BAGIAN 6

503 23 0
                                    

"Siapa kalian?" tanya Rangga langsung, seraya merayapi kedua orang kembar itu dengan sinar mata tajam.
"Aku Iblis Biru. Dan ini saudaraku Iblis Hitam. Kami dijuluki Iblis Kembar dari Utara," sahut laki-laki kembar yang mengenakan baju warna biru.
"Lalu, apa maksud kalian datang ke kuil ini?" tanya Rangga lagi.
"Junjungan kami pernah datang ke kuil ini, dan menitipkan sesuatu di sini. Sekarang, kami ingin mengambilnya kembali atas perintah junjungan kami," sahut Iblis Biru, tegas dan lantang suaranya.
"Boleh ku tahu, pada siapa dan benda apa yang dititipkan itu...?" tanya Rangga.
"Sayang, kami tidak tahu orangnya. Seharusnya dia datang ke Hutan Gronggong tiga hari yang lalu untuk menyerahkan titipan itu. Tapi, dia tidak muncul. Maka terpaksa kami yang harus mengambilnya sendiri," sahut Iblis Hitam. Dan benda itu berbentuk pisau kecil yang terbuat dari emas murni," sambung Iblis Biru.
"Hm...," Rangga jadi menggumam kecil dengan kening berkerut. Rangga kini tahu, ternyata pisau emas itu yang menjadi pangkal persoalannya. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti juga tahu, ternyata sikap diam semua pembesar Istana Karang Setra hanya karena tidak ingin junjungannya tahu kalau kuilnya telah dimasuki benda asing yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan sejarah Karang Setra. Rangga bisa memaklumi, karena memang sudah menjatuhkan kata larangan untuk tidak memasukkan benda apa pun ke dalam kuil ini tanpa persetujuannya. Terlebih lagi, yang tidak memiliki arti di Karang Setra.
"Aku tidak tahu benda yang kalian maksudkan itu. Jika kalian bisa menunjukkan pada siapa benda itu dititipkan, mungkin bisa kuserahkan kembali pada kalian. Apalagi, kuil ini memang terlarang bagi benda-benda asing yang tidak ada arti dan hubungan dengan sejarah Karang Setra," tegas Rangga.
"Junjungan kami mengatakan, benda itu dititipkan pada orang yang berada di kuil ini. Jika kau pemiliknya, itu berarti kau yang menerima titipan itu!" dengus Iblis Biru ketus.
"Maaf! Aku tidak suka terhadap tuduhan tanpa bukti," desis Rangga tersinggung.
"Kau ingin mengelak rupanya. Baik.... Kami bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan pisau emas titipan junjungan kami!" dengus Iblis Hitam jadi berang atas sikap Rangga.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam perlahan.
"Gusti...," ujar Panglima Rakatala.
"Kau diam saja, Paman. Biar aku yang mengurus...!" dengus Rangga.
Panglima Rakatala jadi terdiam. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah tersinggung atas ucapan Iblis Kembar dari Utara tadi. Dan ketersinggungan Rangga juga sudah mulai nampak saat mendapati sikap adik-adik tirinya, dan juga seluruh pembesar Kerajaan Karang Setra tidak mau berterus terang. Panglima Rakatala jadi semakin gelisah. Disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui apa yang dirahasiakan selama ini. Dia juga bisa memaklumi kalau Rangga tampak jadi berang.
"Hanya ada satu pilihan untukmu, Kisanak. Serahkan pisau emas itu pada kami, atau kalian berdua akan menerima akibatnya. Kami bisa menghancurkan kuil ini dalam sekejap," desis Iblis Biru dingin, bernada mengancam.
"Kuil ini terlalu suci untuk dijamah tangan-tangan kotor macam kalian berdua. Sebaiknya, kalian cepat enyah dari sini!" balas Rangga tidak kalah tajamnya.
"Keparat..!" desis Iblis Biru menggeram marah.
"Kau benar-benar cari mampus, Setan...!" Iblis Hitam juga tidak bisa menahan kemarahannya.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum sinis saja. Tangan kirinya kemudian bergerak sedikit. Maka Panglima Rakatala yang melihat tanda itu segera menarik kakinya ke belakang beberapa langkah menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Sudah bisa dibaca keadaan yang tampak semakin memanas ini. Dia tahu kalau pertarungan memang tidak mungkin lagi bisa dihindari.
"Mampus kau! Hiyaaat..!" Iblis Hitam melepaskan satu pukulan keras menggeledek ke arah Rangga.
"Uts!" Dengan satu gerakan manis, Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan tubuhnya, sambil memapak dengan tangan kiri. Sehingga, serangan yang tiba-tiba itu berhasil ditangkisnya.
"Mampus kau! Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja Iblis Hitam melompat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada.
"Uts!" Namun dengan satu gerakan manis sekali, Rangga mengegoskan tubuhnya, sambil memapak dengan tangan kiri. Sehingga, serangan yang dilancarkan Iblis Hitam tidak mengenai sasaran. Tapi belum juga tubuhnya tegak kembali, mendadak saja Iblis Biru sudah mengebutkan kaki hendak menyampok kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga segera melentingkan tubuhnya ke udara menghindari sampokan kaki Iblis Biru. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu tiba-tiba saja, tubuhnya meluruk dengan kedua kaki bergerak begitu cepat mengincar kepala kedua laki-laki kembar yang berjuluk Iblis Kembar dari Utara. Dari gerakannya, bisa dipastikan kalau Rangga menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Salah satu jurus dahsyat dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Namun Iblis Kembar dari Utara bisa menghindari serangan dahsyat dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', meskipun tampak kelabakan sekali menghindarinya. Beberapa kali Rangga menggunakan jurus itu. Akibatnya, kedua laki-laki kembar ini terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali merubah gerakannya.
"Yeaaah...!"
Tepat di saat kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ke arah dada Iblis Hitam. Begitu cepatnya serangan dari pergantian jurus yang dilakukan Rangga, sehingga Iblis Hitam tidak punya kesempatan untuk menghindari diri lagi.
Des!
"Akh...!" Iblis Hitam terpekik keras agak tertahan. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat tubuh laki-laki kembar itu terpental deras ke belakang. Dan sebatang pohon yang cukup besar seketika itu juga hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.
Pada saat itu, Rangga sudah cepat memutar tubuhnya. Dan tubuhnya segera dimiringkan ke kanan, di saat Iblis Biru melepaskan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Tanpa diduga sama sekali, tangan kiri Rangga melepaskan satu sodokan keras ke arah perut si Iblis Biru. Begitu cepat serangan balik yang dilakukannya, sehingga tidak mudah bagi Iblis Biru untuk menghindari.
Begk!
"Hegkh...! Iblis Biru mengeluh pendek. Tubuhnya terbungkuk begitu perutnya terkena sodokan keras tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Dan di saat tubuh Iblis Biru terbungkuk itu, cepat sekali Rangga melepaskan satu pukulan keras ke wajah laki-laki kembar itu.
Plak!
"Aaakh...!" Iblis Biru terpekik keras.
Kepala Iblis Biru langsung terdongak begitu wajahnya terkena pukulan keras yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak dari mulut dan hidungnya mengalir darah agak kental. Iblis Biru terhuyung-huyung ke belakang sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Dan satu tendangan menggeledek yang tiba-tiba dilepaskan Rangga, membuat tubuh Iblis Biru terpental jauh ke belakang. Iblis Biru terjengkang ke tanah, tepat di samping saudara kembarnya yang baru saja berusaha bangkit berdiri.
Sementara Rangga berdiri tegak berkacak pinggang, menatap tajam Iblis Kembar dari Utara. Sementara kedua laki-laki kembar itu berusaha bangkit berdiri sambil merintih menahan sakit.
"Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah!" desis Rangga. Terdengar dingin nada suaranya.
Iblis Kembar dari Utara menatap tajam penuh dendam pada Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian sambil mendengus, mereka cepat berlompatan pergi. Meskipun dalam keadaan terluka, namun gerakan mereka masih cukup gesit juga. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak terlihat lagi ditelan hutan yang tidak seberapa lebat ini.
Rangga baru membalikkan tubuhnya menghadap Panglima Rakatala, setelah Iblis Kembar dari Utara tidak terlihat lagi. Panglima Rakatala langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan menjatuhkan diri berlutut begitu dekat di depannya.
"Bangunlah, Paman," ujar Rangga, terdengar berwibawa suaranya.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala seraya bangkit berdiri.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang setelah Panglima Rakatala berdiri di depannya. Panglima Rakatala berdiri sambil menundukkan kepala. Seakan-akan tidak sanggup lagi membalas sorot mata Rangga yang begitu tajam menusuk. Rangga memutar tubuhnya, lalu berjalan beberapa langkah menjauhi panglimanya itu. Terdengar tarikan napasnya yang berat dan panjang beberapa kali.
"Aku sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan ini sampai ada yang meminta. Tapi, rasanya aku tidak bisa tinggal diam bila sudah melibatkan kuil suciku ini," desah Rangga, terasa agak berat nada suaranya.
"Gusti Prabu bisa menarik janji itu kembali. Hamba meminta Gusti Prabu untuk menyelesaikannya," ujar Panglima Rakatala.
"Apa yang bisa kuselesaikan, Paman? Sedangkan aku sendiri tidak tahu permasalahannya," desak Rangga perlahan.
"Titik persoalannya sebenarnya ada pada hamba, Gusti Prabu. Hamba akan menceritakannya, tapi mohon Gusti Prabu mau berjanji," kata Panglima Rakatala.
"Janji apa?" Rangga memutar tubuhnya berbalik menghadap Panglima Rakatala lagi.
"Gusti Prabu tidak akan menyalahkan yang lain karena sikap tutup mulut mereka. Terutama, pada Gusti Danupaksi," pinta Panglima Rakatala.
"Kenapa...?"
"Karena mereka sebenarnya hanya ingin menolong hamba, Gusti Prabu."
"Katakan saja, apa persoalannya. Dan aku juga punya pertimbangan sendiri," ujar Rangga.
"Baiklah, Gusti Prabu..."
"Nah.... Katakan sekarang," pinta Rangga.
"Lebih kurang tiga purnama yang lalu, hamba menemukan seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan hamba, Gusti Prabu. Laki-laki itu sudah tewas, dengan leher hampir buntung...," Panglima Rakatala memulai menceritakan.
"Di mana kau temukan?" tanya Rangga.
"Di depan kuil ini, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala.
"Hm..., lalu?"
"Hamba tidak tahu, siapa dia dan kenapa sampai tewas seperti itu di sini. Hamba lalu memberi tahu Gusti Danupaksi yang saat itu sedang mengadakan persidangan di Balai Sema Agung. Sehingga, semua pembesar yang ada langsung datang ke sini. Jadi semuanya tahu," sambung Panglima Rakatala menceritakan peristiwa yang terjadi di depan kuil ini.
"Hm..., teruskan."
"Dua hari setelah peristiwa itu, hamba kembali lagi ke sini. Pada saat itu, hamba melihat seekor kuda hitam yang sangat aneh. Binatang itu bisa mengeluarkan api dari mulutnya. Lalu hamba diberi sebilah pisau kecil emas dari dalam mulutnya. Kuda aneh itu langsung pergi setelah memberi hamba sebilah pisau, Gusti Prabu. Hamba tidak mengerti, apa maksudnya. Dan semua ini hamba ceritakan pada Gusti Danupaksi, serta semua pembesar kerajaan di Balai Sema Agung Istana Karang Setra," sambung Panglima Rakatala lagi.
"Hm.... Selama itu, apa ada sesuatu yang terjadi di sini?" tanya Rangga ingin tahu lebih banyak lagi.
"Tidak, Gusti. Tidak ada peristiwa apa pun juga. Tapi tiga hari yang lalu, hamba telah bermimpi aneh. Dalam mimpi, hamba ditemui seorang pemuda seperti seorang putra raja. Dia meminta hamba ke Hutan Gronggong dengan membawa pisau itu," sahut Panglima Rakatala.
"Kau pergi ke sana?" tanya Rangga.
"Tidak, Gusti."
"Kenapa?"
"Karena hamba mendapat tugas menumpas gerombolan perampok yang merajalela di desa sebelah utara Karang Setra. Perampok itu menuntut agar kami melepaskan pemimpinnya. Padahal, kami semua tidak tahu tentang pemimpin mereka. Dan baru kemarin hamba bisa menumpas mereka, Gusti Prabu. Kemudian hamba langsung pulang setelah membereskan segalanya," jelas Panglima Rakatala lagi.
Rangga terdiam dengan kepala terangguk beberapa kali. Sebentar matanya menatap lurus ke depan, lalu beralih memandang Panglima Rakatala. Untuk beberapa saat, tak ada yang membuka suara.
"Paman, kau tahu nama pangeran yang datang dalam mimpimu?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Ya! Dia sempat menyebutkan namanya," sahut Panglima Rakatala.
"Siapa?"
"Raden Gordapala.... Bahkan dia memanggil hamba dengan nama Tangan Baja."
Kepala Rangga kembali bergerak terangguk beberapa kali. Kemudian menghampiri panglimanya itu, lalu ditepuk-tepuk pundaknya sambil menyunggingkan senyuman. Panglima Rakatala jadi tidak mengerti atas sikap Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya menuruti saja saat Rangga mengajak berjalan meninggalkan kuil di tengah hutan ini. Mereka terus berjalan tanpa bicara sedikit pun. Hingga jauh meninggalkan kuil, belum juga ada yang membuka suara lagi.
"Kau tahu, Paman. Siapa Gordapala itu?" tanya Rangga setelah cukup lama juga berdiam diri.
"Tidak, Gusti," sahut Panglima Rakatala.
"Gordapala sebenarnya sudah mati. Dia penguasa dari segala bentuk kejahatan di seluruh penjuru delapan mata angin di dunia ini. Sudah beberapa kali dia mati, lalu bisa bangkit kembali, selama para pengikut setianya yang masing-masing berkuasa pada satu penjuru mata angin masih tetap hidup dan berkuasa. Itulah sebabnya, kenapa Raden Gordapala selalu disebut dengan julukan Jago dari Alam Kubur. Karena, memang sulit untuk bisa melenyapkan dia selama-lamanya. Kalaupun ada yang bisa membunuhnya, dalam waktu tidak lama dia bisa bangkit kembali," jelas Rangga.
"Oh...?! Lalu, kenapa dia menemui hamba, Gusti Prabu?" tanya Paman Rakatala terkejut tidak mengerti.
"Dia pasti menyangka, kau adalah salah satu dari pengikutnya, Paman. Kau tahu, Karang Setra ini juga dikenal sebagai pusat dari penjuru mata angin yang pertama. Dan aku yakin, orang yang kau temukan tewas di depan kuil adalah pemimpin daerah delapan penjuru mata angin pertama. Karena kau yang pertama kali melihat dan menyentuhnya, maka kuda suruhan Raden Gordapala mengira kau adalah pemimpin yang dimaksud," Rangga menjelaskan lagi. "Itulah sebabnya, kenapa kuda itu memberimu sebilah pisau emas. Dan kau mendapat perintah melalui mimpi untuk datang ke Hutan Gronggong. Kau tahu apa maksudnya...?"
Panglima Rakatala hanya menggelengkan kepala saja.
"Raden Gordapala, atau juga Jago dari Alam Kubur itu mengumpulkan delapan pemimpin penjuru mata angin. Dan pasti dia sudah memberi pisau emas untuk satu orang. Dengan pisau emas yang disatukan ke dalam tubuhnya, maka Raden Gordapala bisa bangkit kembali," tambah Rangga.
"Oh...! Apakah Iblis Kembar dari Utara itu salah satu pemimpin delapan mata angin, Gusti?" tanya Panglima Rakatala sudah bisa mengerti akan keadaan yang dihadapi sekarang ini.
"Ada kemungkinan begitu, Paman. Karena biasanya, satu sama lain dari mereka tidak saling mengenal. Bahkan sulit mengenali. Mereka memang sering kali bersikap adil dan bijaksana di dalam kehidupan bermasyarakat, tapi sebenarnya merekalah yang menjadi otak dari segala macam kekacauan di muka bumi ini."
"Mengerikan sekali...," desis Panglima Rakatala.
"Lebih mengerikan lagi kalau Jago dari Alam Kubur itu sudah bisa bangkit lagi, Paman. Maka kita semua akan terkena akibatnya. Karena dengan tujuh pisau emas saja, dia bisa bangkit lagi dari alam kubur. Walaupun, tidak sempurna benar. Hhh.... Kita akan menghadapi suatu masalah besar, Paman."
"Oh, Gusti.... Kenapa hal ini justru menimpa pada kita...?" keluh Panglima Rakatala.
"Tidak perlu disesali, Paman. Semua sudah terjadi. Dan kita harus memikirkan cara untuk menghadapi mereka," tegas Rangga.
"Ini semua salah hamba, Gusti. Seharusnya hamba menceritakan hal ini sejak semula," Panglima Rakatala menyesali diri.
"Tidak ada yang salah dalam hal ini, Paman. Semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur Hyang Widi. Jadi tidak patut kalau menyesali diri. Yang harus kita lakukan adalah menghadapi semua ini dengan hati bersih," kata Rangga bijaksana.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu...," desah Panglima Rakatala seraya menjatuhkan diri, berlutut di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah, Paman. Bangkitlah... Tidak baik jika dilihat orang," Rangga cepat-cepat membangunkan panglima ini.
Mereka kembali melangkah melalui jalan rahasia yang langsung menuju Istana Karang Setra. Tak ada lagi yang bicara. Terlebih, Panglima Rakatala yang kini sudah bisa mengerti dan memahami keadaan yang terjadi. Hatinya benar-benar menyesal, karena tidak cepat mengatakan hal yang sebenarnya pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra. Padahal dia tahu, di mana Rangga saat itu berada ketika menerima pisau emas dari kuda ajaib Raden Gordapala yang dikenal berjuluk Jago Alam Kubur itu.

**

65. Pendekar Rajawali Sakti : Kuda Api GordapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang