09 : Wika Kharisma

42K 5.4K 216
                                    

Buset! Ini si Putra ngajakin aku pacaran? Kok kayaknya masih lebih elit aku diajak Ayah mandiin si Keiko, masih ada bujuk rayu dari Ayah. Apa nih orang kesambet ya?

Aku hanya bisa diam bengong dan kaget menatap Putra yang terlihat memasang wajah serius. "Om kesambet dimana?" tanyaku sambil mengedipkan mata berkali-kali. Ini bukan salah satu sifat genitku ya! Ini aku sedang meyakinkan diri bahwa yang berdiri di hadapanku ini benar-benar Putra Mahesa, bukan orang gila lepas.

"Ikut saya sebentar," kata Putra yang langsung menarik tanganku.

Aku mengikuti Putra yang berjalan dengan langkah lebar menuju kantin rumah sakit yang berada di sayap kanan gedung ini. "Bisa pelan-pelan gak?" ucapku dengan sedikit sebal, aku tidak begitu bisa mengimbangi cara jalan Putra yang cepat dengan langkah lebar.

Putra langsung memelankan tempo jalannya begitu kami tiba di pintu kantin rumah sakit. Aku melirik Putra yang matanya tajam bak elang mencari meja kosong. Sebenarnya ada banyak meja kosong di sini, namun sepertinya Putra ingin mencari tempat yang tidak terlalu mencolok pemandangan.

Jangan tanyakan bagaimana ritme jantungku sekarang, sepertinya aku merasakan gempa lokal di dalam dada ini. Atau mungkin jantungku sedang mencoba mengecilkan perutnya dengan lompat tali. Abaikan semua pikiran ngelanturku soal jantung, ini semua efek kalimat Putra yang siap membuat jantungku meledak seperti bom atom.

Putra membawaku ke sebuah meja yang terletak di sudut kantin. Saat Putra melepaskan cengkramannya pada tanganku, kami mengambil duduk dengan posisi berhadapan. Bibirku rasanya terlalu kering, juga seperti ada benda yang menyangkut di rongga leherku.

"Dengar Wika ..." Putra membuka suaranya, dia berdeham sebentar dan kemudian melanjutkan kalimatnya dengan berkata, "Sekarang kamu pacar saya. Jadi, jangan panggil saya Om lagi."

Ini si Putra salah makan obat? Atau tadi dia tidak sengaja kena suntik suster?

"Kamu udah gila? Gak waras? Coba berobat dulu, perlu aku ..." kalimatku tertahan saat Putra menggenggam tanganku yang ada di atas meja. Aku yakin sekarang mataku pasti sudah membelalak kaget, mungkin ekspresiku ini sangat-sangat tidak ada cantik-cantiknya.

"Jawaban saya atas ajakan kamu pertama kali. Kamu jadi pacar saya," ujar Putra terdengar santai dan tegas.

Kapan aku nembak Putra? Dulu aku cuma bilang mau ngantri doang. Kenapa sekarang terdengar seperti aku yang pertama kali menembak dan mengajak Putra jadian?

"Saya gak pernah ngajak kamu pacaran," ujarku lugas, tapi tidak berniat menarik tanganku yang ada di dalam genggaman Putra. Entah kenapa rasanya hangat saja dan mungkin jika ini di dalam kartun, wajahku sudah muncul semburat merah.

Putra tersenyum begitu ramah, sejenak aku terpesona dengan wajahnya yang sangat tampan. Demi apa! Kalau begini aku sih rela-rela saja pacaran dengan Putra!

Jangan gila kamu Wika. Dia pasti ada maksud jahat sama kamu, ngapain ngajakin perempuan model belangsak kayak kamu pacaran? Sementara dia punya sejuta penggemar yang jauh lebih dari kamu. Bisikan setan di hati kecilku mencabik-cabik semua rasa senang dan gembiraku.

Sepertinya aku harus kembali ke dunia nyata dan berpikir lebih rasional. "Kamu mau apa? Saya bukan orang kaya yang bisa kamu manfaatkan. Kenapa kamu mengajakku pacaran?" tanyaku, dengan berani aku menatap mata tajam Putra.

Aku menarik tanganku yang ada dalam genggaman Putra. "Saya sudah cukup kaya. Tidak perlu pacar yang kaya lagi. Saya rasa saya tertarik dengan kamu, tidak ada salahnya kita pacaran bukan?" kata Putra tenang.

Sekarang aku tahu kenapa pria di hadapanku ini dijuluki sebagai 'harimau-nya para investor'. Dia seorang perayu dan negosiator ulung, belum lagi gestur tubuh dan sikapnya begitu tenang. Seperti harimau yang sedang mengintai mangsanya; seekor kelinci putih yang tidak bersalah. Entah kenapa kini aku merasa bahwa aku lah kelinci putih itu.

"Saya tidak terima penolakan," tegas Putra.

Senyumku mengembang melihat sikap Putra seperti ini. Tidak ada salahnya bukan aku mengambil keuntungan atas sikap aneh Putra ini? Lagi pula memang aku suka dan bisa dibilang jatuh cinta pada pria di hadapanku ini. Anggap saja ini peruntunganku, siapa tahu dia jodohku. Rezeki jangan ditolak, begitu kata orang tua dulu.

"Oke kita pacaran," setujuku. Senyum Putra mengembang mendengar persetujuanku. "Tapi ada syaratnya," lanjutku lagi.

Wajah Putra kembali menjadi datar, senyum manisnya menghilang. "Apa syaratnya?" tanya Putra dengan nada suaranya terdengar sangat dingin. "Saya kira kamu berbeda dengan perempuan lain yang selalu mengambil keuntungan dari saya," lanjut Putra dengan kalimatnya yang tajam.

Aku tertawa pelan, bersikap santai dan berterus terang atas tujuanku sudah menjadi sifat bawaanku. "Saya hanya punya satu syarat sederhana, bisa merugikan dan menguntungkan untukmu. Saya hanya mau dalam hubungan ini hanya saya yang boleh memutuskan hubungan kita, kamu tidak dibenarkan untuk meminta putus dari saya," kataku pelan.

Sebenarnya ini salah satu trik jitu menolak seorang pria. Meskipun aku begitu memujanya, aku tidak mau berpacaran dengan cara ini. Lagi pula, tipe pria seperti Putra pasti akan menolak syaratku ini. Aku tahu dia pria yang tidak suka diatur dan terkurung dengan sesuatu atau seseorang dalam jangka waktu yang lama.

Aku kira Putra akan dengan tegas menolak. Nyatanya, dia justru tertawa kecil dan berkata, "Saya kira kamu ingin menjadi model atau aktris dan meminta koneksi saya. Kalau hanya syarat seperti itu, tidak masalah."

Kini aku kembali menganga tidak percaya. Apa yang ada di dalam pikiran pria di hadapanku ini. "Kamu begitu tergila-gila dengan saya?" tanyaku pelan.

Entah kenapa panggilan kami menjadi sangat formal seperti ini. Mungkin kami masih sangat segan dan asing karena intensitas pertemuan kami yang tidak banyak dan jangka waktunya juga tidak lama.

"Bukannya kamu yang begitu memuja saya?" tanya Putra balik dengan wajahnya yang tersenyum sinis.

Ekspresi macam apa itu? Kenapa sangat menyebalkan? Tapi kok ganteng?

Aku berdiri dari dudukku. "Tidak ada pembicaraan lagi kan? Saya mau pulang, ada urusan dengan Ayah," ucapku seraya mengecek ponselku yang sedari tadi bergetar-getar. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dari Ayah dan juga chat dari Ibu.

Hari ini aku berjanji akan ikut dengan Ayah berangkat ke acara relasi Ayah. Mungkin Ayah dan Ibu sudah kelimpungan karena aku belum juga pulang, padahal tadi aku hanya pamit keluar menjenguk Maya sebentar.

"Kamu bawa mobil?" tanya Putra yang kini ikut berdiri.

Aku menatap penampilan Putra yang sangat khas seorang pengusaha muda yang banyak uangnya. "Iya," sahutku pelan. Aku berjalan lebih dahulu, diikuti Putra. Tapi tiba-tiba aku berhenti berjalan, aku membalik badanku dan menatap Putra. "Bisa kita rubah panggilan Kamu-Saya menjadi Aku-Kamu?" pintaku akhirnya.

"Tentu," sahut Putra santai. Dia berjalan mendekat dan mengusap pelan kepalaku. "Hati-hati di jalan, nanti aku telepon," pesan Putra sebelum dia meninggalkanku yang terbengong-bengong untuk entah yang keberapa kalinya hari ini.

Bersambung

Masih ada stok satu bab lagi. Kalau mau update lagi, ramein ya hihihihi

Jangan lupa vote dan komentarnya

Cinta Over Time (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang