25

4.7K 732 119
                                    

"Hidup nggak asyik kalau nggak ada yang berisik karena syirik."

- Nurul -

"Sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana, ujung-ujungnya jadi penjual jamu di pasar juga." Tante Iri mencebikkan bibir, sedang menyindir sepupuku yang datang berkunjung hari ini.

Namanya Novan, anak bungsu dari Mik Ijah, saudara tertua mamak. Dulu sempat naksir dan menjadikanku calon istri tapi tidak jadi. Keluarga besar kami tidak biasa dan merasa aneh, jika antar sepupu menikah. Selain itu, aku juga tidak memiliki perasaan apapun padanya.

Novan kini sudah menikah, dengan Desi, seorang janda tanpa anak. Profesi Desi sama denganku, guru honorer. Walau begitu, kelakuan kami berbeda jauh.

"Jadi, istrimu kabur, Van?" Tante Iri bertanya lagi, padahal tadi sudah mendengar sendiri kronologi kaburnya Desi.

Novan hanya mengangguk lemah, "Iya, Te. Makanya aku ke sini, mau minta pendapat dari keluarga sini, baiknya gimana. Harus aku jemput atau gimana?"

Novan terlihat bingung. Jenggotnya terlihat panjang dan berantakan. Mungkin dia terlalu stress sampai tidak memiliki waktu untuk merapikan.

"Kalau istrimu kabur, dikejar, dong. Jangan malah bingung, kamu paling yang salah. Namanya juga perempuan, pasti enggan hidup susah." Tanteku sepertinya kurang ASI waktu bayi, bicaranya penuh dengan asumsi tidak berdasar.

"Masalahnya bukan itu, Te. Uangku habis, buat berobat dia juga. Biaya operasi untuk kista ovarium dan perawatannya sampai sembuh, aku yang bayar semua." Novan tampak tidak terima disalahkan. Dia memang sudah berkorban banyak untuk Desi tetapi langsung dicampakkan begitu harta bendanya habis tak tersisa.

"Ya, jangan pamrih, dong. Ikhlas, namanya istri, ya kan? Kalau kemudian dia kabur, itu bukan salah dia, dong? Kamu aja yang nggak bisa nyari nafkah yang banyak buat dia." Tante Iri masih teguh pendirian.

Novan mengatubkan bibirnya dengan kuat, sedang mencoba menahan amarah yang tersulut dengan cepat. Rahangnya terlihat mengeras. Emosi.

"Sudah, biarkan saja kalau istrimu nggak mau diajak hidup susah. Kok, jadi perempuan cuma mau ikut senangnya, doang? Tinggalkan saja istri macam begitu." Tante Nia memberikan pendapat.

"Kalau ditinggalkan, Novan sama siapa? Emang ada perempuan selain Desi yang berkulit putih dan cantik mau sama Novan?" Tante Iri kembali menyanggah, seolah tak ingin kalah.

"Banyak, jangan khawatir! Kamu lelaki. Sehitam apapun kulitmu, pasti laku." Mamak ikut memberikan pendapat.

Tante Iri menatap mamak tajam, dan ibu kandungku itu segera berpura-pura melihat ke arah lain. "Istri pergi dari rumah tanpa izin suami saja, itu sudah salah. Istri macam tai itu! Biarkan saja kalau dia nggak pulang."

"Lagipula, menantu macam apa yang tidak mau mengurusi mertuanya? Kamu itu dilahirkan dan dibesarkan oleh ibumu dengan susah payah, setidaknya kamu carilah istri yang bisa menjaganya. Dia sudah tidak bisa berjalan, pincang, tetapi istrimu tak mau merawatnya, lalu untuk apa kalian menikah jika dia hanya sayang padamu, tetapi membuang ibumu?"

Mamak terlihat kuat, berkharisma dan meyakinkan, membuat tante Iri tak lagi memberikan sergahan. Wanita itu hanya memutar matanya malas dengan ekspresi wajah yang menunjukkan kekesalan yang tak terelakkan.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang