Benar keyakinan orang-orang, bahwa kebahagiaan akan datang setelah kesulitan. Amira tengah merasakan itu sekarang, Amar lebih perhatian padanya dan mulai menerima dirinya sebagai istri.
Mereka kini tinggal bersama orang tua Amar.
Sayangnya, dibalik kebahagiaan itu,masih ada kesedihan yang terselip. Seakan Allah menghukum akan kelalaian Amar menjaga buah hatinya, hingga pernikahan mereka menjelang enam tahun belum dikaruniai anak seorang pun.
Amar kini memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri. Mereka mendewasakan diri bersama.
Amira tengah menyiapkan makan malam bersama ibu mertuanya, menunggu sang suami pulang dari pekerjaan yg membuatnya lelah.
Tok..tok..tok...
Suara ketukan pintu membuat fokus mereka terganggu.
"Loh, kok cepat pulangnya ya? Biasanya ba'da isya baru pulang si Amar".
Amira menyunggingkan senyumnya mendengar ucapan ibu mertuanya.
"Biar Mira yang buka pintunya ya bu". Amira mencuci tangannya lalu bergegas membuka pintu.
Ia terkejut. Tentu saja melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya. Dia, Nina dengan perut besarnya dan senyuman yang tercetak miring memandang Amira rendah.
Tak kalah terkejut lagi saat melihat Amar yang berdiri di belakang Nina dengan pandangan rasa bersalah kepadanya.
Amira tidak bodoh, ia mengerti apa yang terjadi saat ini.
'Ah Allah, apa ini saatnya aku menyerah?'
Rintihnya dalam hati bersamaan dengan air mata yang sudah meluruh ke pipinya.
Ia sudah memikirkan hal ini akan terjadi suatu hari nanti karena ketidak mampuannya memberikan Amar keturunan setelah putri pertamanya dinyatakan meninggal di dalam kandungannya.
"Siapa yang datang Mira?" Ibu Amar langsung menjatuhkan nampan yang ada ditangannya. Mematung selama beberapa saat lalu berjalan dengan cepat menampar pipi putranya dengan sangat keras. Amira langsung berlari keluar dari rumah itu, sudah cukup rasa sakit yang diberikan Amar padanya.
"Mira!..... Amira!" Amar hendak menyusul wanita itu untuk mencegahnya pergi, namun suara ibunya menghentikannya.
"Jangan!..." Amar melihat itu, air mata sang ibu yang mengalir karena kecewa akan tingkah anaknya. "Cukup Amar! Jangan mengganggunya lagi! Biarkan dia bebas sekarang. APA KAMU MASIH BELUM PUAS??" Teriakan kesakitan dari ibu Amar berhasil membuat Amar bersimpuh menyentuh kaki ibunya dengan permintaan maaf yang selalu terlontar dari bibirnya.
"Dan kamu? Selamat ya". Tertawa dalam tangisnya, ibu Amar menatap Nina dengan sinis "kamu berhasil membuat rumah tangga anakku hancur. Sampai kapan pun, aku tidak akan menerima kalian disini! Pergi!!!".
Pintu itu sudah tertutup dengan debuman yang keras. Penolakan yang jelas-jelas terlihat.
"Sudah kubilang. Datang kesini hanyalah sebuah kesalahan. Seharusnya aku tetap di rumahku dan tetap menjadi simpananmu".
Saat Amar yang sedang kalut dengan perasaan bersalahnya, Nina dengan santainya berjalan menjauh dari hadapan Amar.
Amar tahu, selama ini sikapnya hanyalah topeng di depan Amira, ibu dan ayahnya. Ia sama sekali tidak tahu jika sekarang, air mata dari Amira dan Ibunya terasa menenggelamkan dirinya sendiri.
***
Angin malam berbisik merdu. Langit tanpa bintang membuat malam terasa semakin kelam. Langkah kaki itu bergerak beraturan menyusuri jalan tanpa peduli tanggapan orang-orang yang melihatnya. Tangannya terus mengusap pipinya sesekali saat dirasanya ia melewati sebuah kerumunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amar & Amira |✅
Teen FictionAmira pernah melakukan hal bodoh atas nama cintanya kepada Amar. Namun Amira tidak menyesal karena dengan hadirnya, ia bisa memiliki obat penawar kesepiannya setelah kedua orang tuanya meninggal.