Sepuluh orang gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan itu memang bukan manusia biasa. Meskipun dikeroyok puluhan orang yang memiliki kepandaian dalam ilmu olah kanuragan, mereka tidak mengalami satu kesulitan sedikit pun. Bahkan satu persatu murid Padepokan Bukit Rangkas dibuat tak berdaya. Tubuh-tubuh berlumur darah semakin banyak bergelimpangan. Namun pertarungan itu masih terus berlangsung sengit.
Pertarungan itu terus berlangsung, hingga matahari membiaskan sinarnya di ufuk timur. Meskipun sudah lebih dari setengah jumlah murid Padepokan Bukit Rangkas yang tewas, tapi tak ada seorang pun dari mereka yang mencoba keluar dari pertarungan. Terlebih lagi Eyang Danarpati. Dia bertarung seperti seekor banteng liar. Namun sampai begitu lama pertarungan berlangsung, satu orang pun belum juga berhasil dilumpuhkan."Khraaagkh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara keras yang begitu menggelegar di angkasa. Begitu kerasnya suara itu, sehingga seluruh Puncak Bukit Rangkas ini jadi bergetar bagaikan hendak runtuh. Dan suara itu rupanya mengejutkan sepuluh orang gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan. Hampir bersamaan, mereka mendongak ke atas. Lalu seperti ada yang memberi perintah, mereka langsung berlompatan pergi dari padepokan ini.
Rupanya ada sesosok tubuh berpakaian biru yang sejak tadi berada di atas pohon. Dialah yang memberi perintah kepada sepuluh gadis berbaju merah untuk pergi menghindar. Karena dia telah mengetahui kalau suara burung itu adalah burung rajawali tunggangan Rangga. Rampita yang merupakan Titisan Ratu Pantai Selatan, merasa belum waktunya untuk bentrok dengan Rangga maupun burung rajawali tunggangannya.
Gerakan mereka begitu cepat luar biasa. Sehingga dalam sekejapan mata saja, kesepuluh gadis itu sudah hilang dari pandangan. Maka pertarungan itu pun seketika jadi terhenti. Sementara, cahaya matahari semakin terang membias. Tampak Eyang Danarpati merayapi mayat-mayat muridnya yang bergelimpangan. Sedangkan Karina menghampiri laki-laki tua itu.
"Tinggal berapa orang yang masih hidup?" tanya Eyang Danarpati sambil memandangi murid-muridnya yang masih hidup.
"Tinggal lima belas orang lagi," sahut Karina.
"Hhh...!" Eyang Danarpati menghembuskan.
"Kenapa mereka tiba-tiba pergi, Eyang?" tanya Karina masih keheranan atas kepergian sepuluh orang pengawal Ratu Pantai Selatan yang begitu tiba-tiba.
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Eyang Danarpati mendesah. "Tapi...."
"Tapi kenapa, Eyang?"
"Kau dengar sesuatu sebelum mereka pergi, Karina?" Eyang Danarpati malah balik bertanya.
"Ya! Seperti suara guntur," sahut Karina.
"Itu bukan guntur, Karina. Suara itu terasa aneh sekali. Yang jelas, baru kali Ini aku mendengarnya," kata Eyang Danarpati membantah jawaban Karina.
Perlahan laki-laki tua itu mengayunkan kakinya diikuti Karina yang selalu setia mendampingi. Dan itu memang sudah suatu kebiasaan. Jika Sanjaya yang merupakan cucu Eyang Danarpati tidak ada di padepokan ini, maka yang bertugas mendampinginya adalah gadis ini. Karena, Karina adalah orang kedua setelah Sanjaya di Padepokan Bukit Rangkas ini.
"Kalian bereskan semua ini," perintah Eyang Danarpati pada sisa muridnya yang masih hidup.
Tak ada seorang pun yang membantah. Meskipun dalam keadaan yang teramat lelah, murid-murid Padepokan Bukit Rangkas yang tinggal berjumlah sekitar lima belas orang itu segera melaksanakan perintah gurunya. Sementara, Eyang Danarpati sendiri terus melangkah didampingi Karina.
Tiba-tiba saja, ayunan langkah kaki Eyang Danarpati terhenti. Kepalanya langsung didongakkan ke atas langit, tepat ketika di angkasa terlihat seekor burung berputar-putar mengelilingi Puncak Bukit Rangkas ini. Kelopak mata laki-laki tua itu jadi berkerut Burung itu terbang begitu tinggi sekali, bagai menyatu dengan awan. Tapi, sangat jelas terlihat.
"Khraaagkh...!"
"Kau dengar suara itu, Karina...?" tanya Eyang Danarpati dengan suara setengah menggumam. Dia seakan-akan bertanya pada diri sendiri.
"Aku dengar, Eyang," sahut Karina yang juga memandangi burung itu di angkasa. "Tapi, apa mungkin suara tadi dari burung itu, Eyang...?"
"Hmmm...," Eyang Danarpati hanya menggumam perlahan saja.
Mereka terus memperhatikan burung yang tampak putih keperakan di angkasa. Burung yang sepertinya seekor rajawali itu terus berputar-putar di atas Puncak Bukit Rangkas. Kemudian tiba-tiba saja burung itu melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, burung itu sudah menghilang entah ke mana.
"Hhh...! Pertanda apa lagi ini,..? Kenapa sekarang ini banyak kejadian-kejadian aneh...?" keluh Eyang Danarpati, mendesah lirih.
Sebenarnya, apa yang dilihat Eyang Danarpati dan Karina tadi?
Memang di atas Bukit Rangkas tadi, ada seekor burung berbulu putih keperakan. Namun, burung itu bukanlah burung biasa, melainkan seekor rajawali raksasa. Terbangnya demikian tinggi. Sehingga, terlalu sulit untuk bisa melihat jelas, kalau di atas punggung burung raksasa itu tengah duduk dua orang.
Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut Saat ini mereka memang sedang menunggang Rajawali Putih, seekor rajawali raksasa berbulu putih tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan burung raksasa itulah yang menjadikan Rangga seorang pendekar tangguh dan digdaya seperti sekarang ini. Hingga, pemuda berbaju rompi putih itu sangat disegani oleh tokoh-tokoh persilatan, baik golongan putih maupun golongan hitam.
"Ke mana mereka menghilang, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah. Mereka tidak terlihat lagi setelah melewati tebing batu di sana itu," sahut Rangga sambil menunjuk sebuah tebing yang penuh batu-batu.
"Sebaiknya, kita lihat dulu keadaan di Padepokan Bukit Rangkas, Kakang," usul Pandan Wangi.
"Kau saja yang ke sana lebih dulu. Aku akan menyelidiki sekitar tebing batu itu," kata Rangga memberi perintah.
Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya saja. "Katakan pada Eyang Danarpati, aku akan segera ke sana," kata Rangga lagi.
Rangga kemudian memerintahkan Rajawali Putih untuk mendarat di sebuah dataran yang cukup luas, tidak jauh dari Padepokan Bukit Rangkas. Kedua pendekar muda itu langsung berlompatan turun dari punggung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini, begitu sampai di tanah.
"Ingat, Pandan. Jangan bertindak sesuatu sampai aku datang ke sana," pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala. Setelah itu, Rangga kembali melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Begitu Pendekar Rajawali Sakti menepuk leher burung itu, maka cepat sekali Rajawali Putih melambung tinggi ke udara sambil memperdengarkan suara yang begitu keras menggelegar seperti guntur. Sementara, Pandan Wangi masih tetap berdiri memandangi sampai Rajawali Putih hilang dari pandangannya.
Sedangkan Rangga yang masih menunggang Rajawali Putih, kembali ke tebing batu di Lereng Bukit Rangkas ini. Dia meminta Rajawali Putih untuk mendekati tebing batu itu.
"Jangan pergi jauh-jauh, Rajawali. Aku pasti akan membutuhkanmu," pesan Rangga.
"Khraaagkh!"
"Terus lebih dekat lagi, Rajawali." Rajawali Putih meluruk semakin dekat dengan tebing batu itu. Lalu....
"Hup...!"
Ringan sekali Rangga melompat dari punggung burung rajawali raksasa itu. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah mencapai tingkat yang begitu sempurna. Sehingga, bagaikan selembar daun kering tubuhnya hinggap di atas tebing batu itu. Sementara, Rajawali Putih kembali melambung tinggi ke udara.
"Rasanya tidak mungkin kalau mereka bisa menghilang begitu saja. Pasti ada sesuatu di sekitar tebing batu ini," gumam Rangga berbicara sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sorot matanya begitu tajam, merayapi sekitar tebing batu itu. Rangga terus berlompatan dari satu tonjolan batu, ke tonjolan batu lainnya. Hingga akhirnya, dia berhenti begitu kakinya menjejak sebuah batu yang permukaannya cukup besar dan datar.
"Hmmm...."
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, berharap menemukan sebuah gua. Tapi harapannya tidak juga terwujud. Yang dilihat hanya tumpukan bebatuan serta hamparan kerikil di sepanjang tebing Lereng Bukit Rangkas ini. Tapi, hatinya begitu yakin kalau sepuluh orang yang dilihatnya tadi menghilang di sekitar tebing batu ini.
"Apa yang kau cari di sini, Cah Bagus...?"
"Heh...?!"
Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar teguran yang begitu halus dan lembut. Cepat tubuhnya berputar berbalik. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu tiba-tiba saja di atas tebing batu ini sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Tubuhnya ramping, terbungkus baju warna biru ketat.
Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak mengetahui kehadirannya. Tahu-tahu, di atas tebing batu itu sudah berdiri seorang gadis seperti bidadari. Baju yang dikenakannya juga terbuat dari bahan yang cukup tipis, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang nyata sekali.
"Hup...!"
Hanya sekali mengempos tubuhnya saja, Rangga melesat tinggi ke udara. Begitu ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melayang. Kemudian kakinya hingga di atas tebing batu, tidak jauh di depan gadis cantik berbaju biru itu, tanpa memperdengarkan suara sedikit pun.
"Kau mencari sesuatu di sini, Kisanak?" tanya gadis itu masih dengan suara lembut sekali.
"Ya! Aku mencari sepuluh orang gadis," sahut Rangga sambil mengamati wanita yang berdiri sekitar dua tombak di depannya ini.
"Aku tahu, di mana mereka," kata gadis itu lagi, masih dengan suara lembut.
"Hm, di mana?" tanya Rangga dengan kening jadi berkerut
"Tidak jauh dari sini. Bahkan mereka ada di sekitar tebing ini," sahut gadis itu lagi.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi bertambah berkerut. Dipandanginya gadis Cantik yang berdiri di depannya ini dalam-dalam. Sepertinya, Pendekar Rajawali Sakti sedang mengamatinya. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum saja dengan sikap seperti mengundang.
"Kau begitu tampan sekali. Siapa namamu, Kisanak?" tanya gadis itu disertai senyuman manis dan menggoda.
"Rangga. Dan kau sendiri siapa, Nisanak?" sahut Rangga langsung balik bertanya lagi.
"Rampita," sahut gadis itu masih dengan senyum manis tersungging di bibirnya.
"Nama yang cantik sekali," puji Rangga. "Tapi, kenapa kau berada di tempat sepi seperti ini...?"
"Seperti yang kukatakan tadi, aku tahu tempat mereka yang kau cari tadi," sahut Rampita kalem.
"Kau tahu apa yang kucari...?" Rangga jadi berkerut keningnya.
"Kau mencari mereka, bukan...?"
Rampita menunjuk ke arah samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Seketika kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu berpaling ke arah kanan. Sekitar tiga tombak di sebelah kanannya, tahu-tahu sepuluh orang gadis cantik berbaju merah menyala sudah berdiri di situ. Gadis-gadis itulah yang dilihatnya dari angkasa, ketika menggempur Padepokan Bukit Rangkas belum lama tadi.
Rangga benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh dia tidak tahu kapan datangnya sepuluh gadis itu. Sama sekali tak terdengar suara, yang menandakan kedatangan gadis-gadis berbaju merah itu. Bahkan kemunculan gadis yang mengaku bernama Rampita pun, sama sekali tidak diketahuinya. Rangga cepat menyadari kalau sekarang ini sedang berhadapan dengan gadis-gadis cantik yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Sehingga, kehadiran mereka saja tidak menimbulkan suara sedikit pun juga, dan sama sekali tidak diketahuinya.
"Eh...?!"
Lagi-lagi Rangga terkejut begitu kembali berpaling pada Rampita. Gadis itu kini kelihatan lain sekali. Bukan hanya wajahnya yang bercahaya. Bahkan juga seluruh tubuhnya terselimut cahaya yang memendar terang, membuat wajahnya kelihatan begitu cantik. Seakan-akan, Rangga sedang berhadapan dengan dewi yang baru turun dari kahyangan. Bahkan pakaian yang dikenakan gadis itu juga langsung berubah, begitu gemerlapan bagai bertaburkan intan berlian. Rangga merasakan kalau tidak lagi berhadapan dengan Rampita. Dan dia tidak tahu, siapa wanita yang begitu cantik bagai Dewi Kahyangan yang berada di depannya itu.
Perlahan Rampita yang kini sudah berubah ujudnya itu melangkah menghampiri Rangga yang masih berdiri terpaku, seperti tidak percaya kalau hal ini benar-benar terjadi. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap memandangi, meskipun Rampita sudah berada sekitar lima langkah lagi di depannya.
Aroma yang sangat harum, begitu terasa menyengat hidung Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, terasakan kalau aroma harum itu bukanlah wewangian biasa. Rangga sudah pernah menghadapi hal seperti ini. Dan....
"Hmmm...! Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti memindahkan pusat pemapasannya melalui perut. Cepat disadari kalau bau harum yang merasuk penciumannya mengandung sesuatu yang begitu kuat dan bisa cepat menghilangkan kesadarannya. Tapi hal itu bisa ditahannya setelah memindahkan pusat pemapasannya ke perut, dan menutup pusat peredaran darahnya lewat pengerahan hawa mumi. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur dua tindak.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga agak dingin nada suaranya.
"Bersujudlah, Cah Bagus. Kau pasti sudah tahu, dengan siapa kau berhadapan," sahut Rampita. Suaranya kini terdengar lain sekali.
Suara Rampita kali ini begitu lembut, sehingga membuat siapa saja yang mendengar bisa langsung hilang kesadarannya. Dan itu bisa dirasakan Rangga pada aliran darahnya yang sudah terjaga hawa murni yang cepat dikeluarkannya tadi. Pendekar Rajawali Sakti juga merasakan adanya sesuatu yang begitu lain. Bukan hanya udara di atas tebing batu ini saja yang lain, tapi juga suasana dan segala yang ada. Seolah-olah, Rangga bukan lagi berada di dalam dunia nyata. Untung Rangga tetap bertahan agar tidak kehilangan kesadarannya.
Kening Pendekar Rajawali Sakti kembali berkerut, saat melihat sepuluh orang gadis yang dikejarnya dari Puncak Bukit Rangkas juga sudah berubah pakaiannya. Mereka kini mengenakan pakaian seperti para putri raja atau bangsawan. Cahaya yang menyelimuti tubuh mereka, membuat mereka tampak begitu cantik dan menggairahkan sekali.
"Hmmm.... Apakah mereka ini yang diceritakan Karina...?" gumam Rangga berbicara sendiri dalam hati. "Kalau memang begitu, berarti aku berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan dan pengawal-pengawalnya. Hmmm..., aku harus hati-hati. Mereka bukan manusia, tapi siluman yang seharusnya hidup di dasar samudera."
Sementara, Rangga melangkah mundur beberapa tindak. Matanya sempat melirik pada sepuluh orang gadis yang masih tetap diam di tempatnya. Setelah menyadari dengan siapa sekarang berhadapan, Rangga tidak mau berbuat gegabah yang bisa mencelakakan diri sendiri. Sudah sering didengarnya tentang ratu penguasa samudera ini. Dan dia sudah tahu, wanita cantik yang gemar pemuda-pemuda tampan ini tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun juga! Dan memang, sampai saat ini belum ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.
Rangga sendiri tidak yakin kalau bisa menandingi kesaktian yang dimiliki Ratu Pantai Selatan. Karena, wanita itu memang siluman yang memiliki kesaktian begitu tinggi. Sehingga, sulit diukur tingkatannya. Tapi bukan itu yang menjadi pikiran Pendekar Rajawali Sakti ini. Dari cerita-cerita yang didengarnya, belum ada seorang pun yang bisa lolos bila sudah berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan. Bahkan tidak ada seorang pun yang bisa kembali dalam keadaan hidup.
"Hmmm.... Kalaupun aku harus mati, aku tidak boleh mati menjadi budaknya," desis Rangga bertekad dalam hati.
"Kenapa kau mengejar para pengawalku, Rangga?" tanya Ratu Pantai Selatan agak dingin nada suaranya.
"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Nisanak," sahut Rangga tegas.
"Aku tahu, siapa kau sebenarnya, Rangga. Dan aku tahu betul mengenai kehidupanmu. Tapi, itu bukan berarti kau bisa seenaknya saja ingin mencampuri urusanku," tegas Ratu Pantai Selatan, semakin dingin nada suaranya.
"Aku tidak akan mencampuri urusanmu, kalau saja kau tidak menyakiti bangsaku!"
"Aku tidak pernah menyakiti seorang manusia pun. Aku justru banyak menolong mereka keluar dari kesulitan. Dan keberadaanku di sini pun karena menolong seseorang dengan satu perjanjian yang sangat adil. Aku bersedia menolong segala kesulitannya, dan dia juga bersedia memenuhi kebutuhanku. Cukup adil, bukan...?"
"Memang adil, tapi aku akan menghentikan perjanjian itu!" dengus Rangga tegas.
"Perjanjian itu akan berhenti kalau dia sudah tidak sanggup lagi menyediakan kebutuhanku. Jadi, tidak ada gunanya kau bersusah payah menghentikannya, Rangga. Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan perjanjianku dengan manusia," tegas Ratu Pantai Selatan memperingatkan.
"Aku yang akan menghentikannya!" tegas Rangga.
"Kau terlalu congkak, Rangga," desis Ratu Pantai Selatan dingin. "Walaupun kau sering disebut-sebut sebagai manusia setengah dewa, tapi kau belum cukup untuk menghentikanku. Sebelum telanjur, sebaiknya kembali saja ke Kulon. Dan, jangan mencampuri urusanku lagi. Kau akan menyesal, Rangga. Bahkan rohmu pun akan menyesal."
Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis sekati senyumnya, sehingga hampir tak terlihat. Cepat disadari kalau keadaannya sudah semakin memanas. Bahkan bukannya tidak mungkin, bisa terjadi adu kesaktian. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi, walaupun sudah tahu dengan siapa berhadapan sekarang ini.
"Hmmm.... Kau begitu tampan, Rangga. Sayang kalau ketampananmu disia-siakan begitu saja," ujar Ratu Pantai Selatan lembut menggoda.
"Kau juga cantik. Tapi maaf, sama sekali aku tidak tertarik oleh kecantikanmu," balas Rangga sambil mengulas senyum.
"Keparat...! Kau sudah berani menghinaku, Bocah!" geram Ratu Pantai Selatan.
Balasan kata-kata Rangga memang membuat Ratu Pantai Selatan jadi berang setengah mati. Wajahnya seketika itu juga memerah. Tapi sebenarnya bukan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang membuatnya berang. Pesona yang biasanya tidak pernah gagal dalam menguasai laki-laki, kini tidak berarti sama sekali di hadapan Pendekar Rajawali Sakti itu. Inilah yang membuatnya geram. Padahal, semula dia mengira kalau kekuatan daya pesonanya sudah mempengaruhi kesadaran pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tapi kenyataannya, justru malah membuatnya begitu berang!
"Anak-anak, ringkus dia! Bawa ke tempatku...!" perintah Ratu Pantai Selatan lantang.
Belum lagi suara ratu penguasa samudera itu menghilang dari pendengaran, sepuluh gadis cantik sudah berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka kini sudah kembali berubah seperti pertama kali Rangga melihatnya. Mereka langsung berubah begitu berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!"
Salah seorang dari gadis yang kini kembali mengenakan baju warna merah menyala, langsung saja memberi satu serangan menggeledek dengan melepaskan beberapa pukulan keras dan beruntun. Rangga sempat terhenyak beberapa saat, tapi cepat-cepat melenting untuk menghindarinya.
"Hap!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Gadis-gadis lainnya langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Terpaksa pemuda berbaju rompi putih itu berjumpalitan, dan meliuk-liukkan tubuhnya dalam penggunaan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Tapi jurus yang biasanya begitu ampuh dan sukar sekali dihadapi, kini seperti tidak mempunyai arti sama sekali. Bahkan Rangga jadi kelabakan. Cepat-cepat jurusnya dirubah sebelum mengalami sesuatu yang bisa merugikannya. Rangga langsung mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' lima jurus yang pertama kali diperolehnya, dan merupakan jurus jurus dahsyat luar biasa. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti bertarung tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkannya jurus-jurus itu dalam tingkatan yang terakhir. Sehingga, membuat pertarungan di atas tebing batu Lereng Bukit Rangkas ini begitu dahsyat!***
KAMU SEDANG MEMBACA
69. Pendekar Rajawali Sakti : Titisan Ratu Pantai Selatan
AksiSerial ke 69. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.