BAGIAN 3

567 25 2
                                    

Tujuh orang tokoh tingkat tinggi golongan hitam itu tiba-tiba saja menghunjamkan pisau tepat ke bagian tengah dada sosok tubuh yang menghitam hangus terbaring di tanah. Pada saat itu, terdengar ledakan guntur menggelegar di angkasa, disusul berkelebatannya secercah cahaya kilat yang langsung menyambar dada sosok tubuh hitam itu.
Pada saat yang bersamaan, tujuh orang tokoh persilatan itu berlompatan mundur sejauh dua batang tombak. Tiba-tiba saja, muncul asap hitam yang menggumpal menyelimuti seluruh tubuh hitam hangus itu. Pada saat yang bersamaan, kuda hitam itu menggelepar jatuh ke tanah sambil menggerung-gerung. Bumi langsung bergetar. Bahkan angin seketika berhembus kencang, menerbangkan apa saja yang ada di sekitar Hutan Gronggong ini. Asap hitam itu semakin besar menggumpal, hingga menyelimuti tubuh kuda hitam yang menggelepar sambil menggerung-gerung di tanah.
Tiba-tiba saja, warna asap itu berubah jadi merah bagai darah. Lalu, berganti warna hingga beberapa kali. Dan bersamaan dengan tenangnya alam, asap yang kembali hitam itu pun menyebar hilang. Pada saat itu, di tempat sesosok mayat tadi tergeletak, kini sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya indah, berwarna biru muda. Di sampingnya berdiri seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah.
"Ha ha ha...!" pemuda tampan itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba, suara tawanya terhenti begitu melihat tujuh orang berlutut sekitar dua tombak di depannya. Kemudian kakinya melangkah tenang sambil merayapi wajah tujuh orang yang masih berlutut di depannya.
"Aku senang kalian bisa memenuhi undangan dan permintaanku. Tapi sayang, seharusnya ada delapan pisau emas yang tertanam di tubuhku. Bukannya tujuh...," kata pemuda itu, suaranya terdengar dingin menggetarkan.
"Kami tidak tahu. Yang jelas, hanya kami bertujuh yang datang ke sini," kata Iblis Tengkorak Merah.
"Hm.... Itu berarti kalian harus bisa mendapatkan satu pisau emasku lagi. Dengan demikian, kehidupan dan kekuatanku baru benar-benar sempurna. Hanya dengan tujuh pisau emas saja, kehidupanku belum begitu sempurna. Dan itu berarti aku masih memerlukan pelindung kalian semua," jelas pemuda itu lagi, tetap dingin suaranya.
"Kami akan mendapatkannya, Raden Gordapala," sahut Iblis Tengkorak Merah lagi.
"Hm...," pemuda yang dipanggil Raden Gordapala tiba-tiba menggumam kecil. Kepalanya bergerak menggeleng ke kanan dan ke kiri, lalu memandangi tujuh orang yang masih berlutut di depannya.
Ketujuh orang tokoh persilatan itu hanya memandangi tidak mengerti. Tapi mendadak saja, Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut melesat cepat ke arah sebuah batu besar yang tingginya hampir menyamai pohon.
"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tak lama kemudian, sesosok tubuh kurus tanpa baju terlempar ke udara. Tubuh laki-laki tua kurus itu lalu terbanting keras di tanah dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Hanya sebentar dia menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut kembali melesat keluar dari balik batu. Masing-masing kini telah mencengkeram seorang wanita muda berwajah cukup cantik. Mereka lalu mendorong dua gadis muda itu, hingga tersuruk ke depan kaki Raden Gordapala.
"Siapa bocah-bocah ayu ini, Paman Tengkorak Merah?" tanya Raden Gordapala.
"Aku tidak tahu, Raden. Mungkin hanya pencari kayu bakar saja," sahut Iblis Tengkorak Merah.
Sementara itu, Iblis Kembar dari Utara, Dewi Naga Kembar, dan Dewi Cambuk Maut sudah berdiri di belakang Raden Gordapala. Sedangkan dua gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu masih berlutut dengan tubuh gemetar di depan pemuda tampan yang menatap dengan sinar mata tajam berkilat.
"Apakah hanya mereka saja yang ada di sini, Paman Siulan Maut?" tanya Raden Gordapala tanpa mengalihkan tatapannya pada kedua gadis itu.
"Ada satu orang lagi, Raden. Tapi berhasil kabur," sahut Kakek Siulan Maut.
"Setan...! Kejar, dan bunuh dia!" geram Raden Gordapala langsung memerah wajahnya. "Apa kalian tidak tahu, tak seorang pun boleh berada di sini, selain kalian yang memegang pisau emasku!"
"Maafkan kelalaian kami, Raden. Kami begitu bahagia melihat Raden hidup kembali, sehingga tidak memperhatikan keadaan sekeliling," ucap Kakek Siulan Maut.
"Aku tidak peduli alasan kalian semua! Cepat pergi, dan bawa kepalanya padaku!" perintah Raden Gordapala lantang dan menggelegar.
"Baik, Raden," sahut ketujuh orang itu seraya membungkuk memberi hormat.
Tanpa diperintah dua kali, tujuh tokoh persilatan yang sudah kondang namanya itu segera berlompatan ke balik batu besar, tempat Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut tadi menemukan laki-laki tua yang sekarang sudah tergeletak tewas, dan dua orang gadis muda berwajah cukup cantik. Sebentar saja bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak terlihat lagi.
Kini, Raden Gordapala memandangi kedua gadis yang masih berlutut di depannya. Dengan kasar sekali, gadis itu disentakkan hingga berdiri. Tubuh mereka semakin bergetar, dengan kepala tertunduk tak sanggup menentang sorot mata Raden Gordapala yang begitu tajam menusuk.
"Kenapa kalian mengintai ku?" tanya Raden Gordapala dingin. Suaranya terdengar agak mendesis.
Kedua gadis itu tidak menjawab. Bahkan tubuh mereka malah semakin gemetar ketakutan. Raden Gordapala mendesis geram. Dengan kasar sekali, dicengkeramnya dagu salah seorang gadis yang berbaju kuning, lalu mengangkatnya. Mau tak mau, Raden Gordapala bisa menatap wajahnya yang pucat lebih jelas lagi.
"Aku bisa berbuat apa saja padamu...," desis Raden Gordapala, semakin dingin suaranya. "Tapi kau cukup cantik untuk mati lebih cepat. Lama sekali aku tidak pernah lagi menikmati kehalusan kulit wanita. Kalian berdua akan menjadi gadis-gadis pertama yang merasakan permainan ini."
"Oh...?!" gadis berbaju kuning itu terkejut setengah mati. Wajah gadis itu semakin pucat pasi, dan tubuhnya semakin keras menggeletar.
Tiba-tiba saja Raden Gordapala menggerakkan tangannya dengan cepat. langsung ditotoknya dada kiri gadis yang satunya lagi. Gadis itu mengeluh pendek, dan langsung ambruk menggeletak di tanah. Seluruh tubuhnya jadi lemas tak bertenaga. Hanya bagian kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Sementara, seluruh tubuh lain tak mampu digerakkan lagi.
"Kau akan mendapat giliran nanti, Anak Manis! he he he...!"
"Auwh...!" Gadis berbaju kuning itu terpekik. Sekuat daya tubuhnya beringsut, mencoba berontak. Tapi Raden Gordapala malah tersenyum menyeringai kesenangan. Tangannya kembali bergerak cepat mendekap tubuh yang tergolek di depannya.
"Akh...!"
Kasar sekali Raden Gordapala menyentakkan tubuh gadis yang berbaju kuning itu, sehingga terjatuh terlentang di tanah berumput cukup tebal. Perlahan Raden Gordapala melangkah menghampiri, dan menjulurkan tangan kanannya. Lalu cepat sekali disambarnya baju bagian dada gadis itu, dan disentakkan kuat-kuat.
"Auwh...!" gadis itu terpekik. Cepat-cepat gadis berbaju kuning itu menutupi dadanya yang terbuka dengan kedua tangan. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan, dia berusaha menghindari laki-laki tampan berwajah bengis itu. Sekuat daya tubuhnya beringsut, mencoba menjauh.
Tapi, Raden Gordapala malah tersenyum menyeringai kesenangan. Namun kembali tangannya cepat digerakkan, menyambar pakaian yang dikenakan gadis itu lagi.
Brettt!
"Auwh...!"
"He he he...!" Raden Gordapala terkekeh liar melihat tubuh yang hampir terbuka tergolek di depannya. Kulit tubuh yang halus tanpa cacat, membuat bola mata laki-laki tampan itu jadi berbinar penuh gejolak nafsu.
Sedangkan gadis itu berusaha menutupi tubuhnya yang sudah terbuka. Tapi belum juga bisa menutupi tubuhnya, tiba-tiba saja Raden Gordapala sudah cepat menerkamnya. Kembali gadis itu terpekik, dan meronta berusaha melepaskan diri.
Tapi pelukan Raden Gordapala begitu kuat. Terlebih lagi, pemuda tampan itu menekan dadanya. Sehingga, membuat napas gadis itu jadi sesak. Dengan kasar sekali, Raden Gordapala merenggut seluruh pakaian yang melekat di tubuh gadis itu. Akibatnya, tak ada selembar benang pun yang melekat. Seluruh tubuh gadis itu benar-benar polos. Sepasang bola mata Raden Gordapala semakin liar menjilati sekujur tubuh menggairahkan.
"Oh..., tolong...! Lepaskan! Jangan sakiti aku...," rintih gadis itu lirih.
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Tenaganya memang kalah jauh bila dibanding Raden Gordapala yang sudah dirasuki nafsu yang tak terkendali lagi. Rintihan gadis itu tidak membuat gairah pemuda yang baru bangkit dari kubur itu jadi surut. Bahkan semakin liar saja. Dan gadis yang malang itu tak bisa lagi berbuat apa-apa. Air matanya malah sudah menitik deras. Dia hanya bisa merintih, dan memohon. Tapi rintihannya sama sekali tidak dipedulikan.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja gadis itu memekik agak tertahan.
Tubuh bugil itu langsung mengejang kaku, dan kelopak matanya terbeliak lebar. Sesaat kemudian, dia terkulai lemas. Hanya isak tangis dan rintihan lirih saja yang terdengar. Matanya dipejamkan, tak sanggup melihat pemuda yang tengah berpacu di atas tubuhnya.

65. Pendekar Rajawali Sakti : Kuda Api GordapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang