Aku membenarkan dasiku di depan cermin, terakhir aku memakai jam tangan sebagai pelengkap penampilanku. Aku menyambar kunci mobil sembari keluar dari kamar. "Bik. Saya berangkat dulu," pamitku pada Bik Surti, pembantu yang sudah ikut bersamaku semenjak aku remaja.
Aku hanya tinggal seorang diri di rumah besar peninggalan orangtuaku ini. Sebenarnya aku hanya menjaga rumah ini sampai Bang Titan kembali dari tugasnya di Papua. Kenapa aku bilang menjaga? Jika aku menikah nanti, aku tidak akan tinggal di rumah ini. Apa lagi jika Bang Titan beserta keluarga pindah kembali ke Jakarta.
"Kamu langsung ke kantor saja. Saya mau ke tempat Varol," pesanku pada Indra yang menungguku di ruang tamu.
Terkadang aku kasihan juga dengan Indra, dia terlalu sering mengikutiku kemana-mana. Pulang kerja larut malam, datang ke rumahku pagi-pagi sekali, membantuku menyelesaikan beberapa hal sepele. Sebenarnya ini karena aku yang tidak ingin memakai supir, mau tidak Mau Indra harus mengecek mobil beberapa kali, atau membawakan pekerjaan urgent ke rumah.
Seharusnya pagi ini aku ada rapat dengan divisi marketing. Tapi, semalam Varol meneleponku dan memberikan berita buruk. Lebih tepatnya Varol meminta bantuanku untuk menyelidiki paket misterius yang datang ke apartemennya.
Kebetulan gedung apartemen itu milik salah satu anak perusahaan keluarga Mahesa. Tidak mungkin aku tidak mau membantu keponakanku sendiri. Bisa-bisa aku digantung oleh Kak Dena.
Di perjalanan menuju apartemen Varol aku melewati penjual bubur ayam langgananku. Berhubung aku buru-buru dan tidak sempat sarapan, aku memilih mampir sebentar. "Dibungkus dua Mang," pesanku dengan kepala sedikit menunduk. Maklum saja, mempunyai tinggi badan di atas rata-rata ya mau tidak mau seperti ini. Atau tenda bubur ayam ini yang terlalu rendah?
Merasa leherku akan sakit jika seperti ini, aku memilih menarik kursi dan duduk menunggu di sana. Tiba-tiba aku menangkap sosok Febriko, teman mainku dulu. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Febriko, semua berubah semenjak kejadian yang lalu itu.
Sosok Febriko sedang menyantap bubur ayamnya bersama dengan seorang perempuan berseragam PNS. "Sempit sekali dunia ini," cibir Febriko saat tatapan mata kami bertemu.
Sebenarnya aku dan Febriko hanya mampu berteman sampai lulus SMA. Semuanya karena kesalahpahaman yang entah siapa dulu memulainya. Permasalahan yang sepertinya akan sulit untuk diselesaikan, mengingat ego kami yang sama-sama tinggi.
Aku memperhatikan perempuan yang duduk di hadapan Febri-panggilanku untuknya. Dia terlihat memandangku tanpa berkedip, bibirnya sedikit terbuka. Aku menganggukkan kepalaku sekilas dan memberikan senyum ramah.
"Dia bajingan. Lo jangan ketipu sama tampangnya," sindir Febri yang langsung mengalihkan pandangan perempuan PNS itu dariku.
Saat aku ingin membalas ucapan Febri, Mang Diman datang menyerahkan dua bungkus bubur ayam pesananku. Sehingga aku tidak sempat membalas perkataan Febri dan memilih pergi dari sana. Jika diteruskan, bisa-bisa aku dan Febri adu jontos di warung orang.
Kisah lama memang antara aku dan Febri, hal sepele sebenarnya. Aku dan Febri teman SMA sampai kelas dua, kemudian kami ribut dan aku dipindahkan oleh orang tuaku agar tidak satu sekolah dengan Febri. Tapi, beberapa kali kami sempat berjumpa tidak sengaja, sehingga tidak heran sampai setua ini kami sama-sama mengenali satu sama lain.
Awal pertengkaran kami karena perempuan, aku sendiri tidak tahu dan tidak menyangka bahwa kami akan menyukai perempuan yang sama. Lebih parahnya lagi, aku dan Febri sampai adu jontos hingga membuat kami harus diskors beberapa hari. Terakhir aku pindah sekolah, maklum saja saat itu aku harus siap untuk naik ke kelas tiga SMA.
∞∞∞
Aku menenteng bubur ayam menuju apartemen Varol. Aku memencet bel dan mengetuk pintu apartemen beberapa kali. Menunggu dengan tenang pintu apartemen ini terbuka. Terlalu pagi memang, tetapi aku ingin menyelesaikan permasalahan ini segera. Anggap saja pelayanan dariku untuk penghuni apartemen ini; Varol Saladin.
"Loh ada Wika?" Aku sedikit kaget saat mendapati sosok Wika yang membukakan pintu untukku. Aku melirik dari ekor mataku bahwa Varol dan Maya sedang duduk di ruang tamu, mereka terlihat berdebat, entah apa yang mereka perdebatkan.
Wika tersenyum malu-malu dan mempersilahkan ku untuk masuk. Aku bahkan dapat melihat mata Wika sedikit berkedip-kedip. Entah kenapa melihat Wika seperti ini seolah melihat boneka lucu yang minta dibawa pulang.
"Varol ada jadwal ya hari ini?" tanyaku pada Wika.
"Enggak ada kok," sahut Wika masih dengan matanya yang begitu memujaku.
Bola mata Wika itu entah kenapa terlihat sangat jernih, seolah-olah ada pantulan cahaya dari kedua bola mata itu. Kemudian aku menahan geli saat melihat Maya datang mengomeli Wika. Bahkan perempuan itu harus rela diseret Maya pergi dari hadapanku.
"Masuk Om," ajak Varol.
Aku mengangkat tentengan buburku. "Sudah sarapan?" tawarku.
"Kebetulan belum," sahut Varol.
Kami memilih duduk di mini bar untuk menyantap bubur ayam yang aku bawa. "Gak ada jadwal?" tanyaku memastikan jadwal Varol. Ucapan Wika tadi sedikit meragukan, dia menjawabku tadi saat masih terpesona olehku.
"Pagi ini ngecek restoran doang. Siang ada acara live," sahut Varol.
Benar kan? Soalnya tadi kata Wika si Varol tidak ada jadwal, aku kira keponakanku ini akan bebas hingga sore hari.
"Coba kamu kasih cucu buat Bunda kamu segera Rol," kataku sembari membuka bungkusan bubur ayam milikku.
Varol juga sibuk membuka bubur ayamnya, kemudian menyingkirkan kacang kedelai di buburnya. "Kenapa Om? Udah diteror sama Bunda?" tanya Varol dengan nadanya yang terdengar mengejekku.
Aku menghembuskan napasku sedikit kasar. "Pusing sudah," gumamku pelan.
"Kalau Varol punya anak, entar Om yang belum nikah dipanggil Kakek. Lebih ngenes lagi Om kelihatannya," ejek Varol yang justru membuatku tertawa pelan.
"Bener juga! Jadi kakek muda dong!"
"Yang namanya kakek pasti udah tua Om. Kayak Om nih, udah tua gak nikah-nikah. Pacar aja kagak punya," cibir Varol.
"Ada Vira yang janji mau bantuin cari pacar kok," sahutku sembari memasukkan sesuap bubur ayam ke dalam mulutku.
Kekehan Varol terdengar. "Wika bisa patah hati ini," kelakar Varol.
Aku hanya diam saja, tidak berniat mengomentari. Sebenarnya aku menunggu Varol sendiri yang membeberkan mengenai si Wika. "Ngaco aja!" elakku.
Varol meninju lenganku pelan, dia menatapku jahil. "Varol selalu doain Om bakalan sering ketemu Wika. Siapa tau beneran jodoh Om," kata Varol yang kini menaik turunkan alisnya menggodaku.
Aku tahu Varol sedang menggodaku soal ucapanku beberapa waktu lalu. Aku mengatakan kepada Wika; jika kami bertemu tiga kali tanpa disengaja, maka aku bisa mempertimbangkan Wika sebagai pacarku. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Wika, dia cantik dan sepertinya pintar. Tapi, sifatnya yang terlalu mudah untuk dibaca serta ucapannya yang terlalu berterus terang itu merupakan hal yang baru untukku.
"Paketnya gak dibuang kan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Pindah jalur nih pembicaraannya," kata Varol sembari terkekeh pelan.
Aku hanya tersenyum tipis dan berkata, "Masih satu kali pertemuan lagi."
Bersambung
Uyeeee, Om Putra nongol dong tengah malam begini. Selamat membaca! Jangan lupa diramaikan, biar ane selalu semangat update-nya
Jangan lupa vote dan komentarnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Over Time (Sudah Terbit)
Chick-Lit(Spin off Dunia Maya, Bisa dibaca terpisah) Namanya Wika Kharisma, dia cantik tapi sayang terlalu 'berterus terang' dalam hal apapun. Pertemuan pertamanya dengan Putra Mahesa membawa Wika dalam fase baru hidupnya; jatuh cinta. Wika percaya dengan ya...