyak lainnya. Di dalam air ganjil ini, kami menjumpai sosok-sosok aneh pula.

Begitu aku serta Ketua menjejakkan kaki di antara mereka, raungan lagi jeritan langsung tercipta dan memekakkan telinga. Makhluk-makhluk gelap tersebut melolong tanpa henti hingga memenuhi penjuru lorong. Ada yang menggonggong layaknya anjing, meringkih bak kuda, mengaum laksana singa, mendesis bagai ular, mengeong ibarat kucing hutan, atau bahkan campuran kesemuanya. Gelembung udara pun tercipta dari dalam sel.

Tower in Resonance (hiatus lama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang