Kebiasaan

266 16 0
                                    

Amira duduk menatap kendaraan yang berlalu lalang tanpa henti di depan apotek. Akhir-akhir ini ia sering sekali melamun, pikirannya terus berkelana entah kemana hingga bekerja pun tidak bisa fokus. Amira mengusap perutnya yang sudah mulai membesar, senyuman tipis terpatri di wajahnya yang terlihat lelah dengan kantung mata yang tebal. Tidak ada lagi wajah cerah yang terpancar, hatinya selalu terasa mendung seakan siap untuk luruh jika tersentuh kapan saja dan oleh siapa saja.

Tak dapat dipungkiri, ia tersakiti setiap harinya okeh orang yang sama--suaminya sendiri. Seorang suami yang ia harapkan dapat membawa kebahagiaan untuknya namun semuanya berbanding terbalik. Tak ada satu pun harapan pernikahan yang terwujud dalam rencana hidupnya. Ia bahkan berpikir dan terus berdoa kepada Tuhan agar nyawanya segera diambil. Namun memikirkan nasib anaknya nanti--membuat Amira tidak bisa berlari, ia memiliki tanggung jawab untuk mendidik anaknya dengan baik.

Ia selalu ingin hanya pikiran positif lah yang lewat di dalam otaknya agar ia dan bayinya sehat. Ia ingin selalu merasa bahagia namun tidak mampu.

Amira berdecih pelan begitu melihat suaminya menghampirinya dengan menggandeng tangan wanita yang berbeda lagi.

Amar tipe laki-laki yang jujur, ia sangsi jika perempuan yang mungkin bergelar pacar suaminya itu tahu jika Amar sudah memiliki istri. Tampak perempuan itu tersenyum kepada Amira, seperti sudah kenal saja. Amira mau tidak mau membalas senyuman pacar Amar itu.

"Eh, pinjem duit lo dulu sini! Gue mau makan sama pacar gue".

Amira mengerutkan keningnya menatap Amar.

"Buruan cepetan ih! Ntar gue ganti".

"Tapi kak, uang itu mau aku belikan susu. Susu ku sudah habis. Lagipula bukannya baru kemarin ayah transfer uang bulanan ke kakak? Masa sudah habis?"

Amar menarik lengan Amira dan mencengkeramnya dengan kuat hingga memerah.

"Heh, lo kok pelit amat sih. Sama suami sendiri juga! Gue janji bakal ganti. Yaelah susah amat jadi orang. Buruan! Kalau nggak, siap-siap aja bayi lo bakal gue bunuh".

Amira membulatkan matanya terkejut, tidak habis pikir bagaimana mungkin Amar akan tega membunuh darah dagingnya sendiri.  Ah, dia lupa jika Amar sampai sekarang belum mengakui anak yang ia kandung. Wajar saja jika Amar dengan mudahnya ingin membunuh anak itu.

"Kakak butuh berapa? Mungkin cukup jika sisanya bisa aku belikan susu". Amira menghampiri Amar dengan membawa uang yang baru saja ia terima dari Fadilah sebagai upahnya menjaga apotek.

Amar langsung mengambil semua uang yang Amira pegang. Entah darimana Amar tahu jika hari ini Amira memiliki uang.

"Ntar sisanya gue balikin. Udah, makasih ya istriku. Ayo sayang!".

Amira menghela nafas berat menatap punggung suaminya itu menjauh. Kadang Amira ingin melaporkan kelakuan Amar kepada mertuanya, tapi ia tidak mampu melihat jika wajah kecewa yang akan ia lihat dari wajah ibu Amar.

Ibu Amar sangat menyayangi Amira. Setiap kali bertemu, Amira selalu merasa jika ia bukanlah seorang menantu--melainkan seorang putri. Amira bahagia bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu lagi setelah sekian lama menanggung rindu kepada ibu kandungnya yang telah tiada.

Amira membereskan barang-barangnya yang tidak seberapa ke dalam tas kecilnya lalu pamit untuk pulang begitu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia tersenyum memulai langkahnya untuk pulang ke rumah. Beberapa rumah sudah menunjukkan kesunyian. Pertanda jika sang pemilik rumah sudah tidar, sedangkan ia--masih terjaga dan baru pulang dari tempat ia bekerja. Ada rasa iri yang menyapa hatinya melihat bagaimana jika ada hamil, maka akan disuruh agar beristirahat. Tapi tidak semua seperti itu, buktinya dirinya sendiri tidak merasakan hal itu.

Hal yang pernah ia impikan dulu--saat hamil nanti, suaminya setiap malam akan mengelus anak mereka yang sedang berada dalam perut Amira sebelum mereka tertidur dengan lelap.

Jangankan mengelus perutnya dengan sayang, mereka bahkan tidak tidur sekamar.

Amira menatap ke lantai bawah depan pintu rumahnya. Ada sepatu wanita lain disana, ia kenal dengan sepatu itu karena wanita itu sudah sering mengunjunginya--teoatnya suaminya.

Selarut ini, mengapa Nina masih berkeliaran di luar rumah?

Eh?

Amira tersadar jika ia sendiri pun sedang berkeliaran sekarang.

Amira menertawai dirinya sendiri.

Ia membuka pintunya perlahan dan seketika suara aneh menyapa indra pendengarannya. Ia tahu, ini bukan pertama kalinya tapi mengapa masih terasa menyakitkan?

Amira menutup telinganya berjalan ke arah kamarnya--berbaring menutup kedua telinganya dengan bantal dan mencoba untuk tidur. Ia bahkan belum membersihkan diri setelah seharian bekerja. Tapi jika harus mendengar suara-suara itu, maka ia lebih memilih untuk tidur saja meskipun badannya terasa tidak nyaman.

****

Amira menatap pintu kamar Amar dengan gamang. Niat untuk membangunkan suaminya itu karena yang ia tahu, Amar memiliki jadwal kuliah hari ini. Ia takut Amar akan memarahinya jika membangunkannya karena merasa terganggu dan ia juga takut jika Amar akan memarahinya karena tidak membangunkannya hingga ia akan berakhir tidak ikut perkuliahan hari ini.

Amira benar-benar bingung, tidak ada pilihan yang benar. Semuanya akan berakhir dengan dirinya yang bersalah. Selalu seperti itu.

Amira mengetuk pintunya pelan, berharap jika Nina sudah tidak ada di dalam kamar suaminya, setidaknya mereka sudah berpakaian lengkau kalau memang wanita itu masih berada di dalam sana.

Tidak ada respon dari kamar itu. Mau tidak mau, Amira membuka pintu itu dengan pelan. Hatinya begitu teriris melihat suaminya tengah berpelukan dengan wanita lain. Mengusap air yang menggenang di sudut matanya--Amira menghampiri Amar, mengguncang tubuh itu dengan pelan agar terusik dan segera bangun.

"Kak -- hari ini nggak kuliah? Nanti kakak telat. Mira udah siapin sarapan buat kakak sama Nina di depan".

Berhasil. Amira tersenyum dengan manis begitu Amar membuka matanya.

"Jam berapa sekarang?". Amar mengucek matanya beradaptasi dengan cahaya matahari yang menyapa matanya. Sangat lucu menurut Amira. Ia sangat menyukai kebiasaan bangun pagi suaminya itu yang sangat jarang bisa ia lihat.

"Jam tujuh kak. Kuliahnya jam sembilan kan? Kakak pernah bilang kalau hari rabu, banguninnya jam tujuh". Amira berjalan menjauh untuk menyibak gorden kamar Amar agar cahaya matahari bisa membuat suaminya itu percaya jika hari sudah pagi.

"Baguslah kalau kamu ingat". Amar duduk dengan pelan, matanya menatap Nina, ada suara decakan yang Amira dengar. Jujur saja ia senang bisa melihat tatapan tidak suka dari wajah Amar kepada Nina.

"Yasudah kak, Mira mau bersih-bersih dulu. Nina jangan lupa dibangunin juga ya kak, biar Mira bisa beresin tempat tidur kakak lebih awal".

Amira melenggang keluar dari kamar Amar dengan senyum. Ketakutannya tidak terjadi. Amar sama sekali tidak memarahinya, malahan nada bicaranya lebih lembut dari biasanya. Apa karena efek kelelahan akibat aktifitasnya semalam?

Amira tidak tahu dan tidak ingin memikirkannya lagi.









______________________
15 Dzulkaidah 1441
6 Juli 2020

💚

Amar & Amira |✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang