08 : Putra Mahesa

40.3K 5.5K 285
                                    

"Apa ada yang begitu mendesak lagi?" tanyaku pada Indra.

Beberapa hari ini aku sibuk mengurusi pekerjaanku, terlalu banyak hal yang bersifat mendesak. Beberapa hari kemarin aku juga pergi ke luar kota, bahkan aku tidak bisa membantu Varol yang sedang kesulitan. Hari ini rencananya aku akan ke rumah sakit menjenguk Maya.

"Sudah tidak ada lagi Pak," sahut Indra sembari mengambil berkas yang sudah selesai aku periksa dan aku tanda tangani. "Parcel buahnya sudah saya siapkan," ujar Indra lagi.

Aku mengangguk pelan. "Oke terima kasih. Setelah ini kamu boleh pulang," perintahku kemudian.

Aku bangun dari dudukku, membenarkan kemejaku. Kemudian aku memakai jasku yang tersampir di lengan sofa. Aku membawa parcel buah tersebut dan bersenandung pelan. Entah kenapa mood-ku hari ini cukup baik.

Saat aku turun di lobi mobil sudah siap. Aku mengemudi dengan nyaman dan aman, tidak ingin terburu-buru. Lagi pula aku sudah mengabari Varol bahwa aku akan mampir ke rumah sakit. Tiba-tiba ponselku berdering pelan, saat aku lirik muncul nama Kak Dena di layar.

Aku menghembuskan napas pelan, menyiapkan mental sebelum mengangkat panggilan. "Hallo," sapaku. Kebetulan aku menggunakan wireless earbuds, sebenarnya ini sudah jadi kebiasaanku untuk menghemat waktu jika ada telepon penting.

"Kamu gimana sih Put?! Katanya mau bawa pacar ke rumah, tapi Vira cerita kamu tolak semua perempuan yang Vira kenalkan!" omel Kak Dena.

Sepertinya keponakan itu mulai menggunakan taktik lain. Setelah Kinan, Vira mengenalkanku ke banyak perempuan lain yang kelakuannya tidak beda jauh. Aku tahu keponakanku itu sedang mencoba menghindar dari permintaanku soal kontrak dengan Laksamana.

"Kak, semua perempuan yang Vira kenalkan tidak ada yang benar," sahutku sabar.

Aku membelokkan mobil masuk ke dalam pelataran parkir. Mencari tempat parkir yang kosong saat jam jenguk seperti sekarang cukup susah. Sepertinya aku harus memarkirkan mobil di tempat yang cukup jauh dan paling ujung.

"Ngeles aja kamu terus Put. Kakak ingatkan ya, kamu hanya punya waktu kurang dari satu bulan. Minggu depan juga ada acara keluarga, jangan mangkir kamu!" peringat Kak Dena yang kemudian langsung mematikan sambungan kami. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan pembelaan lagi. Kak Dena itu ibarat hakim dengan keputusan mutlak di dalam hidupku. Susah menyangkalnya, dia sudah seperti ibu bagiku.

"Sudahlah. Untuk acara minggu depan aku pikirkan nanti saja," gumamku pelan.

Aku mengambil parcel buah dari kursi penumpang, menentengnya masuk ke dalam rumah sakit. Sebenarnya acara keluarga seperti itu hal rutin, kebanyakan aku akan mangkir dari sana. Dulu aku selalu punya Varol sebagai teman kena omel Kak Dena, tapi sepertinya sekarang akan sangat sulit. Secara keponakanku itu sudah bahagia dengan istrinya.

"Varol," panggilku saat melihat sosok Varol berdiri di depan meja administrasi rumah sakit.

"Langsung aja Om. Di lantai dua belok kanan kamar nomor tiga. Varol urus administrasi sebentar," ujar Varol.

Aku mengikuti perintah Varol dan menuju lantai dua dengan menggunakan lift yang kebetulan terbuka. Begitu aku keluar dari lift aku mengikuti perintah Varol, belok kanan dan langsung menemukan kamar VIP nomor 3. Aku berdiri di depan pintu kamar, dari luar sini aku mendengar suara berisik perempuan yang sedang berdebat. Tidak begitu besar, namun sayup-sayup pelan tertangkap indra pendengaranku.

Kuketuk pelan pintu kamar tersebut, tidak ada sahutan atau pun langkah kaki yang berjalan menuju pintu. Justru suasana yang tadi sedikit berisik di dalam tiba-tiba berubah menjadi tenang. Aku tersenyum tipis, sepertinya yang berada di dalam kamar sedang menunggu aku masuk.

Aku tekan handel pintu dan mendorong pintu dengan pelan agar tidak menimbulkan suara berisik. Aku melihat Maya duduk bersandar di kepala ranjang, dia memegang pisau dan apel di tangannya. Kemudian ada Wika yang sepertinya ingin berjalan menuju pintu.

"Hallo Om," sapa Wika yang sempat memberikanku senyum singkatnya.

Tapi, kemudian aku menatap Wika heran. Senyum itu hanya bertahan sebentar, dia bahkan seperti menghindari bertatap mata denganku. "Hallo Wika," kataku menyapa Wika. "Gimana May? Sudah lebih baik?" tanyaku pada Maya.

Tiba-tiba Wika mendekat ke arahku, dia mengambil parcel buah di tanganku dalam diam. Bahkan tidak sedikit pun menatap atau melirikku. Apa pesonaku sudah luntur dari Wika? Baru juga beberapa hari tidak bertemu, secepat itu dia berpaling?

"Baik Om," sahut Maya.

Aku mengangguk sekilas dan duduk di sofa yang tersedia. Sedangkan Wika lebih memilih duduk di kursi yang tersedia di sebelah ranjang rumah sakit Maya. Entah kenapa aku merasa Wika sedikit marah padaku. Memangnya aku salah apa? Atau dia marah soal terakhir kali kami bertemu? Wika cemburu? Yang benar saja!

"Kok lo gak keganjenan Wik?" pertanyaan Maya itu diucapkan kepada Wika dengan nada pelan, tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas. Mau tidak mau aku tersenyum tipis.

"Lagi sensitif gue," sahut Wika.

"Payah lo. Gitu aja udah nyerah," ejek Maya.

"Siapa yang nyerah coba. Gue lagi tarik-ulur ini, diam aja lo udah," komentar Wika dengan nada suaranya yang dinaikkan sedikit. Sehingga aku merasa geli sendiri, bisa kedua perempuan ini membicarakanku dengan suara keras dan jelas seperti ini. Responku hanya diam saja, aku hanya bisa menarik senyum dan menggelengkan kepala pelan.

Tidak berapa lama kemudian sosok Varol masuk ke dalam kamar. "Gue balik duluan deh. Laki lo udah datang tuh," kata Wika cepat dan bahkan dia langsung kabur keluar kamar.

Kejar sana bego! Teriak setan kecil di dalam hatiku.

Refleks aku berdiri dari dudukku, sedikit membenarkan penampilanku. "Om pamit ya Rol. Masih ada rapat penting untuk masa depan Om ini," kataku pelan seraya menepuk pundak Varol. Aku berusaha keras agar tidak terlalu kentara terburu-buru ingin mengejar Wika. "Cepat sembuh May," pesanku pada Maya.

Aku langsung melangkah lebar keluar dari kamar inap Maya. Saat aku berbelok menuju lift, Wika baru saja masuk ke dalam lift. Aku melihat pintu lift yang tertutup cepat, sepertinya jalan satu-satunya adalah aku harus turun ke lantai satu dengan menggunakan tangga selasar. Cepat aku menuju tangga selasar yang berada di ujung lantai ini, aku sedikit berlari menurutni tangga selasar yang cukup curam. Untunglah tidak terlalu ramai orang yang menggunakan tangga selasar, sehingga aku bisa berlari tanpa takut mengganggu penghuni lain.

"Wika!" panggilku saat melihat sosok Wika akan keluar dari pintu lobi rumah sakit.

Aku masih berlari, namun sedikit mengurangi kecepatanku. Aku lihat Wika berhenti berjalan sejenak, dia berbalik badan dan menatapku dengan heran dan seikit kaget. Aku mengatur napasku dan mulai berjalan pelan saat jarakku dan Wika hanya beberapa meter lagi.

"Ada apa Om?" tanya Wika.

Aku tersenyum menatap mata bulat Wika. "Ini pertemuan ke empat kita. Kamu sekarang jadi pacar saya," lanjutku to the point aku tidak suka bertele-tele. Ini cara paling benar agar Wika tidak bisa menolak dan mengelak.

Bersambung

Coba ramaikan, pasti penasaran sama reaksi Wika kan? Nah kalau rame aku bakal update lagi deh.

Jangan lupa vote dan komentarnya

Cinta Over Time (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang