"Jika kamu menyatakan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
[Q.S. Al-Ahzab : 54]***
Amira menatap box bayi di dalam ruangan itu dibalik kaca yang menjadi dinding ruangan. Air matanya luruh begitu saja. Bayi itu baru saja terlahir ke dunia tapi harus menjadi yatim piatu sekarang. Penderitaan yang terlalu awal untuk dirasakan bayi sekecil itu tidak sebanding penderitaan yang pernah ia lalui. Ia masih sempat merasakan kasih sayang orang tuanya. Tapi bayi itu, ia hanya mendapat nama dari orang tuanya.
Ainiyah Roshni Walia
Nama ibunya sendiri. Terdengar kejam karena dengan nama itu, maka semua orang yang dekat dengannya akan teringat dengan ibunya.
Amira menunduk melihat Amir yang sedang menarik-narik gamisnya. Amira akhirnya berjongkok di depan putranya itu saat Amir menarik lengan Amira agar lebih rendah.
Amira tersenyum, putranya itu mengusap kedua pipinya yang basah dengan bibir mengerucut lucu.
"Mama tak boleh nangis nah. Amir sayang sama mama". Amira mengangguk-angguk, tak ingin putranya kecewa. Diraihnya tubuh kecil itu ke dalam dekapannya, ia berkhianat. Nyatanya air matanya kembali mengalir dengan deras.
Putranya memiliki seorang ayah pembunuh, tidakkah itu cukup menyakitkan jika anak itu sudah mengerti arti kata pembunuh nantinya?
Ia masih bimbang untuk mengatakan pada siapapun jika ia turut menjadi saksi dalam kecelakaan yang terjadi hari ini hingga dinyatakan sepasang suami istri itu tewas. Bahkan ia mengetahui siapa pelakunya. Dia ada di dalam truk itu, mungkinkah dirinya juga akan dinyatakan sebagai pelaku?
Amira menatap wajah putranya. Putranya masih sangat kecil dan tak akan bisa berpisah dengan dirinya sekarang. Amir sudah sangat mengenalinya dan sudah terbiasa berada di sekitarnya. Jika benar ia juga adalah pelaku, ia sama sekali tidak masalah jika harus mendapat hukum yang tepat. Tapi putranya bagaimana?
Dia tidak akan bisa tidur jika tidak memeluk mamanya.
Dia tidak akan makan jika bukan mamanya yang menyiapkan makanan untuknya.
Dia tidak akan mandi jika bukan mamanya yang menyuruhnya.
Semua kehidupan Amir bergantung pada dirinya.
Layaknya bumi yang mengelilingi matahari, Amir selalu berada disekitar mamanya. Di saat ia membuka mata hingga kembali terpejam.
Semua pemikiran Amira terhenti saat mendengar isak tangis Amir.
"Sayang--kenapa hm? Kok anak mama nangis?". Amira mengusap pipinya lalu mengusap pipi Amir agar berhenti menangis.
"Huk... Huk... Mama nangis, Amir kan jadi sedih nah." Amir memeluk erat leher Amira, menangis di sana.
Ah Allah. Dia selalu saja menyelipkan kebahagiaan untuknya disela kesulitan yang tengah ia alami. Amir sudah bagaikan obat untuk dirinya sendiri. Harapannya kini cuma satu.
Membahagiakan Amir.
"Sudah-sudah nak. Sshh.. Kita lihat adik Alif, mau? Ada adik Gibran juga loh di sana. Kuy!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Amar & Amira |✅
Teen FictionAmira pernah melakukan hal bodoh atas nama cintanya kepada Amar. Namun Amira tidak menyesal karena dengan hadirnya, ia bisa memiliki obat penawar kesepiannya setelah kedua orang tuanya meninggal.