nad maaf

9 0 0
                                    

#NAD_Maaf

#Maafkan_Aku
Penulis : Noviyana Sandy Lestari
Word : 1035 kata

Oktober 2008
12:29 WIB.
[Bos masih sakit dek?] tanya Rio, dari seberang telepon.
[Iya bang.] Jawab Nadisa. Yang berdiri di bawah pohon kelapa hibrida, yang tidak terlalu tinggi pohonnya.
[Oh, semoga cepat sembuh ya, Papanya yank.] Balas Rio memberi semangat. Dari kota Pekanbaru sana.
[Biarin ajalah, kalo dia mati. Bapak Tiri jugak.] Jawab Nadisa asal. Tepat saat Azan Juhur hampir selesai berkumandang.
[Astagfirullah, Disa ... Gak boleh ngomong gitu dek, apalagi pas azan. Lagi azan di sana kan?] tanya Rio memastikan, dan di jawab deheman oleh Nadisa.

[Kamu tau dek, doa yang paling di ijabah oleh Allah, saat hujan dan saat antara berhenti azan dan hendak iqomah. Jangan suka ngomong gitu, adek-adek Disa masih kecil-kecil butuh papanya, doakan beliau ya sayang, biar cepat sehat.] Lagi Nadisa hanya berdehem.

[Gak enak banget jawabannya dek. Marah sama abang, yaa?] tanya Rio lembut.
[Gak lah, mana bisa Disa marah sama abang, dah terlanjur sayang.] balas Nadisa, dengan ekspresi kesal, meski Rio tak bisa melihatnya.
Orangtua Nadisa di rumah sakit, ibu dan adiknya yang ketiga Agung sembilan tahun, juga yang terakhir Djohari tiga tahun, ikut menjaga ayahnya, yang tiba-tiba mengeluarkan darah segar terus tanpa henti dari duburnya. Di mulai dari hari kamis. Di bawa ke rumah sakit Indah di Bagan batu. Kecamatan Rokan Hilir itu. Sementara sakit itu sudah dari minggu sebelumnya, namun tak di bawa rasa oleh ayahnya.

Memang Sardito ayah Nadisa adalah ayah sambungnya, Riyati ibunya Disa,  menikah dengan Sardito saat Nadisa masih berusia lima tahun.
Lelaki tegap, bahunya kekar, kulitnya eksotis karena sering terpapar cahaya matahari, alisnya juga tebal dan kumisnya yang membuat lelaki yang usianya setengah abad lebih itu terlihat sangat wibawa.

Tak pernah marah, memukul apalagi berkata kasar, orang yang penuh dengan kelembutan. Nasehat-nasehat yang sangat bijaksana.
Yang masih terekam jelas di memory anak-anaknya.

****
Teman ayah Nadisa datang berniat mengajak Nadisa menjenguk Ayahnya.
"Mbak Disa, besok temani saya ya, lihat Pak Sardi," ujar Hamadi, ptia berusia 31 tahun kala itu.
"Oh, bisa om, kebetulan saya belum pernah datang kesana semenjak Papa sakit," balas Nadisa. Ada kerinduan yang membuncah di dada, ada terselip sejuta kata maaf untuk ayahnya, ada penyesalan yang teramat dalam dari palung hati Nadisa.
Hamadi pamit, sore itu pukul lima lewat lima menit.

Nadisa menangis tiap sujudnya memohon ampunan atas dosanya, mengetuk pintu langit di sepertiga malamnya, kiranya Allah masih menerima maafnya, mengabulkan doanya hamba yang penuh dosa.
Dia menyesali kata-kata yang terlanjur terlontar dari bibirnya.

"Hamba mohon ampun ya Allah, jangan Kau jadikan nyata, ucapan durhaka hamba. Ya Allah, Rabb Manusia, hilangkanlah kesusahan dan berikanlah Papa kesembuhan, Engkau Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas dosa dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan kasihanilah keduanya itu sebagaimana beliau berdua merawatku ketika masih kecil."

Tergugu Nadisa dalam sujud yang lama, lalu duduk berdzikir, dan membaca mushafnya.

Senin, Oktober 2008.

13:25 Wib.
Pelajaran Biologi, yang di ajarkan oleh Ibu Rasmi di kelas 12 IPA.
Hampir selesai, datang lelaki lajang melewati kelas Nadisa menuju kantor guru.
Lalu menghampiri kelas Nadisa bersama wali kelas Nadisa, Pak Hary.

Pak Hary berbicara dengan Bu Rasmi di depan pintu kelas, lalu bu Rasmi mendekat pada Nadisa yang duduk paling depan itu.
"Disa, kamu pulang duluan ya sayang." lirih Bu Rasmi berucap, tanpa tanya Nadisa membereskan peralatan sekolahnya, memasukannya ke dalam tas selempang warna merah.

Nadisa perasaannya mulai kalut, entah apa tiba-tiba rasanya ia ingin menangis, guru biologi itu, merangkul pundak Nadisa, mengusap bahunya, "Kamu anak kuat." Gumamnya.

Sebelum pulang, Pak Hary, mengusap kepala Nadisa yang tertutup hijab putih segiempat.
"Yang kuat ya, nak." Ucapnya lirih.
Tanpa komando luntur airmata Nadisa. Seolah tahu akhir dari maksut ucapan guru itu.
Kenapa tiba-tiba di jemput? Beribu pertanyaan berlarian di kepala Nadisa.

Nadisa duduk di boncengan dengan pemuda yang usianya 22tahun, Iwan namanya adik dari tetangga Nadisa.
Padahal paman Disa ikut menjemput tapi Nadisa malah duduk dan berboncengan dengan Iwan.

"Bang, kenapa Disa di jemput?" tanya Disa. Tapi Iwan tak menjawabnya .
Tak putus asa Disa bertanya lagi.
"Bang, ada apa sebenarnya? Kok perasaan Disa gak enak ya bang."
"Bang, jawab bang," Nadisa menarik baju Iwan dari belakang.
"Nanti adek juga tau, jangan sedih ya," jawabnya. Tak membuat hati gadis itu puas.

Hampir sampai di kediaman Nadisa.
"Bang kok ada tenda biru depan runah Disa?  Kok ada bendera kuning bang? Siapa yang meninggal?" Cecar Disa. Tangan yang menarik baju Iwan, di tangkap pemuda itu.
Di genggam erat, sebelum tiba di rumah Nadisa.
"Disa yang kuat sayang ya, Disa gak sendiri." Iwan melepas pegangan tangannya saat sampai depan rumah Disa.

Gadis itu berhambur lari ke dalam rumah, tetangga sudah berkumpul dengan  jilbab sibuk dengan racikan bunga.
Salah satu tetangga memeluk Nadisa, yang sudah terisak, hatinya sakit. Sesak melingkupi dada, jiwa dan raganya.
"Kuatin adek-adekmu Dis, kamu anak pertama, kalau kamu histeris gini adikmu ikut menangis juga." Leni ibu tiga anak perempuan itu, tetangga sebelah rumah Nadisa.

Nadisa tak mampu berkata, hanya tangis yang mampu mewakili isi hatinya, ia tak baik-baik saja.
Merasa bersalah merasa durhaka, merasa paling berdosa.

"Oh Allah, jangan kau hukum adik-adikku juga ibuku karena kesalahanku, ya Allah kenapa tak Kau berikan maaf untukku, aku menyesal, ampuni aku ya Allah," lirih dalam hati ia merintih, mengaduh hancurnya hati.

Mobil ambulans datang membawa jenazah ayah Nadisa.
Meletakkan tubuh yang dingin dan kaku, wajah putih yang membisu.
Tenang dalam diam takkan merasakan sakit lagi, takkan merasakan pedih lagi.

Nadisa memeluk tubuh kaku itu,
"Maafin Disa Pa, bangun Pa, kali ini Disa akan jadi anak yang penurut, Papa mau Disa cium pipinya kan?  Disa sayang papa, bangun pa. Kami masih butuh papa," Disa menangis terus menangis, airmata tak henti tumpah ruah, membaca alquran pun sudah tak fokus.
Adik-adiknya masih kecil-kecil.
Dwi kala itu masih duduk di bangku kelas VI SD. Agung kelas IV, Dzaky kelas II, yang terakhir Dzohari masih tiga tahun umurnya. 

Ibu seperti orang yang hilang arah, hilang semangat hidup, seperti mayat tatapan kosong tapi airmata tak henti mengalir, sesekali tangisan itu terdengar sangat memilukan. Nadisa dan adik-adiknya memeluk tubuh kaku yang terbungkus kain kafan, dengan seulas senyum tipis yang akan selalu di rindukan.

31 Januari 2020


NadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang