7

6.7K 911 66
                                    

"Cinta bukan alasan untuk berlaku bodoh. Berilmu bukan alasan menilai orang lain salah. Dan 'mampu' bukan alasan memandang orang lain rendah."

- Nurul -

Aku mengembangkan senyuman lebar dengan bibir yang sudah basah, tenggorokan menelan ludah, dan suara agak mendesah. Potret yang terpatri di retina mataku saat ini sungguh menggiurkan. Memberikan impuls yang tidak bisa ditolak oleh otak dan hatiku.

"Gila! Makan besar hari ini," ucapku sembari langsung duduk di kursi makan.

Mamak dan Tila yang melihatku ngiler hanya berdecak pelan.

"Dari Tante Nia, Uwi ulang tahun," jelas Mamak.

Aku tidak peduli, makanan dari mana dan kenapa, yang penting perut dan lidahku bisa manja. Sudah lama, aku tidak makan makanan enak seperti yang terhidang depan mata. Nasi kuning dengan suwiran ayam goreng, telur dadar goreng yang diiris panjang, dan tempe orek, disertai pelengkap bawang goreng dan kerupuk udang. Sungguh, nikmat sekali.

"Doa dulu." Mamak menegur.

Aku segera memejamkan mata, berdoa sebentar lalu segera makan. Belum juga masuk, tanganku dipukul.

"Cuci tangan dulu, jorok!"

Aku mengerutkan bibir, manyun. Mamak lagi-lagi membuat selera makanku nyaris pergi.

Aku segera ke kamar mandi, cuci tangan lalu duduk lagi di kursi. Dengan lahap, aku mulai memakan makanan yang sudah sangat menggugah selera itu. Tila yang melihatku makan segera ikut bergabung. Dalam sekejap, dua piring nasi kuning pun habis.

"Habis, Mak."

"Cuci piringnya terus balikin!"

"Kok aku yang balikan, Mak?"

"Yang makan siapa?"

"Aku."

"Ya sudah."

Persidangan selesai. Mau tidak mau, aku harus mencuci piring lalu memberikannya ke tante Nia.

"Makasih, Te."

Tante Nia tersenyum. Wanita yang sudah berumur tiga puluh delapan tahun dengan postur tubuh cukup tinggi dan kurus itu mengambil piring yang aku sodorkan.

"Gimana nasi kuningnya?"

"Mantap jiwa, Te. The best," pujiku sambil mengangkat kedua jempolku.

Tante Nia tersenyum puas.

"Ya sudah, Te. Makasih," pamitku, tidak tahu lagi harus bicara apa.

Tante Nia hanya mengangguk. Tak sengaja, aku melihat sepeda motor baru di garasi tante Nia.

"Te, sepeda motor baru?"

Tante Nia mengangguk.

"Iya, buat Uwi, biar nggak usah diantar kakaknya lagi."

"Oh. Keren, Te."

"Keluaran terbaru, lho, Mbak."

Uwi, anak kedua tante Nia, yang umurnya seusia pacarku, Ace, tiba-tiba muncul, baru datang dari latihan basket.

"Masih latihan, Wi?"

"Nggak, nonton Alfin tanding," sanggahnya.

"Oh."

Alfin, atlet basket, pacar Uwi, dua tahun lebih muda. Sekarang, masih duduk di bangku SMA. Walau begitu, hubungan mereka direstui dua keluarga, tidak sembunyi-sembunyi sepertiku. Maklum, perbedaan usianya tidak terlalu jauh. Sedangkan aku dan Ace.. Ya sudahlah. Jodoh di tangan Allah.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang