"Pernikahan tak melulu manis laksana madu.
Menikahlah dengan 'ilmu', bukan sekadar 'mau' atau malu.
Dan carilah pasangan yang sudah 'mampu' dan sekufu."- Nurul -
Penyesalan terbesarku adalah belum juga menikah sampai Ibu tiada, Nya. Begitu yang dikatakan Rohmah, tiga hari setelah kematian ibunya. Aku tak berkomentar apa-apa tentang itu. Bagiku, tak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini. Bukan kematian ataupun Rohmah. Dia berhak berbahagia demi dirinya, bukan orang lain. Bahkan, meski itu demi ibunya sekalipun.
Semenjak kepergian ibunya, Rohmah tak banyak tersenyum. Walau begitu, dia mencoba untuk tegar. Dia juga mengatakan, akan cuti mengajar, sibuk mempersiapkan acara tahlilan dan lain-lain. Aku tak bisa membantu apa-apa, hanya bisa mendoakan dan Rohmah bilang itu sudah cukup. Dia masih memiliki sanak saudara dan ayah yang bisa menemaninya dua puluh empat jam. Aku memang sahabatnya, tapi tetap saja, kami bukan kerabat.
Aku memiliki kehidupan sendiri sehingga tak bisa menemani Rohmah setiap waktu. Ada kewajiban dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan dan tak bisa ditinggalkan. Ini bukan ironi, tapi inilah kehidupan. Yang masih dianugerahi nyawa, harus melanjutkan hidup, sesulit apapun itu. Karena kematian pasti sampai ke setiap jiwa, hanya menunggu waktu saja.
"Kurang ajar! Mati sajalah kamu!"
"Laknat! Kalau aku mati, siapa yang akan menafkahimu huh?"
"Menafkahi kamu bilang? Uang belanja yang kamu kasih saja, tak cukup sebulan. Suami macam apa kamu ini!"
"Bangsat! Istri tak tahu diri!"
Aku termangu, terdiam untuk beberapa waktu, sedang berusaha mencerna, apakah pertengkaran yang baru saja aku dengar barusan hanya cuplikan adegan di drama televisi atau dunia nyata.
"Mbak!"
Aku menemukan jawaban ketika Uli, anak tante Ro, masuk ke kamarku dengan air mata bercucuran. Dengan terisak, dia memelukku, membuat baju di pundakku seketika basah oleh air matanya.
"Ibu dan ayah bertengkar lagi." Parau, dia mengatakan itu. Perih, mungkin yang sedang dia rasakan kini.
Aku tak memberikan komentar apapun, hanya membalas pelukannya yang begitu erat. Lembut, aku mengelus punggungnya yang terasa dingin dan sedikit gemetar. Ketakutan, mungkin itu yang dirasakan olehnya saat ini.
Di luar, aku mendengar tangisan disertai jeritan dari Intan, anak bungsu tante Ro dan om Noe. Usianya masih sembilan tahun, tetapi keributan orang tua, seolah menjadi makanan sehari-hari yang tak pernah terlewati.
Om Noe adalah saudara mamak yang paling muda. Usianya sekitar tiga puluh sembilan tahun. Anaknya ada tiga, Uli ( 23 tahun ), Amel ( 17 tahun ) dan Intan ( 9 tahun ). Istrinya, tante Ro. Entah siapa nama panjangnya, selama ini aku hanya mengikuti semua orang yang memanggilnya demikian.
Om Noe dan Tante Ro menikah di usia muda, tepatnya ketika mereka masih berada di bangku SMA kelas X. Jadi, mereka hanya lulusan SLTP saja. Selama beberapa bulan terakhir, mereka sering bertengkar lalu berdamai dan begitu seterusnya sampai hari ini. Permasalahan pertengkaran mereka, aku tak tahu. Mamak selalu marah setiap kali aku bertanya. Katanya, tak baik penasaran terhadap masalah orang lain. Namun, dari sepenggal percakapan yang terdengar, masalahnya sama ; uang.

KAMU SEDANG MEMBACA
BACOT TETANGGA [ TERBIT ]
HumorSUDAH TERBIT. BISA DIPESAN DI SHOPEE ATAU TOPED KESAYANGAN KAMU. Hanya sebuah cerita sehari-hari tentang Nurul, wanita berusia 26 tahun, lulusan SMA, tidak bekerja dan belum berkeluarga. Pernah tunangan 7 tahun tetapi berakhir dengan perpisahan yan...