BAGIAN 1

954 23 0
                                    

Jerit dan pekik melengking terdengar begitu menyayat saling sambut, memecah kesunyian alam siang ini. Tampak asap hitam membumbung tinggi ke angkasa dari beberapa rumah yang terbakar. Teriakan-teriakan ketakutan yang dibarengi hentakan kaki kuda, berbaur menjadi satu. Sehingga membuat kekacauan di Desa Gronggong semakin menjadi-jadi.
Di antara orang-orang yang berlarian sambil menjerit-jerit ketakutan, terlihat seekor kuda hitam mengamuk, mendepak orang-orang di sekitarnya. Beberapa tubuh terlihat tergeletak berlumuran darah. Ketakutan penduduk Desa Gronggong semakin menjadi-jadi. Kuda hitam itu benar-benar seperti kesetanan, mengejar orang-orang yang berlarian ketakutan menghindarinya.
Hieeegkh...!
Sambil meringkik keras, kuda hitam itu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi ke udara. Sementara, semua penduduk Desa Gronggong terus berlarian mencari tempat aman agar terlindung dari amukan kuda hitam yang seperti kesetanan itu. Hingga, tak ada seorang pun yang berada dekat dengan kuda hitam itu. Binatang itu terus mendengus-dengus sambil menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Kedua bola matanya tampak memerah, bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja di dekatnya.
Sementara itu, di balik sebongkah batu besar, tampak seorang laki-laki tua berjubah merah muda tengah memperhatikan kuda hitam itu. Di belakangnya, terlihat empat orang pemuda bersenjatakan golok terselip di pinggang masing-masing.
"Heran...? Dari mana datangnya kuda setan itu?" desah laki-laki tua berjubah merah muda itu perlahan.
"Dia muncul tiba-tiba saja, Ki. Bahkan langsung mengamuk," sahut salah seorang pemuda yang berada di sebelah kanannya.
Sementara kuda hitam itu terus meringkik-ringkik sambil mendengus, seakan-akan ingin menantang siapa saja yang ada. Tapi, tak ada seorang pun yang berani lagi mendekati. Semua penduduk Desa Gronggong sudah bersembunyi, tak berani menampakkan diri lagi. Hanya ada sekitar sepuluh tubuh saja yang bergelimpangan tak bernyawa di dekat kuda hitam itu. Sedangkan, sudah tiga rumah yang habis terbakar. Api masih berkobar, disertai asap hitam yang mengepul ke angkasa.
"Hieeegkh...!"
Setelah memperdengarkan ringkikan yang begitu keras menggetarkan, kuda hitam itu langsung berlari cepat meninggalkan Desa Gronggong yang sudah begitu porak-poranda. Begitu cepatnya berlari, sehingga seakan-akan kaki kuda itu tidak menapak tanah. Dan sebentar saja binatang itu sudah menghilang di dalam lebatnya pepohonan di sebelah Timur Desa Gronggong.
Setelah yakin kuda hitam itu tidak muncul lagi, laki-laki tua berjubah merah muda baru keluar dari tempat persembunyiannya. Dia diikuti empat pemuda yang mendampinginya. Saat itu, para penduduk yang tadi bersembunyi juga sudah menampakkan diri. Jerit dan pekik ketakutan tidak lagi terdengar. Kini, semuanya berganti raungan tangis dan rintihan menyayat dari mereka yang keluarganya tewas akibat amukan kuda hitam yang aneh itu tadi.
"Sukar dipercaya. Seekor kuda mampu menghancurkan sebuah desa dalam waktu singkat...," desah laki-laki tua berjubah merah muda itu perlahan.
Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merayapi keadaan Desa Gronggong yang porak-poranda diamuk seekor kuda hitam. Memang, tidak kurang dari sepuluh orang tewas dengan tubuh rusak terinjak-injak kaki kuda hitam tadi. Bahkan ada beberapa yang kepalanya hancur tak berbentuk lagi.
"Kalian bantu mereka. Aku akan melihat anak dan istriku dulu di rumah," ujar laki-laki tua berjubah merah muda itu.
"Baik, Ki," sahut empat pemuda di belakangnya serempak.
Laki-laki tua berjubah merah muda itu bergegas melangkah cepat, tanpa seorang pun yang sempat memperhatikan. Mereka semua sibuk membenahi rumah masing-masing yang berantakan diamuk kuda hitam. Sedangkan empat anak muda yang menyandang golok di pinggang, mengumpulkan mayat-mayat di sekitar jalan desa ini. Tak ada seorang pun yang berpangku tangan. Semua sibuk membenahi desa yang hancur dalam sekejap, akibat diamuk seekor kuda hitam yang seperti kesetanan.
Malam hari, Desa Gronggong begitu sunyi senyap. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat berada di luar rumah. Begitu sunyinya keadaan di desa itu, sehingga suara langkah kaki kuda yang menuju ke desa itu terdengar begitu jelas. Orang-orang yang berada di luar rumah, jadi saling berpandangan. Mereka bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing begitu terlihat tiga ekor kuda berjalan perlahan-lahan memasuki desa itu. Lampu-lampu pelita yang menyala di setiap rumah, seketika dimatikan. Hal ini membuat kening tiga orang penunggang kuda itu jadi berkerut.
"Kenapa tiba-tiba desa ini jadi gelap, Kakang Banara...?" desis salah seorang penunggang kuda yang ternyata seorang gadis cantik berbaju hijau.
Gadis itu menunggang seekor kuda belang putih dan coklat yang tinggi gagah. Sedangkan dua orang lagi adalah laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gadis itu memandang pemuda yang mengenakan baju putih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Dan pemuda satunya lagi yang mengenakan baju warna biru, juga memandang pemuda berbaju putih yang dipanggil Banara tadi.
"Sepertinya desa ini baru saja terkena bencana," tebak pemuda bernama Banara itu. Suaranya terdengar pelan, seperti menggumam, seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Coba perhatikan, Liliani..., Sarala.... Tiga rumah seperti baru terbakar, dan di sana-sini tampak begitu berantakan."
Gadis yang ternyata bernama Liliani, dan pemuda berbaju biru yang bernama Sarala mengedarkan pandangan merayapi keadaan desa yang gelap tanpa sedikit pun ada cahaya pelita menerangi. Memang, keadaan Desa Gronggong ini masih tampak berantakan. Mereka semakin memperlambat langkah kudanya. Begitu sunyi! Sehingga, langkah kaki kuda begitu jelas terdengar, bercampur detak jantung mereka bertiga.
"Ada satu rumah yang memasang pelita, Kakang," kata Liliani seraya menunjuk ke arah sebuah rumah yang tampak paling besar di desa ini.
"Hm.... Coba kita ke sana," ajak Banara.
Mereka kemudian menghentakkan tali kekang kudanya agar berjalan lebih cepat menuju rumah yang masih diterangi sebuah pelita di beranda depannya. Sedangkan sekelilingnya kelihatan gelap gulita. Terlebih lagi, malam ini bulan seakan-akan enggan menampakkan diri, terus bersembunyi di balik gumpalan awan yang agak tebal dan menghitam.
Ketiga anak muda itu menghentikan kudanya setelah sampai di depan rumah berukuran cukup besar itu. Mereka berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Gerakannya saat melompat turun dari punggung kuda, kelihatan begitu ringan. Dari sini bisa dilihat kalau kepandaian mereka tidak rendah. Mereka berdiri tegak di depan beranda rumah yang pintunya tertutup rapat. Hanya sebuah pelita saja yang masih menerangi beranda depan rumah itu. Sedangkan ba-gian dalam rumah, tampak begitu gelap. Tak ada sebuah pelita pun yang menyala.
"Kalian tunggu di sini. Mudah-mudahan penghuninya belum tidur," ujar Banara seraya melangkah mendekati pintu rumah itu.
Banara berhenti tepat di depan pintu. Sebentar ditatapnya Sarala dan Liliani yang menunggu di depan kuda masing-masing. Banara mengetuk pintu itu perlahan, sambil mengucapkan salam dengan suara agak keras. Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam rumah ini. Kembali diketuknya pintu sambil memberi salam.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam.
"Kami, Ki. Kami pengembara yang kemalaman," sahut Banara seraya melirik Liliani dan Sarala.
Banara melangkah mundur dua tindak begitu telinganya mendengar suara langkah terseret mendekati pintu. Tak berapa lama kemudian, pintu itu terkuak perlahan-lahan, Dari dalam, menyembul seorang laki-laki tua berjubah merah muda. Sebatang tongkat kayu tampak tergenggam di tangan kanan untuk menyangga tubuhnya yang tampak sudah renta.
Walaupun seluruh rambutnya sudah memutih namun masih kelihatan gagah. Banara segera menjura memberi hormat. Sedangkan laki-laki tua berjubah merah muda itu memperhatikan, namun sinar matanya seperti curiga. Kemudian, ditatapnya dua orang lagi yang masih berdiri di depan beranda rumah ini. Kedua anak muda itu menganggukkan kepala sedikit, dan melangkah menghampiri.
"Kalian ini siapa?" tanya laki-laki tua berjubah merah muda itu masih bernada curiga.
"Aku Banara. Dan mereka adik-adikku. Sarala dan Liliani, namanya. Kami bertiga pengembara yang kemalaman, dan kebetulan melewati desa ini," sahut Banara memperkenalkan diri dan kedua adiknya.
"Aku Ki Lokan, kepala desa ini," kata laki-laki tua berjubah merah itu juga memperkenalkan diri. "Ada keperluan apa kalian ke desa ini?"
"Kami hanya meminta izin untuk bermalam, Ki. Tapi tampaknya desa ini tidak memiliki penginapan. Bahkan tak ada satu rumah pun yang menyalakan pelita. Kebetulan hanya rumah ini saja yang masih memasang satu pelita. Jadi, kami memutuskan untuk ke sini, Ki," jelas Banara lagi, mewakili kedua adiknya.
"Ada dua rumah penginapan di desa ini, tapi sudah tutup sejak siang tadi. Dan lagi, kami semua sekarang ini tidak bisa menerima tamu, meskipun hanya satu malam saja. Maaf, bukannya aku tidak sopan pada kalian. Tapi, keadaanlah yang memaksaku tidak mengizinkan kalian bermalam di sini," tegas Ki Lokan, tapi masih bernada ramah.
"Kenapa, Ki...? Apakah ada yang melarang pendatang masuk ke desa ini?" tanya Liliani jadi tidak mengerti sikap Ki Lokan.
"Memang aku yang melarangnya. Hal ini kulakukan untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kalian pasti sudah melihat keadaan desa ini, bukan...?"
Banara dan kedua adiknya mengangguk. Memang, keadaan Desa Gronggong ini membuat mereka sejak tadi bertanya-tanya terus dalam hati. Tapi, mereka sudah menduga kalau desa ini baru saja tertimpa musibah. Dugaan itu semakin menebal, saat melihat sikap Ki Lokan, Kepala Desa Gronggong ini yang tidak mengizinkan mereka bermalam.
"Maaf, Ki. Kalau boleh tahu, bencana apa yang terjadi di desa ini?" tanya Banara tidak bisa menahan rasa keingintahuannya.
"Sore tadi, juga telah datang dua orang penunggang kuda seperti kalian. Dan mereka juga bertanya seperti itu. Lalu, mereka langsung pergi ke arah timur untuk mengejar kuda setan itu, setelah semuanya kuceritakan. Apakah tujuan kalian juga sama dengan mereka untuk mengejar kuda setan yang telah menghancurkan desa ini...?" tanya Ki Lokan, pada akhirnya.
"Kuda setan...? Apa maksudnya, Ki?" tanya Liliani sambil memandangi kedua kakaknya.
Ki Lokan memandangi Liliani dan kedua kakaknya bergantian. Dia seakan-akan tidak percaya kalau ketiga anak muda tamunya ini tidak tahu tentang kuda hitam yang siang tadi mengamuk di desa ini. Sedangkan yang dipandangi masih tetap menunggu jawaban atas pertanyaan Liliani tadi.
"Kalian benar-benar tidak tahu tentang kuda setan itu?" Ki Lokan malah bertanya sambil merayapi wajah ketiga tamunya.
Banara dan Liliani saling berpandangan, kemudian menggelengkan kepala. Hanya Sarala saja yang tampak diam memandangi Ki Lokan.
"Mari sini. Duduklah di dalam," ujar Ki Lokan seraya membuka pintu rumahnya lebar-lebar.
Ketiga anak muda itu saling berpandangan sejenak. Sementara, Ki Lokan sudah lebih dulu masuk ke dalam. Laki-laki tua kepala desa itu menyalakan pelita yang tergantung di tengah-tengah ruangan depan rumahnya. Cahaya lampu pelita segera menerangi ruangan yang berukuran cukup besar ini. Banara dan kedua adiknya melangkah masuk. Ki Lokan mempersilakan ketiga tamunya ini duduk di kursi yang melingkari sebuah meja bundar beralaskan batu marmer putih yang berkilat. Sedangkan pelita yang menyala terang tergantung tepat di atas meja. Ki Lokan mengambil tempat duduk di samping Banara.
"Tidak ada orang lagi di sini, kecuali aku dan empat orang pembantuku. Semua anak dan istriku sudah diungsikan ke rumah adikku yang cukup jauh dari sini, sampai keadaan desa ini tenang kembali," jelas Ki Lokan tanpa diminta.
"Hanya seekor kuda saja, mampu membuat desa ini jadi kacau, Ki...?" tanya Liliani seperti tidak percaya.
"Itu bukan kuda sembarangan, Nisanak. Dua orang yang sore tadi datang, mengatakan kalau kuda itu jelmaan seseorang yang belum menginginkan kematiannya. Dan dia sedang menyempurnakan kehidupannya kembali. Katanya lagi, kuda itu akan kembali menjadi seorang manusia yang tangguh dan tak terkalahkan bila sudah bertemu pasangannya," jelas Ki Lokan, menceritakan tentang kuda hitam yang hampir menghancurkan Desa Gronggong ini.
"Pasangannya itu seekor kuda juga, Ki?" tanya Liliani seperti tertarik cerita kepala desa ini.
"Bukan. Tapi seseorang yang sudah mati," sahut Ki Lokan.
"Maksudmu, Ki...?!" tanya Banara jadi terkejut keningnya.
"Ya. Mereka mengatakan, orang yang mati itu pasangannya. Juga, dia bisa kembali hidup jika bersatu lagi dengan jasadnya pada waktu yang tepat. Itulah yang bisa mengembalikan kuda setan itu kembali ke asalnya sebagai manusia tangguh berkepandaian tinggi. Sayang, mereka tidak cerita lebih banyak lagi, karena langsung pergi setelah aku menunjukkan arah kuda setan itu pergi," kata Ki Lokan lagi, menjelaskan.
"Aneh.... Seseorang yang belum mau mati, lalu menjelma menjadi seekor kuda liar. Hm..., seperti sebuah dongeng saja," gumam Banara seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi, itulah kenyataannya. Sepuluh orang warga desa ku tewas diinjak-injak. Kuda itu kuat sekali. Bahkan tidak mempan senjata. Dari mulutnya juga bisa mengeluarkan api," jelas Ki Lokan lagi.
"Aku jadi penasaran, seperti apa kuda itu, Kakang," kata Liliani seraya menatap Banara.
Banara hanya tersenyum saja. Sedangkan Ki Lokan jadi terlongong mendengar kata-kata Liliani tadi.
"Sebaiknya, kalian jangan cari penyakit. Kuda itu bukan binatang sembarangan. Tidak ada kuda yang bisa menyemburkan api dari mulutnya. Kalian lihat... Beberapa rumah di sini habis terbakar semburan api dari mulutnya," kata Ki Lokan mencoba memperingatkan.
"Sebenarnya kami juga sedang memburu kuda itu, Ki," selak Sarala yang sejak tadi diam saja.
"Apa...?!" Ki Lokan jadi terkejut setengah mati.
"Seperti yang terjadi di sini, Ki. Kuda itu juga telah menghancurkan desa kami. Bahkan lebih parah daripada di sini. Ayah yang sekaligus guru kami, juga tewas oleh kuda itu. Bahkan lebih dari separuh penduduk desa kami tewas," jelas Sarala memberi tahu.
"Jadi kalian sama seperti dua orang yang datang terdahulu...? Kenapa tidak bilang sejak tadi?! Kenapa berpura-pura tidak tahu, dan pura-pura terkejut?" Ki Lokan jadi kecewa, dan memberondong dengan pertanyaan.
"Kami membutuhkan tempat untuk bermalam, Ki. Perjalanan yang kami lakukan begitu melelahkan. Sudah tiga desa kami masuki, tapi semuanya menolak bila mengetahui kami mengejar kuda itu," kata Sarala lagi, tanpa menghiraukan pandangan kedua saudaranya.
"Aku sebenarnya tidak memusuhi orang-orang yang mengejar kuda itu, seperti kalian. Aku hanya khawatir, kuda itu datang lagi ke sini karena merasa dikejar. Aku hanya memikirkan keselamatan penduduk saja. Tidak lebih dari itu," sergah Ki Lokan.
"Kami mengerti, Ki," ucap Sarala.
"Aku jamin, Ki. Kuda itu tidak akan kembali lagi ke desa yang sudah dilewatinya. Dia akan terus mencari gadis itu, dan akan menjelajahi setiap desa yang belum pernah dimasukinya. Binatang itu akan mengambil jalan memutar jika mengetahui telah memasuki desa yang akan dilewatinya. Yang jelas, dia seperti memiliki pantangan untuk melewati sebuah desa dua kali."
Ki Lokan terdiam memandangi Sarala, kemudian beralih menatap Banara dan Liliani. Malam memang sudah begitu larut. Dan hatinya merasa tidak tega juga bila mengusir ketiga anak muda ini untuk keluar dari desa malam ini juga. Terlebih lagi, apa yang mereka alami lebih buruk daripada yang diderita Desa Gronggong. Beberapa saat mereka jadi terdiam, tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sambil menghembuskan napas panjang, Ki Lokan bangkit dari duduknya. Dia melangkah ke pintu, lalu menutup pintu rumahnya. Dikuncinya pintu itu rapat-rapat.
"Sepertinya, aku tidak bisa membiarkan kalian pergi malam ini...," kata Ki Lokan, agak menggumam suaranya.
Laki-laki tua kepala desa itu melangkah meng-hampiri ketiga anak muda itu lagi, tapi tetap berdiri di belakang Liliani. Sedangkan ketiga anak muda itu hanya memandangi Ki Lokan seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Semula, Ki Lokan tidak mengizinkan mereka tinggal di desa ini, meskipun hanya semalam saja. Tapi, tiba-tiba saja jadi berubah setelah Sarala mengatakan tujuan yang sebenarnya. Bahkan juga menceritakan keadaan desa mereka yang hancur diamuk kuda hitam itu.
"Sebaiknya, kalian istirahat saja di sini. Besok pagi kalian bisa melanjutkan perjalanan," ujar Ki Lokan seraya memutar tubuhnya berbalik.
"Terima kasih, Ki," ucap Sarala seraya bangkit berdiri, dan membungkukkan tubuhnya sedikit memberi hormat.
"Banyak kamar di sini. Kalian bisa memilih yang mana saja. Jangan canggung-canggung, anggap saja seperti rumah sendiri. Maaf, aku tidak bisa melayani kalian lebih baik lagi," kata Ki Lokan lagi.
"Terima kasih, Ki," ucap ketiga anak muda itu bersamaan, seraya membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Sebaiknya kalian cepat tidur. Aku juga sudah mengantuk," ujar Ki Lokan seraya melangkah meninggalkan ruangan depan ini.
Setelah Ki Lokan menghilang di dalam sebuah kamar, Banara langsung mencekal pundak Sarala. Sinar matanya begitu tajam, menatap langsung ke bola mata adiknya.
"Seharusnya tidak perlu kau katakan yang sebenarnya, Sarala. Hampir saja kau merusak semua rencana kita," desis Banara begitu perlahan.
"Untuk apa harus bersandiwara? Yang penting sekarang, kita bisa beristirahat di bawah atap malam ini," jawab Sarala kalem.
Pemuda itu melepaskan cekalan tangan Banara pada pundaknya, kemudian melangkah ringan meninggalkan kedua saudaranya. Sarala cepat tenggelam di dalam sebuah kamar yang dipilihnya. Pintu kamar itu langsung menghadap ke pintu kamar yang ditempati Ki Lokan.
"Anak itu benar-benar susah diajak damai!" dengus Banara bernada kesal.
"Sudahlah, Kakang.... Kakang Sarala tidak suka berlaku tidak jujur," bujuk Liliani, mencoba menyabarkan kakaknya.
"Hhh...! Bohong sedikit itu perlu untuk kebaikan dan kebenaran, Liliani."
"Aku tahu. Tapi, keyakinan setiap orang pasti berbeda, Kakang. Sudahlah.... Ayo kita istirahat. Masih terlalu panjang perjalanan kita," ajak Liliani seraya melangkah meninggalkan kakak sulungnya.
"Hhh...!" Banara hanya menghembuskan napas panjang saja. Kemudian, kakinya melangkah memilih kamar untuk beristirahat setelah Liliani menghilang ke dalam kamar yang dipilihnya. Dan keadaan di dalam rumah kepala desa itu jadi sunyi senyap. Tak terdengar suara sedikit pun, kecuali desir angin dan gemerisik dedaunan saja yang terdengar, ditingkahi gerit binatang malam.

***

65. Pendekar Rajawali Sakti : Kuda Api GordapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang