Sakit

299 17 0
                                    

"Dan Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku"
(Q.S Asy-Syuara:80)

***

Mendung tak juga berlalu. Tidak tahukah ia jika tumbuhan sudah menanti cahaya sang matahari untuk menyapanya?

Menyalurkan kehangatan dan memberikan harapan baru melalui cahayanya yang terang benderang?

Atau setidaknya ada cahaya lain yang bisa membuatnya sedikit saja merasakan kebahagiaan?

Amira meringkuk di dalam selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Awan di langit sudah menitikkan butir-butir airnya yang menyejukkan tapi membuat Amira menggigil. Matanya terasa berat untuk terbuka namun ia tidak mengantuk sama sekali. Ingin tidur pun tidak bisa--malah membuatnya merasakan sakit kepala. Ia memijat kedua pelipisnya.

Suara ketukan pintu membuat kedua kelopak matanya terbuka dengan enggan. Nina yang masuk ke kamarnya setelah mengetuk pintu itu. Wanita itu semakin betah saja tinggal di rumahnya. Apa dia tidak bisa merasakan kesakitan yang dialami Amira melihat suaminya sendiri bermain dengan wanita lain?

Apa Nina sama sekali tidak berpikir bagaimana jika ia yang berada di posisinya sekarang?

Sepertinya Nina memang bukan wanita yang seperti itu. Yang penting bahagia--begitulah mungkin prinsip hidupnya.

Amira berusaha bangun dari pembaringannya. "Ada apa Nina? Kamu butuh sesuatu?".

Nina langsung menarik paksa pergelangan tangan Amira hingga Amira hampir saja jatuh ke lantai.

"Nina, kamu mau bawa aku kemana? Tidak bisakah pelan-pelan saja jalannya? Aku sedang hamil kalau kamu lupa".

Kepala Amira terasa sangat pusing berjalan dengan cepat mengikuti Nina. Rupanya Nina membawa Amira ke dapur. Tanpa perasaan, Nina mendorong Amira ke depan kompor hingga perutnya terbentur. Amira meringis--merasakan perutnya sakit. Ia hanya berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada bayinya.

"Gue laper! Lo kenapa nggak masak hah?".

Mata Amira memanas. Sudah diperlakukan dengan kasar, lalu sekarang menyuruhnya masak layaknya pembantu.

"Aku memasak untuk diriku dan suamiku. Suamiku sedang tidak ada di rumah. Aku merasa tidak memiliki kewajiban apapun terhadapmu. Kamu tidak berhak memaksaku memenuhi semua kebutuhanmu. Kamu bahkan bukan keluargaku. Kamu hanya orang asing yang singgah untuk mengganggu hubungan orang lain. Apa kamu tidak malu? Tak mengapa jika kamu menyiksaku seberat apapun. Tapi tolong, jangan sampai menyakiti anakku".

Amira menatap Nina--berusaha menahan tangisan yang akan membuatnya terlihat lemah lagi dihadapan Nina. Ia benar-benar emosi sekarang karena takut kehilangan bayi yang ada di dalam kandungannya dengan perlakuan Nina tadi.

"Apa lo bilang? Sekarang lo udah berani sama gue hah? Lo nggak tahu apa aja yang bisa gue lakuin ke lo? Sial!!".

Nina meraih gelas dan membantingnya ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Matanya memerah dengan amarah yang meluap.

Amira terkejut merapatkan punggungnya ke dinding dapur--menatap Nina dengan takut. Nina meraih pecahan gelas itu dan tersenyum miring, berjalan mendekati Amira.

"Ni--Nina.. Kamu mau ngapain? Jangan begini Nina. Maafkan aku, aku hanya--aku hanya".

"Terlambat Amira. Maafmu sangat terlambat". Nina meraih pergelangan tangan Amira dengan cepat. "Jika kau bergerak sedikit saja, maka lukanya akan sangat dalam. Kau tahu itu? Jadi...". Amira menepuk-nepuk pipi Amira. "Bersiaplah!"

Srett!!

Seketika rasa perih itu menjalar di pipi Amira, ia merasakan cairan kental bernama darah itu mengalir ke dagunya. Amira membulatkan matanya, tubuhnya bergetar hebat dengan nafas tersengal. Saat Nina melepaskan pegangan tangannya di tangan Amira, wanita hamil itu jatuh terduduk memegang pipinya yang semakin terasa perih saat air mata membasahi luka sayatan itu.

Amar & Amira |✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang