BAGIAN 2

606 26 0
                                    

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum menampakkan diri, Banara, Sarala dan Liliani sudah meninggalkan Desa Gronggong. Mereka diantar Ki Lokan dan empat orang pembantunya sampai ke perbatasan sebelah timur, ke arah kuda setan itu pergi. Sebelum berpisah, Banara sempat berpesan agar Ki Lokan dan seluruh penduduk desanya tidak perlu khawatir. Karena, kuda itu tidak akan kembali lagi ke desa ini. Maka, hal itu membuat Ki Lokan bisa bernapas lega.
Sementara itu Banara dan kedua adiknya terus memacu cepat kudanya, semakin jauh meninggalkan Desa Gronggong. Setelah melewati sebuah sungai kecil, mereka mulai memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Sehingga, mereka tidak mungkin bisa memacu kuda dengan cepat. Saat ini, hari memang masih terlalu pagi. Dan matahari pun belum juga menampakkan diri. Hanya bias cahayanya saja yang terlihat di ufuk timur. Warnanya merah jingga, dan begitu indah. Namun nampaknya ketiga anak muda itu tidak sempat menikmati keindahan pagi ini.
"Hup...!"
Banara cepat melompat turun setelah menghentikan langkah kudanya. Pemuda itu berjongkok sambil memegangi tali kekang kudanya. Diperiksanya tanah yang berumput cukup tebal. Sarala dan Liliani ikut melompat turun. Mereka mengedarkan pandangan, menyusuri tanah berumput di sekitarnya.
"Banyak sekali jejak kuda di sini, Kakang," kata Liliani.
"Aku yakin, bukan hanya kita bertiga dan si Iblis Kembar dari Utara saja yang mengejar kuda itu...," gumam Sarala perlahan, seperti untuk diri sendiri.
"Aku jadi heran. Untuk apa mereka mengejar Jaran Geni itu...?" Liliani juga menggumam, bertanya pada diri sendiri.
"Jaran Geni memang bukan kuda sembarangan. Jelas tujuan mereka tidak sama dengan kita. Tapi, bisa juga punya tujuan sama," sahut Banara menanggapi pertanyaan adiknya yang menggumam tadi.
"Hhh...! Semakin banyak rintangan yang akan kita hadapi," keluh Liliani mendesah panjang.
"Rintangan apa pun harus dihadapi, Liliani," tegas Banara mantap.

"Ha ha ha...!"

"Heh...?!"
"Hah...?!"
Ketiga anak muda itu jadi terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar. Sehingga, membuat telinga mereka jadi terasa sakit. Liliani cepat-cepat menutup telinganya dengan kedua tangan. Suara tawa itu terus terdengar keras dan menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin.
"Kalian tidak pantas ikut permainan ini, Bocah-bocah ingusan. Sebaiknya pulang saja sebelum ada penyesalan di kemudian hari!" begitu lantang suara itu terdengar, setelah suara tawa yang keras menggelegar tak terdengar lagi.
"Siapa kau?! Keluar...!" bentak Banara tidak kalah lantangnya.
Brusss...!
Ketiga anak muda itu jadi terkejut bukan main, dan sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Memang, tiba-tiba di depan mereka mengepul asap tebal kemerahan, seperti muncul begitu saja dari dalam tanah. Dan ketika asap tebal kemerahan itu memudar, muncul seorang laki-laki tua berbaju merah menyala yang longgar dan panjang dari dalam asap.
Di tangan kanan orang tua itu tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian ujung kepalanya berbentuk tengkorak. Sepasang bola matanya memerah bara, bagai sepasang bola api. Wajahnya kelihatan begitu bengis. Dan rambutnya yang memutih, dibiarkan tak teratur hampir menutupi sebagian wajahnya.
"Setan Tengkorak Merah...," desis Banara langsung mengenali orang tua berjubah merah yang tiba-tiba muncul di tempat ini.
"Apa maksudmu menghadang jalan kami di sini, Setan Tengkorak Merah?" tanya Sarala langsung, suaranya lantang dan keras menggelegar.
"He he he.... Rupanya kalian sudah tahu siapa aku. Maka, sebaiknya pergi. Dan jangan coba-coba ikut mengejar Kuda Api!" dengus laki-laki tua berjubah merah yang ternyata berjuluk Setan Tengkorak Merah dingin, diiringi suara tawanya yang terkekeh kering.
"Hhh! Kau tidak ada hak melarang putra-putra Elang Maut, Setan Tengkorak Merah...!" desis Banara tidak kalah dingin.
"Kalian memang bocah-bocah sombong yang keras kepala! Apa mata kalian sudah buta, heh...?! Lihat! Siapa yang ada di depan kalian ini...?!" bentak Setan Tengkorak Merah jadi geram.
"Kami tahu siapa dirimu, Setan Tengkorak Merah. Dan kami tidak akan mundur setapak pun!" tegas Banara.
"Grrr...!" Setan Tengkorak Merah menggeram dahsyat, seperti seekor serigala yang marah melihat pemburu di dekatnya.
Sementara Banara dan kedua adiknya sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Mereka tahu kalau orang yang dihadapi ini memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Tapi, tak ada sedikit pun rasa gentar di hati ketiga anak muda putra Elang Maut itu.
"Berpencar...!" seru Banara tiba-tiba, dengan suara lantang menggelegar.
"Hup...!"
"Hap...!"
Sarala dan Liliani langsung berlompatan ke samping kanan dan kiri Setan Tengkorak Merah. Sedangkan Banara tetap berada di depan. Setan Tengkorak Merah hanya mendengus saja sambil memperhatikan ketiga anak muda yang sudah siap melakukan serangan.
Sret..! Cring...!
Ketiga putra Elang Maut itu segera mencabut pedang masing-masing yang tipis dan berwarna keperakan. Bentuk dan ukurannya sama persis. Bagian ujung gagangnya berbentuk kepala burung elang berwarna perak berkilatan. Pedang itu memantulkan cahaya matahari yang baru saja menyembul keluar dari balik pepohonan di sebelah timur.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Setan Tengkorak Merah berteriak keras menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia melompat cepat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah Banara. Begitu cepat dan mendadak sekali serangannya, sehingga membuat Banara jadi terperangah sesaat.
"Hait..!"
Cepat-cepat Banara menarik tubuhnya ke belakang, sehingga kebutan tongkat Setan Tengkorak Merah hanya lewat sedikit di depan dadanya. Pada saat itu, Sarala sudah melompat cepat disertai teriakan keras. Pedangnya langsung dikebutkan ke arah kepala Setan Tengkorak Merah.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Hih!" Setan Tengkorak Merah tidak berusaha menghindar sedikit pun. Tongkatnya malah ditarik dan ditegakkan di samping kepalanya. Tak dapat dihindari lagi, pedang Sarala menghantam tongkat berwarna merah yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak.
Trang!
"Ikh...!" Sarala terpekik agak tertahan. Cepat-cepat dia melompat mundur, lalu berputaran beberapa kali ke belakang sambil memegangi pergelangan tangan kanannya. Seluruh tangan kanannya terasa jadi bergetar kesemutan saat pedangnya menghantam tongkat si Setan Tengkorak Merah barusan. Pemuda itu agak terhuyung begitu kakinya menjejak tanah.
"Hiyaaat...!"
Setan Tengkorak Merah cepat melompat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah Sarala yang masih berusaha menguasai diri. Cepat sekali kebutan tongkatnya, sehingga Sarala tak mungkin lagi bisa menghindar. Tapi pada saat yang tepat, tiba-tiba saja Liliani melompat mengibaskan pedangnya. Dicobanya untuk menyampok tongkat si Setan Tengkorak Merah.
"Yeaaah...!"
Bet!
Trang!
"Hih! Yeaaah...!"
Begitu tongkatnya tersampok pedang Liliani, cepat sekali Setan Tengkorak Merah memutar tubuhnya sambil membungkuk. Sementara kaki kanannya bergerak cepat melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras ke arah perut Liliani. Padahal, gadis itu masih tersentak akibat benturan pedangnya dengan tongkat si Setan Tengkorak Merah barusan. Sehingga, tak ada lagi kesempatan bagi Liliani untuk menghindari tendangan laki-laki tua berjubah merah itu.
Desss!
"Akh...!" Liliani terpekik keras agak tertahan begitu tendangan Setan Tengkorak Merah menghantam telak perutnya. Tubuh gadis itu terpental deras ke belakang. Begitu kerasnya tendangan yang dilakukan Setan Tengkorak Merah. Sehingga, saat tubuh Liliani membentur sebongkah baru yang cukup besar, batu itu langsung hancur berkeping-keping seketika.
"Liliani...!" seru Sarala keras.
Baru saja Sarala hendak melompat menghampiri Liliani yang menggeliat merintih di antara puing-puing pecahan baru, tiba-tiba saja Setan Tengkorak Merah sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan tangan kiri yang cukup keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Akh...!" Sarala terpekik keras begitu pukulan Setan Tengkorak Merah menghantam telak dadanya. Sarala tak mampu lagi bertahan, dan langsung terpental ke belakang. Tubuhnya menghantam beberapa batang pohon hingga roboh. Sarala menggelepar di tanah sambil mengerang.
Sementara Setan Tengkorak Merah memutar tubuhnya perlahan, menghadap Banara yang jadi terlongong bengong melihat kedua adiknya tergeletak menggelepar di tanah hanya beberapa gebrakan saja.
"Kali ini kalian kuberi kesempatan hidup. Kuperingatkan sekali lagi, jangan sekali-sekali lagi berani mengejar Kuda Api. Dia sudah jadi milikku, dan biarkan menitis kembali ke asalnya," dingin sekali nada suara Setan Tengkorak Merah.
Kali ini Banara benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi, dan hanya bisa diam tak bergeming sedikit pun. Sementara Setan Tengkorak Merah sudah berbalik, dan melangkah cepat meninggalkan tepian hutan ini. Arahnya terus menuju ke timur, semakin masuk ke dalam hutan. Banara baru bisa bergerak menghampiri adik-adiknya setelah Setan Tengkorak Merah tidak terlihat lagi.
"Bagaimana keadaan kalian?" tanya Banara.
"Aku harus segera bersemadi. Keras sekali pukulan Setan Tengkorak Merah...," jelas Sarala tersengal.
"Aku juga, Kakang...," sambung Liliani juga tersengal.
"Cepatlah bersemadi. Kalian akan ku jaga," kata Banara begitu cemas melihat keadaan kedua adiknya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sarala dan Liliani mengambil tempat yang teduh di bawah pohon. Kemudian, mereka duduk bersila untuk memulai bersemadi. Sementara Banara menunggui tidak jauh dari kedua adiknya itu. Sesekali matanya menatap mereka yang sudah bersemadi. Jelas sekali kalau raut wajahnya begitu cemas. Apalagi ketika melihat mulut mereka yang terus mengalirkan darah agak kental kehitaman.

65. Pendekar Rajawali Sakti : Kuda Api GordapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang