BAGIAN 4

536 26 0
                                    

Kegelapan mulai menyelimuti sekitar Hutan Gronggong. Binatang-binatang malam mulai keluar dari sarangnya. Hutan yang sungguh lebat ini terasa begitu mencekam dan mengerikan suasananya. Berbagai macam suara yang bisa membuat bulu kuduk berdiri, terdengar di setiap sudut hutan ini. Tapi keadaan yang begitu mencekam ini, tidak menyurutkan nyali tiga orang anak muda untuk terus mengendarai kudanya yang tampak sudah kelelahan.
Ketiga anak muda itu adalah Banara, Sarala, dan Liliani. Mereka adalah putra Elang Maut dari Bukit Elang. Meskipun rona merah masih terlihat membias di ufuk barat, tapi kegelapan sudah menyelimuti sekitar Hutan Gronggong yang begitu lebat ini. Sementara, ketiga putra Elang Maut itu terus maju, tanpa mempedulikan keadaan hutan yang semakin sulit saja dilalui.
"Sebentar lagi hari benar-benar menjadi gelap, Kakang. Apakah tidak sebaiknya berhenti dulu di sini," saran Liliani memecah kesunyian dan kebisuan yang terjadi sejak tadi.
"Tidak. Sebentar lagi kita sampai. Tinggal melewati pohon yang besar itu saja," sahut Banara seraya menunjuk sebatang pohon yang paling besar, di antara pohon-pohon lainnya dalam hutan ini.
Liliani tidak bicara lagi. Dan mereka memang terus bergerak, meskipun tersendat-sendat. Hingga akhirnya, mereka tiba di tempat yang dituju, setelah melewati pohon besar yang ditunjuk Banara. Keadaan memang sudah begitu gelap, sehingga sulit untuk menembus kegelapan yang begitu pekat. Liliani turun dari punggung kudanya, dan menyalakan api dari batu pemantik api yang selalu dibawa. Gadis itu membuat api unggun, sehingga bisa mengurangi kegelapan malam ini.
"Kakang, lihat...!" seru Sarala tiba-tiba.
Liliani dan Banara segera menghampiri Sarala. Liliani jadi terpekik. Buru-buru mukanya dipalingkan begitu melihat dua tubuh tergolek tanpa selembar pakaian menutupnya. Banara segera menghampiri kedua gadis itu, dan menempelkan ujung jarinya di bagian leher dekat dagu.
"Bagaimana?" tanya Sarala yang berada di belakang kakaknya ini.
"Satu masih hidup. Cepat ambil kain di kudaku," ujar Banara.
"Baik, Kakang," sahut Sarala seraya bergegas berlari menuju kuda yang ditunggangi Banara tadi.
Sementara Liliani masih belum menghampiri Banara yang tengah memeriksa keadaan tubuh salah seorang gadis yang masih hidup. Tak berapa lama kemudian, Sarala sudah menghampiri sambil membawa dua lembar kain. Mereka menutupi gadis-gadis itu dengan kain, hingga tidak terlihat polos lagi. Liliani baru menghampiri setelah yakin kedua gadis itu tidak lagi dalam keadaan polos tanpa pakaian.
"Kenapa mereka bisa sampai ada di sini, Kakang? Siapa mereka...?" tanya Liliani.
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak ada yang bisa menjawab. Sementara Sarala yang memeriksa sekitar tempat ini sudah berdiri mematung di pinggir sebuah lubang yang kelihatannya bekas kuburan. Banara dan Liliani menghampiri pemuda itu. Mereka jadi terdiam memandangi lubang bekas kuburan yang menganga cukup lebar.
"Kita terlambat, Kakang. Dia sudah berhasil bangkit dari kubur," ujar Sarala perlahan.
"Sukar dipercaya kalau hal ini dilakukan siang hari. Padahal perhitungan kita, baru malam hari mereka melakukannya," kata Banara seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi kenyataannya, kita benar-benar terlambat, Kakang," sambung Liliani.
"Hhh.... Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Banara seraya berbalik dan melangkah perlahan menghampiri api unggun yang dibuat Liliani tadi.
Sarala dan adik perempuannya mengikuti Banara. Mereka kemudian duduk tidak jauh dari api unggun. Sedangkan tidak jauh dari api unggun, tergolek sesosok tubuh seorang gadis yang tertutup kain cukup tebal yang sudah agak lusuh. Tarikan napas gadis itu begitu perlahan. Bahkan gerak dadanya hampir tidak terlihat. Mereka memperhatikan gadis yang masih belum juga sadarkan diri itu.
"Dia mendapat totokan yang hampir sempurna. Cukup sulit juga membebaskan totokannya. Seluruh darah di tubuhnya hampir membeku. Sedikit saja terlambat, dia akan mati seperti gadis satunya itu," jelas Banara.
"Apa masih lama pingsannya, Kakang?" tanya Liliani.
"Entahlah. Mungkin baru besok pagi sadar," sahut Banara.
"Itu juga kalau pembuka totokanku bekerja di dalam tubuhnya. Aku sendiri tidak yakin, karena dia mendapat totokan dari kekuatan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dariku."
"Mudah-mudahan saja dia bisa sadar, Kakang. Kita membutuhkan keterangannya," kata Liliani lagi.
"Kasihan...," desah Sarala perlahan, seakan-akan untuk dirinya sendiri.
"Kita terpaksa bermalam di tengah hutan ini," kata Banara lagi.
"Ya.... Hutan ini terlalu lebat kuda-kuda kita juga sudah kelelahan," desah Liliani.
Ketiga putra Elang Maut itu tidak ada lagi yang berbicara. Mereka semua terdiam, dengan pikiran bergelut dalam benak masing-masing. Sementara malam terus merayap semakin jauh. Kabut pun semakin tebal, menyebarkan udara dingin yang begitu menusuk sampai ke tulang. Api unggun yang menyala cukup besar, seakan-akan tak sanggup mengusir dinginnya udara malam ini. Tapi tak ada seorang pun dari mereka yang memperdengarkan keluhan. Mereka memang sudah terbiasa hidup di alam terbuka seperti ini.

65. Pendekar Rajawali Sakti : Kuda Api GordapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang