Tanggung Jawab

360 18 0
                                    

Semilir angin menyapa dengan kesejukannya. Dedaunan pohon mangga berjatuhan karena tiupan angin yang membelainya. Matahari tidak bersinar begitu terik, terlihat agak mendung namun belum ada tanda-tanda hujan akan turun membasahi bumi.

Disanalah Amira, duduk dibawah pohon mangga dengan senyuman khasnya menikmati angin yang menerpa wajahnya. Ada yang tidak biasa. Meskipun bibirnya tersenyum, namun sesuatu yang basah mengalir dari pipinya.

Ia kini sudah kelas sebelas SMK. Apakah sekolahnya harus berhenti sampai disitu saja?

Tangannya bergerak menyentuh perutnya, ada kehidupan kecil yang sedang meringkuk nyaman di dalam perutnya. Amira tidak bisa membayangkan untuk membunuh anaknya sendiri, anaknya dengan Amar. Hadirnya adalah sebuah kebodohan yang dilakukan Amira, seharusnya ia menghentikan Amar malam itu.

Tapi semuanya sudah terlambat, tidak perlu ada kata menyesal karena semuanya murni kesalahan mereka berdua. Amira tahu, bagaimana tipe pemikiran seorang Amar. Ia tidak ingin menuntut pertanggung jawaban Amar karena tidak ingin jika mendengar hal-hal yang akan menyakiti hatinya keluar dari bibir Amar.

Amira menangis pilu, isakannya terdengar keras. Untung saja sekarang bukan jam istirahat hingga tempat itu sangat sepi.

Sebuah tangan mengelus pelan punggung Amira. Amira mendongak dan menghapus air matanya segera. Faisal sang ketua kelas tengah duduk di sampingnya sekarang. Tersenyum untuk menguatkan dirinya.

"Menangislah Mir! Jangan ditahan. Keluarkan semua yang menjadi bebanmu, akan terasa sesak jika kamu menahannya".

Bagaikan sebuah mantra, ucapan Faisal membuat Amira menangis sejadi-jadinya. Faisal tahu, Amira sekarang butuh untuk didukung. Ia menarik Amira ke pelukannya, membiarkan perempuan itu menangis di dadanya.

"Aku hamil Faisal. Aku hamil".

Faisal mematung mendengar ucapan Amira disela tangisnya. Banyak hal yang ingin Faisal tanyakan tapi ia tahan karena sekarang, yang Amira butuhkan adalah sebuah ketenangan.

Cukup lama Amira menangis hingga Amira menceritakan semua yang terjadi padanya. Faisal mendengarkan dengan baik tanpa menyela ucapan Amira. Dalam hatinya, ia bertekad untuk membantu Amira berbicara pada Amar mengenai kehamilannya.

"Aku akan berhenti sekolah, Faisal. Bagiku, dia yang terpenting sekarang. Aku tidak sendiri lagi, dia akan menemaniku menjalani kehidupan sekarang". Amira tersenyum mengusap perutnya yang rata.

***

Entah dapat info darimana, tapi kini Faisal sudah berada di rumah Amar. Memberitahukan kepada orang tua Amar akan perbuatan Amar terhadap salah satu teman kelasnya dan menuntut pertanggung jawaban. Menceritakan tentang semua kehidupan Amira agar orang tua Amar mempertimbangkan untuk menikahkan kedua calon orang tua dari bayi yang dikandung Amira itu.

Amar yang mendengar hal itu langsung menghampiri Faisal dan memukul pipi Faisal dengan keras. "Berengsek!! Itu bukan anak gue! Dia pasti asal ngomong aja. Dengan mudahnya dia memberikan keperawanannya ke gue belum tentu dia nggak disentuh sama cowok lain. Jangan-jangan lo ya, anak dari bayi yang dikandung Amira dan melimpahkan tanggung jawab itu ke gue! Bajingan lo!".

Faisal mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Ayah Amar langsung berteriak memarahi anaknya.

"Banyak alasan lo buat lepas dari tanggung jawab! Itu anak lo Amar! Gue nggak peduli sekalipun lo senior. Sekali berbuat salah ya hal itu bakal tetap jadi kesalahan. Tidak akan pernah berubah jadi bener Mar! Dia sama sekali nggak masalah buat besarin anak dia sendirian. Tapi apa kata orang jika melihat dia yang masih semuda itu mengandung tanpa adanya pernikahan?".

Faisal terengah melepaskan cengkeraman Amar di kerah bajunya. Tatapan tajam ia layangkan untuk membalas tatapan tajam Amar juga terhadapnya.

"Sudah cukup! Amar dan Amira akan menikah. Segera, tidak ada bantahan dan penolakan".

Faisal tersenyum puas mendengar ucapan ayah Amar. Teriakan frustasi keluar dari mulut Amar bersamaan dengan ia yang berjalan ke kamarnya, tidak terima jika harus menikah dengan perempuan bernama Amira itu.

"Kami minta maaf atas perlakuan anak kami nak Faisal. Berikan alamat Amira, kami yang akan datang kesana untuk melamar perempuan yang baik itu". Ucapan ibu Amar bagaikan angin sejuk yang menyapa indra pendengaran Faisal. Tangisan Amira padanya benar-benar menyakitkan, Faisal bisa merasakan hal itu. Ada ketakutan dalam nada bicara Amira. Setidaknya jika ada pernikahan, maka Amira tidak akan di cap lebih buruk lagi oleh warga sekitarnya. Hanya itu yang mampu Faisal bantu untuk Amira.

***

Amira sedang duduk di teras rumahnya sambil menikmati teh hangat yang ia buat. Ia sudah bersiap-siap untuk ke apotek tempatnya bekerja. Sudah seminggu lebih ia putuskan untuk tidak lagi datang ke sekolah. Amira mengerjap--mendapati sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Amar, dan kedua orang tuanya?

Amira menjadi gugup setengah mati, mengucek matanya agar yakin jika semua ini bukanlah sebuah halusinasi.

Senyuman hangat yang diberikan ibu Amar dan tepukan di bahu yang diberikan ayah Amar pada Amar yang berdiri disampingnya. Amira mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumahnya dan bergegas ke dapur untuk membuatkan minuman.

Ada rasa bahagia yang menyapa hatinya saat mendengar ucapan Amar yang melamarnya secara langsung walaupun dalam nada bicaranya terdengar enggan.

Amira sudah memikirkan konsekuensi yang akan ia tanggung setelah pernikahan ini berlangsung. Ia tahu, seperti apa seorang Amar.

"Setelah menikah, kalian tinggal di rumah bareng ayah sama ibu kan?". Tanya ibu Amar

Amar menatap Amira seakan-akan menyuruhnya untuk tidak mengatakan apapun sekarang.

"Kami akan tinggak disini bu, di rumah Amira. Iya kan Mir?". Tatapan tajam dari Amar membuat Amira mau tidak mau setuju dengan ucapan Amar.

"Iya tante. Soalnya disini Amira tinggal sendirian. Kalau ditinggal, rumah ini bakal kosong nggak terawat tante. Maaf ya, Amira nggak bisa menuhin permintaan tante".

Helaan nafas kecewa tentu saja Amira dengar dari ibu Amar. Amira sebenarnya ingin setuju saja. Dengan begitu, ia bisa merasakan kasih sayang seorang ibu lagi. Tapi Amar bahagia dengan ucapan yang dilontarkan oleh Amira tadi. Amira menunduk dalam, mengubur harapannya dengan rapat-rapat.

Amira mengantar keluarga Amar sampai di depan pagar rumahnya. Ia senang karena ayah dan ibu Amar sangat menerima dirinya. Entah bagaimana nanti perjalanan rumah tangganya dengan Amar, Amira tidak bisa membayangkannya. Amar orang yang sangat keras, Amira bahkan khawatir akan terjadi sesuatu pada bayinya nanti.

Mengenyahkan pikiran yang bergelayut di dalam otaknya, Amira segera berangkat menuju ke apotek. Walaupun ia sudah tidak bersekolah, setidaknya pengetahuannya tentang obat-obatan bisa bertambah dengan datang ke apotek itu.

Hari yang mulai gelap dan volume kendaraan yang semakin padat memenuhi jalanan. Amira berjalan dengan senyum riang penuh makna. Berharap jika masa depannya akan berakhir bahagia. Hanya itu yang ia harapkan.









_____________________
1 Dzulkaidah 1441
22 Jun2020


💚

Amar & Amira |✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang