Malam sudah merambat begitu larut. Keheningan menyelimuti seluruh Pesisir Pantai Selatan. Yang terdengar hanya deburan ombak lemah, yang sekali-kali menjilati pantai. Langit tampak kelam, setitik pun tak terlihat cahaya bintang maupun rembulan. Bahkan sedikit pun tak terasa hembusan angin, membuat laut yang menghitam pekat terlihat tenang.
Di antara kerikil-kerikil batu karang dan pasir yarjg menghampar di sepanjang pesisir pantai, tampak seseorang bertubuh ramping tengah berjalan perlahan-lahan. Ayunan kakinya terasa begitu mantap, meskipun hanya satu-satu dan terlihat perlahan. Sorot matanya bersinar tajam, menatap lurus ke tengah laut yang menghitam pekat. Baju biru yang dikenakannya begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan tampak indah. Melihat keadaannya, jelas dia adalah seorang wanita.
Di antara sela-sela rambut yang meriap lebat menghitam, terlihat seraut wajah cantik, berkulit putih halus. Bibirnya yang merah terkatup rapat, tanpa seulas senyum pun terlihat Kakinya terus melangkah mantap dan perlahan, semakin mendekati bibir pantai.
"Hhh..,!" terdengar tarikan napasnya yang begitu perlahan dan terasa berat sekali.
Ayunan kaki wanita itu baru berhenti setelah menyentuh lidah air laut di bibir pantai ini. Dia berdiri tegak memandang lurus ke tengah laut. Lalu, perlahan kepalanya berpaling ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar pesisir pantai ini. Begitu sunyinya, sehingga debur ombak yang sangat kecil begitu terasa mengusik gendang telinga.
"Sudah lewat tengah malam. Mengapa belum muncul juga...?" desah wanita cantik berbaju biru itu perlahan.
Sambil menghembuskan napas panjang, wanita itu kemudian duduk bersila di bibir pantai yang berpasir putih ini. Pandangannya tetap tertuju lurus ke tengah laut. Sedikit demi sedikit mulai dirasakan adanya hembusan angin yang menyebarkan udara begitu dingin. Deburan ombak pun mulai keras menggetarkan jantung. Tapi, wanita cantik yang mengenakan baju biru ketat itu tetap duduk bersila. Padahal, lidah-lidah ombak mulai liar menghantam tubuhnya yang ramping dan indah.
"Hhh.... Datanglah, Nyai. Berikan tanda-tanda kedatanganmu padaku," desah wanita itu. Perlahan sekali, hampir tak terdengar suaranya.
Sementara angin semakin keras menimbulkan suara menderu. Dan ombak pun semakin menggelombang tinggi, menghantam batu-batu karang. Namun, wanita berwajah cantik yang mengenakan baju biru itu tetap duduk bersila sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Sikapnya tidak peduli, meskipun seluruh tubuhnya sudah basah oleh gelombang air laut yang semakin keras dan menggila. Bahkan saat air laut sudah menggenang mengubur pinggangnya, dia masih tak bergeming. Wanita itu tetap duduk bersila menatap lurus ke tengah laut.
Clraaat!
Glarrr...!
Tiba-tiba saja berkelebat secercah cahaya kilat yang langsung diikuti ledakan guntur. Kelihatannya, bagai hendak membelah angkasa yang pekat terselimut awan tebal menghitam ini. Seluruh pesisir pantai ini bagai bergetar akibat ledakan guntur yang terdengar dahsyat, begitu seleret cahaya kilat di tengah lautan.
Namun wanita itu masih tetap duduk bersila, walaupun tadi sempat terperanjat. Jelas sekali terlihat di matanya kalau ujung kilat yang menyambar begitu cepat itu, tepat menghantam permukaan di tengah laut. Kelopak matanya jadi menyipit begitu melihat kobaran api di tengah-tengah laut, tepat di tempat ujung kilat tadi menyambar.
Kobaran api itu tidak mengecil, juga tidak membesar. Tapi terlihat semakin dekat saja. Wanita itu kini semakin bisa melihat jelas. Dan ternyata, benda yang dilihatnya bukanlah kobaran api. Melainkan, segumpal cahaya besar yang menyelubungi bayang-bayang beberapa sosok tubuh dan sebuah kereta kuda yang begitu besar dan indah sekali.
Bahkan kini cahaya itu semakin memudar. Dan, akhirnya cahaya itu menghilang begitu sampai di pesisir pantai, tepat di depan wanita cantik yang sedang duduk bersila di tepi pantai. Kini tampak jelas di dalam kepekatan malam, di depan wanita itu berdiri sekitar sepuluh orang gadis cantik. Mereka mengawal sebuah kereta kencana berlapiskan emas, ditarik delapan ekor kuda gagah dan tegap berwarna putih. Di arasnya berdiri seorang wanita berwajah sangat cantik. Dia berpakaian begitu indah, dan bermahkota yang berkilatan oleh batu-batu mutiara.
Sementara, wanita berbaju biru yang masih tetap duduk bersila, jadi terpana menyaksikan semua itu. Matanya tidak berkedip memandangi wanita bermahkota yang berdiri di atas kereta kencana berlapiskan emas di depannya itu.
"Terimalah sembahku, Nyai Ratu...," Ucap wanita cantik berbaju biru itu seraya merapatkan kedua telapak tangan dan membawanya ke depan hidung.
Wanita cantik berpakaian indah itu melangkah turun dari kereta kencananya. Hebat! Dia bisa melangkah di atas permukaan air laut yang bergelombang, meriak di tepian pantai. Langkahnya berhenti setelah sampai di depan wanita berbaju biru yang masih tetap duduk bersila dengan telapak tangan kiri berada di atas lututnya.
"Bangunlah, Rampita...," ujar wanita bermahkota yang dipanggil Nyai Ratu itu,
"Baik, Nyai Ratu."
Perlahan wanita berbaju biru yang bernama Rampita itu bangkit berdiri, setelah memberi sembah kembali. Berdirinya agak membungkuk, dan sikapnya begitu hormat pada wanita bermahkota indah dan berpakaian bergemerlapan itu.
"Aku tahu semua, apa yang ada dalam hatimu, Rampita. Tidak, perlu disampaikan lagi padaku," kata Nyai Ratu. Suaranya terdengar begitu lembut.
"Aku mohon pertolonganmu, Nyai...," kata Rampita berharap.
"Tidak perlu kau pikirkan, Rampita. Aku pasti akan membantumu. Percayalah. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi lagi. Aku penguasa seluruh lautan di Mayapada ini. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, jika aku sudah melakukan sesuatu," kata Nyai Rata
"Terima kasih, Nyai. Aku tidak tahu lagi, dengan apa aku bisa membalas semua budi dan kebaikan hari Nyai," ucap Rampita seraya kembali memberi sembah.
"Sekarang pulanglah. Aku membawa sepuluh orang yang akan mengawal ke mana saja kau pergi. Dan aku akan datang lagi jika kau memang benar-benar membutuhkan. Lakukan apa saja yang kau inginkan. Aku akan selalu melindungimu," kata Nyai Ratu lagi.
"Terima kasih, Nyai. Tapi...," Rampita tidak meneruskan ucapannya.
"Tapi, kenapa...?"
Rampita tidak menjawab. Dipandanginya sepuluh orang yang berada di sisi kereta kencana. Pakaian yang dikenakan wanita-wanita itu begitu menyolok persis seperti para putri bangsawan kaya atau putri-putri raja. Tentu saja akan menarik perhatian jika mereka mengenakan pakaian seperti itu.
"Pakaian mereka akan berganti setelah aku kembali nanti," kata Nyai Ratu seperti bisa membaca pikiran Rampita.
"Oh! Maafkan aku, Nyai...," ucap Rampita seraya memberi sembah.
Wanita cantik bermahkota itu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan melangkah kembali ke kereta kencananya. Seperti melayang saja gerakannya saat naik ke atas kereta kencana yang begitu indah ini. Sebentar ditatapnya Rampita, kemudian delapan ekor kuda putih yang menarik kereta kencana itu bergerak memutar. Kini kereta kuda itu kembali melaju cepat bagai kilat ke tengah lautan.
Kilauan cahaya terang bagai api, kembali memancar terang di tengah lautan, kemudian perlahan-lahan lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu, sepuluh gadis cantik yang tadi datang bersamanya, tahu-tahu sudah berganti pakaian tanpa sedikit pun bisa terlihat Rampita. Dan mereka kemudian berdiri berjajar di belakang gadis cantik berbaju biru itu. Sungguh sukar dipercaya! Baju yang dikenakan Rampita, seketika itu juga jadi kering! Padahal dia tadi hampir tenggelam oleh gelombang lautan, saat Nyai Ratu datang dari tengah lautan bersama kereta kencana itu.
"Kami diperintahkan untuk menuruti apa saja yang kau perintahkan, Nini," kata salah seorang gadis itu.
"Kalian akan terus mendampingiku?" tanya Rampita seraya memutar tubuhnya, memandangi sepuluh gadis cantik yang kini sudah mengenakan pakaian biasa seperti dirinya.
"Selama Nini membutuhkan, dan selama Kanjeng Nyai Ratu belum memerintahkan untuk kembali," sahut gadis itu lagi.
"Baiklah. Tapi apa kalian tahu yang kuhadapi sekarang ini?" ujar Rampita sepera" menguji.
"Kami semua sudah tahu, Nini. Dan kami siap menghadapi segala yang terjadi. Kami rela mati demi menjunjung tinggi perintah Kanjeng Nyai Ratu. Dan sekarang ini kami harus mengabdi pada Nini."
Rampita tersenyum senang mendengar kata-kata itu. Kemudian wajahnya berpaling menatap ke tengah laut. Sebentar ditariknya napas panjang, lalu perlahan kakinya terayun meninggalkan Pesisir Pantai Selatan ini. Sepuluh orang gadis yang semuanya berwajah cantik itu mengikuti dari belakang.
"Kalian semua tidak membawa senjata. Apa kalian bisa bertarung tanpa senjata?" kata Rampita tanpa berpaling sedikit pun. Dan dia terus saja melangkah semakin jauh meninggalkan pantai.
"Senjata kami akan terlihat jika memang benar-benar dibutuhkan," sahut salah seorang dari delapan gadis itu.
"Berupa apa?" tanya Rampita.
"Jika Nini menggunakan pedang, kami semua akan menggunakan pedang. Senjata kami mengikuti senjata yang Nini gunakan."
Lagi-lagi Rampita hanya tersenyum saja. Bisa dimengerti semua jawaban yang diberikan gadis di belakangnya ini. Dan dia memang menyadari kalau kesepuluh gadis itu bukan manusia biasa. Malah bisa dikatakan, mereka memang bukanlah manusia. Jadi, segala apa yang dilakukan memang sulit diterima akal manusia biasa.
Seperti kemunculannya yang dari dalam lautan, atau juga cara berganti pakaian. Begitu tiba-tiba saja pakaian mereka sudah berganti, tepat di saat ratu mereka sudah kembali ke tengah lautan. Tapi hal itu tidak membuat Rampita merasa heran. Bahkan apa yang disaksikannya ini, malah membuat hatinya senang. Dengan demikian, begitu banyak harapan yang terkandung di dalam harinya sekarang ini. Wajahnya pun kini terlihat begitu cerah. Sedangkan sinar matanya berbinar bagai bertaburkan bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
69. Pendekar Rajawali Sakti : Titisan Ratu Pantai Selatan
AcciónSerial ke 69. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.