11

5.8K 824 65
                                    

"Faktanya, pelakor yang tekun, selalu berhasil menjadi pemenang utama. Dunia memang tidak pernah setengah-setengah dalam bercanda."

- Nurul -

Siang ini aku disuruh mamak untuk menjemput barang di toko tempatnya bekerja. Tadi tante Iri menitip bahan-bahan untuk membuat kue pada mamak. Agar tidak berat, karena mamak memakai sepeda biasa, aku disuruh menjemput barang belian itu.

Aku pergi sendiri karena Tila masih belum pulang sekolah. Tiba di lokasi, aku segera menelpon Mamak, mengatakan padanya bahwa aku sudah di depan toko. Tak lama kemudian, mamak keluar dibantu oleh Sadiq, teman kerjanya. Mereka membawa satu kardus yang langsung diletakkan di bagian depan sepeda motorku. Berat. Sudah setara berat badan anak kecil berusia 5-6 tahun.

"Hati-hati bawanya. Isinya tepung, minyak, mentega, dan lain-lain." Mamak berpesan.

Aku mengangguk.

"Siap, Mak."

Setelahnya, aku pamit pulang. Mamak hanya mengangguk lalu masuk lagi.

Di tengah jalan, sempat aku bimbang. Ada razia dan sim-ku belum diperpanjang. Jantungku serasa mau meloncat keluar, deg-deg.an. Bukan karena polisinya ganteng, melainkan takut ditilang. Aku sedang kere, uangku hanya cukup untuk bertahan hidup sampai gajian berikutnya. Tak tahu harus mencari tambahan ke mana jika harus bersedekah ke negara juga.

Aku berusaha untuk tenang, sembari membaca sholawat nabi di dalam hati. Kaca helm dibuka sedikit, mataku dan Pak Polisinya bertemu. Tak ada cinta, hanya perasaan lega karena dibiarkan begitu saja. Rezeki memang tak ke mana. Aku terselamatkan. Terima kasih, Tuhan.

Dua ratus meter dari tempat razia, aku terpaksa berhenti. Ada kecelakaan, antara sepeda motor vs becak. Pengendara sepeda motor dan tukang becak tidak terluka berat, hanya sedikit lecet. Walau kedua kendaraan mereka sama-sama mengalami kerusakan.

Pengendara sepeda motornya sudah ibu-ibu. Mungkin setara dengan mamak, lima puluh tahun.an. Dia mengenakan celana kulot panjang dan kemeja bermotif kembang. Sedangkan abang becaknya masih muda, sekitar tiga puluh tahunan. Mereka berdebat tentang siapa yang salah. Beberapa orang turun, menengahi. Ada juga yang cuma berhenti untuk melihat saja sehingga arus lalu lintas sedikit macet.

Tak ada titik temu, seorang polisi yang memang berada tak jauh dari lokasi datang. Kedua kendaraan diangkut dengan pikap. Yang berseteru pun juga diminta ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

"Pasti dimintai uang banyak, tuh. Kalau udah masuk kantor polisi, pasti ribet." Seorang pengendara sepeda motor yang ikut berhenti memberikan komentar.

"Iya, sih. Polisi mana mau dibayar murah," sahut kawannya yang membonceng.

"Coba tadi pas kecelakaan langsung damai dan pergi, pasti nggak akan seribet ini."

"Manusia memang begitu. Nggak ada yang mau kalah seolah benar dan salah adalah harga mati yang harus ditentukan. Padahal, meminta maaf dan berdamai bukan berarti mengakui kekalahan, tetapi menjaga agar urusan yang kecil nggak menjadi besar."

Aku hanya diam, membenarkan apa yang dikatakan kawan pengendara barusan. Setelahnya, tak ingin berlama-lama kepo mengenai urusan orang lain, aku pun melanjutkan perjalanan.

Tiba di rumah, aku menghentikan sepeda motor di depan rumah tante Iri. Aku turunkan kardus itu dengan susah payah di teras rumah tanteku lalu masuk ke dalam.

"Te, Tante." Aku memanggil sembari menoleh kiri-kanan, mencari keberadaan tante Iri.

"Ya, Nur?" Tante Iri keluar dari kamarnya.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang