CYNOSURE 2024
BERSAMA DAFA & TIANA
-
-
-
-Awal tahun 2024 aku terbangun cukup lambat. Mengingat semalam pulang ke rumah dengan waktu yang cukup larut, membuat aku lama terhanyut di alam mimpi. Seluruh tubuhku terasa lelah meskipun telah diistirahatkan. Rasanya ini adalah hari bermalas-malasan di awal tahun yang begitu cerah ini.
Lagipula, aku adalah seorang pengangguran tanpa kesibukan. Kalian tidak perlu memikirkan bagaimana caranya aku membayar sewa uang kamar atau caraku untuk membeli kebutuhan makan serta hidup. Ya jika dipikir-pikir aku pun bingung. Tapi ya, selama kedua orang tua masih ada, aku aman.
Ternyata aku terbangun sudah lumayan siang. Melihat matahari sudah sangat terik dari celah gorden membuatku semakin yakin. Melirik ke arah ponsel yang semalaman tak kuberi daya. Menekan tombol power dan langsung menyala. Baterai ponselku sudah berubah warna menjadi merah, meminta asupannya.
Tapi, bukan hal itu yang menjadi pengalih fokus. Ini tentang pesan singkat yang aku dapatkan tanpa terduga.
Sial. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi campur aduk. Hatiku kembali merasakan perasaan sesak yang sudah mati-matian aku hindari. Itu Gilang, mantan kekasihku. Seseorang yang membuatku mati rasa. Kenapa? Kenapa dia berani sekali meminta aku untuk menemuinya di saat aku sedang sibuk memulihkan luka?
Aku kira perpisahan kemarin sudah menuntaskan hubunganku dengannya. Tapi memang hubungan kita sudah selesai, bukan? Aku tidak memiliki hal yang ingin dibahas lagi dengannya. Aku juga sudah tidak ingin menemui sumber rasa sakitku.
Namun sialnya meskipun aku menolak dengan tegas, kedua kakiku sudah menuntun diri ini untuk sampai di tempat yang sudah dijanjikan. Logikaku menolak, tapi hatiku tidak bisa mengatakan "Tidak". Sialan seribu sial, kini pada akhirnya aku tengah berdiri tegap di hadapan Gilang meskipun awalnya bersikeras tidak ingin.
"Na, apa kabar?" Basi! Aku katakan jika pertanyaan itu terdengar sangat basi. Awalan macam apa itu? Aku sama sekali tidak ingin mendengarnya.
"Lebih baik daripada sebelumnya," jawabku singkat. Diam-diam mataku mencuri pandang ke arah Gilang. Tubuhnya lebih kurus sejak terakhir kita bertemu. Kedua matanya terlihat sayu dengan kumis yang tak dia cukur. Terlihat berantakan memang.
Aku melihat Gilang tersenyum lirih. Semuanya kembali menjadi pertanyaan ketika aku bertemu dengannya untuk kesekian kali sejak berpisah. Kenapa dia mengajakku untuk bertemu? Kenapa dia tertawa saat aku mengatakan jika aku jauh lebih baik saat kita sudah tidak lagi bersama? Apa dia kecewa karena aku baik-baik saja? Tapi, apa benar aku baik-baik saja?
Gilang sialan. Aku mengutuk diri karena lagi-lagi logika kalah dengan perasaan hati. Gilang adalah manusia tidak sopan, tetapi aku sakit saat melihat keadaan dia yang begitu berantakan. Bagaimana pun, perpisahan itu masih terbilang baru. Dan kepedulian yang pernah aku lakukan kepadanya tidak bisa begitu saja dihilangkan.
"Aku cinta sama kamu, Na," ujarnya begitu lirih. Wajahnya seketika tertunduk setelah mengucapkan pernyataan tersebut. Berdesir aliran darah membuat bulu kudukku berdiri hanya karena mendengarnya.
"Buat apa?" tanyaku dengan maksud yang mungkin tak dia pahami. Pandangannya bertabrakan dengan retina cokelat milikku. Binar sendu yang tak pernah lagi kulihat, kini terpampang jelas di depanku.
Kedua alisnya bertaut bingung. Pasti dia sedang bertanya-tanya dalam batinnya. Bahkan wajah yang semula ragu untuk menatapku, kini dengan angkuh mendongak. "Apanya yang buat apa?"
Aku tersenyum miris dengan tanya yang dia ajukan padaku. "Iya, buat apa cinta? Setiap orang punya cinta, setiap orang juga bisa mencintai. Tapi, apa semua orang bisa memahami? Percuma bilang cinta kalau gak ada pemahaman di dalamnya."
Untuk apa mencintai jika tidak mengerti seperti apa cara cinta bertindak? Untuk memberi luka? Jika begitu, jangan mengatasnamakan cinta di atasnya. Cinta harus berlandaskan pemahaman. Karena itulah dikatakan jika seseorang yang mampu memahami jauh lebih penting dibandingkan seseorang yang hanya sekedar mencintai.
"Kenapa kamu bilang gitu, Na? Selama ini aku masih kurang buat kamu? Aku udah ngasih apa yang aku punya. Cuma buat kamu aku nurunin ego, ngilangin harga diri aku." Gilang berulang lagi. Sifat dia yang inilah yang paling aku benci. Seolah dia yang lebih dulu memperjuangkanku dan aku mengabaikan usahanya.
"Kamu playing victim banget, Lang. Nurunin ego? Kamu gak nyadar kalau selama ini yang keras kepala itu kamu? Sekarang aku tanya, pernah kamu cinta sama aku?" sarkasku. Tidak ingin obrolan ini berlanjut lama, karena aku ingin segera pergi meninggalkannya di sini.
Kedua netranya membelalak sehingga aku menyadarinya. Kita lagi-lagi menciptakan rasa sakit di tengah sedang inginnya meraih sembuh. "Aku cinta sama kamu, Na."
Aku menggelengkan kepala dengan tegas. Dari banyak ungkapan yang keluar dari mulutnya, aku paling tidak percaya dengan pernyataan yang barusan Gilang ucap. "Kamu cinta sama aku setelah kita pisah, Lang. Kamu baru liat ke arah aku setelah aku mati rasa. Buat apa cinta yang kamu punya sedangkan perasaan itu aku dapet dari sumber trauma aku sendiri?"
"Segitu bencinya kamu sama aku, Na? Aku gak berhak dapetin kesempatan dari kamu?" tanya Gilang dengan lirih. Aku membenci saat suasana menjadi dramatis di antara kita berdua. Linang air mata yang Gilang tunjukkan padaku memang membuat hatiku tersengat nyeri. Tapi, aku tidak akan membiarkan hati yang mengambil alih kali ini. Biar saja logika yang bekerja.
"Aku udah kasih kesempatan buat kamu loh, Lang. Setelah aku berhenti suka sama kamu, itu masih ada jeda buat kamu bisa perjuangin aku. Tapi apa nyatanya? Kamu lebih milih diem dan ngebiarin aku larut dalam mati rasa. Kesempatan mana yang gak aku kasih ke kamu, Lang? Berulang kali aku maafin kamu, meskipun kamu terus nyakitin aku. Apa itu bukan termasuk kesempatan?"
Kesempatan mana yang tidak aku berikan untuknya? Aku memberi dia banyak kesempatan tetapi dia yang mengabaikannya begitu saja. Dia membuang harapan-harapan yang masih memiliki kemungkinan untuk menjadi nyata.
Aku yang sekarang sudah tidak ada lagi di sana. Aku sudah tidak hidup di fase mencintai seseorang yang tidak mencintaiku. Beranjak dari rasa sakit dan menjadi aku yang tidak merasakan apapun lagi.
Aku sudah lelah memaafkan, memaklumi, dan berjuang sendiri. Aku ingin menemui cinta yang tulus, yang di mana saat bersamanya aku menjadi diriku sendiri. Aku sudah pergi dari sana. Jadi, tidak ada yang ingin aku ulangi lagi.
****
"Kita harus lebih bahagia setelah pisah. Seenggaknya, usaha aku ngelepas kamu dan perasaan aku yang sampai saat ini masih mati rasa, bukan hal yang sia-sia." -Cynosure 2024.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
CYNOSURE (On Going)
PoetryPatah hati membuatku mati rasa. Kehilangan bisa menciptakan ketidakpercayaan akan cinta. Tak diberi waktu untuk menunda rasa, tetapi terjeda akibat luka. Menyelam dengan alunan nada yang dinyanyikan oleh "Umay Shahab" bersama Perayaan Mati Rasa-nya...