Sebelum baca, absen dulu gaeesss
**
“Nia memang wanita sempurna, Sa," ucapku dengan mata nanar melihat gawai.
Aku mengambil kapas, mengelap wajah yang berlepotan. Kugunakan tooner untuk menghilangkan bekas eyeliner dan maskara yang sudah tidak karuan bentuknya. Deraian air mata, membuat wajah menghitam dengan sempurna.
“Apa maksudmu?” Nafisa mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Lihatlah dia dengan segala yang ia punya. Kecantikan yang teramat memesona, bibir indah merekah dengan senyum mengembang sempurna. Hidungnya mancung, mirip dengan artis India. Kulitnya putih, begitu halus nan indah. Dan-”
“Dan apa?”
“Dan dia terlahir dari keluarga terpandang. Berdarah biru. Sedangkan aku?”
Air mata berlinang. Aku kembali menatap wajah di cermin. Benar-benar mengenaskan.
Nafisa berdiri, tangannya mengambil gawai dari atas nakas. Ia melihat apa yang sedari tadi aku lihat.
[Terima kasih atas kehadiran dan doa restumu--sahabat. Kuharap, kau segera menyusul kami ke pelaminan.]
Nia menandai aku dan Mas Amran dalam postingan facebooknya.
Begitu cantik dengan polesan make up yang semakin membuat paripurna penampilannya. Di foto itu, ada aku dengan senyum yang dipaksakan untuk menutupi luka. Pun terlihat seorang lelaki yang digandengnya. Dia--Amran Wijaya--mantan kekasihku.
“Nia Anastasya, sungguh perempuan tidak tahu malu!” ucap Nafisa membuatku menoleh padanya. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Iya! Bagaimana mungkin itu bisa dia lakukan? Enam belas tahun kita bersama. Tiga serangkai orang menyebut kita. Bukankah, dia sudah tahu kalau Amran itu kekasihmu? Cinta pertamamu? Kadang aku heran apa isi di kepalanya. Lebih herannya lagi, dia bersikap baik padamu seakan melakukannya tanpa dosa. Menggandeng lelaki itu di pelaminan dengan memintamu berada di sampingnya. Mengundangmu tanpa mengundangku. Apa maksudnya cobak kalau bukan untuk melukaimu?”
Nafisa berbicara nyaris tanpa jeda. Emosinya meletup-letup laksana si jago merah yang siap melalap mangsa.
“Bukankah katamu setiap rezeki, jodoh, hidup, dan mati sudah ada yang mengatur, Sa?”
“Iya, sih. Tapi, kagak gini caranya juga!”
“Udahlah, semua telah terjadi. Percuma diperdebatkan, Mas Amran tidak mungkin kembali padaku. Hari ini, dia sudah sah menjadi suaminya. Sedangkan aku cuma apa? Wanita penjaga kekasih orang. Seperti itu, 'kan?”
Nafisa memelukku. Kali ini, dia yang tergugu.
“Aku ingin pergi dari kota ini, Sa,” ucapku dengan pandangan kosong mengarah ke jendela.
Malam ini, Nafisa berniat menginap di rumahku. Dulu, kami--Aku, Nia dan Nafisa--terbiasa menghabiskan malam-malam di kamar ini bersama. Namun, kini semua itu hanya sebatas kenangan. Tiada daya menyulam angan, jika takdir sudah berkehendak lain. Aku hanya bisa pasrah. Berusaha menerima kenyataan dengan hati yang lapang.
“Hah! Pergi? Ke mana?” Nafisa terperanjat.
“Entahlah,” jawabku acuh.
Dia memegang pundakku. Matanya runcing menuding.
“Pulau Dewata,” sahutku cepat.
“Tidak!” Nafisa menggeleng, “itu pelarian namanya.”
Dia berbalik arah, duduk di bibir ranjang dengan wajah ditekuk. Embusan napasnya berat kudengar.
“Aku butuh ketenangan, Naf,” ucapku spontan. Namun, tak melegakan.
“Kamu akan pergi? Meninggalkan kami? Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana dengan kita? Kita memang bukan tiga serangkai lagi, Bell. Akan tetapi, kita masih bisa jadi BF2--bestfriendforever. Dengan mata berkaca Nafisa berusaha meyakinkanku.
“Kita tetap BF2, hanya saja-“
“Kenapa?”
“Aku ingin mencari ketenangan. Selama ini, hidupku terlalu rumit, Sa. Aku tidak punya siapa-siapa lagi.”
“Bukan hanya seputar Amran dan Nia. Bukankah, masih ada aku? Aku tahu kamu, Bell. Aku akan selalu ada untukmu.”
“Ya! Aku percaya padamu. Kamu adalah sahabat terbaik. Selain Mas Amran, kamu yang selalu tak henti mengingatkanku akan Tuhan. Kau beruntung, Sa. Tak pernah memiliki hubungan dengan lelaki mana pun selain suamimu kini. Kaubegitu teguh dengan agamamu, sehingga Tuhan pun dekat denganmu. Sedangkan aku?”
Nafisa terdiam. Kulihat, bulir bening jatuh dari ke dua netranya.
“Aku hanya butiran debu yang terlahir dari lembah hina dan nista. Aku sadar diri kok, Sa. Mungkin ... sebab itulah Amran tak pantas bersanding denganku.” Nafisa tergugu. Memelukku erat. Sangat erat. Tanpa sadar, kami menangis bersama.
“Kamu mau kerja apa di sana? Kau akan tinggalkan ‘Rumah Pelangi’? Bagaimana mereka tanpamu?”
Anganku terbang pada mereka, anak-anak kecil tak berdosa yang lahir dari keluarga broken home sama sepertiku. Banyak anak yatim di sana. Anak tak berayah, maupun tak beribu. Anak yang terbuang, hasil dari hubungan haram. Aku kembali menangis. Ada sesak di dada yang menjalar ke seluruh raga. Membuat lidah kelu untuk berkata. Mulut diam membisu. Hanya air mata yang terus menjadi saksi kerapuhanku.
“Rumah Pelangi,” gumamku lirih.
Aku tak mampu menjawab pertanyaan Nafisa tentang itu. Dada begitu sesak memikirkannya. Selama ini, Nia yang cukup royal menyisihkan uangnya untuk membantu kehidupan mereka. Aku dan Nafisa melakukan semampu yang kami bisa. Pekerjaanku hanya seorang guru honorer, begitu pun dengan Nafisa. Sedangkan Nia, menjadi manajer di perusahaan tekstil milik keluarganya. Nia anak semata wayang. Memiliki keluarga baik dan mapan. Hidupnya nyaris sempurna.
Jam dinding menunjukkan pukul 23.15. Nafisa yang begitu kelelahan tampak ketiduran. Sepertinya, ia memang sengaja membiarkanku tenang. Saat dirundung masalah, aku memang terbiasa menyendiri. Namun, karena saking khawatirnya, malam ini Nafisa berniat menginap di rumahku. Kuselimuti tubuhnya seraya tersenyum mengamati. Dia benar-benar begitu peduli.
Ponsel berbunyi. Secepat mungkin tangan meraba mencari keberadaan benda pipih itu. Rupanya, ponsel berwarna rose itu di samping Nafisa. Aku segera mengambilnya. Mata menelisik melihat apa yang tengah terjadi. Dari layar kutangkap sebuah nomor baru mengirim pesan:
[Duhai Bidadari
Kidung renjana mengalun syahdu
Dawai asmara mendayu
Enggan berlalu
Candu
Rindu
Manis senyummu
Bagai secawan madu
Memantik asa mengurai sendu]
Dari rangkaian aksaranya, aku yakin kalau itu dia--lelaki yang tak asing lagi. Bibir tersenyum menahan luapan gejolak rasa. Sejenak aku terlupa dengan kejadian yang menyematkan luka. Dada kembang kempis, jantung berdetak tak beraturan.
[Aku tahu kini kau tengah memikirkanku, aku pun sama. Di setiap rangkaian aksara, namamu yang selalu terukir nyata. Kidung renjana berdawai, tetap dirimu yang ada dalam ingatan.]
Mas Amran adalah sang pembual yang handal. Aku larut dalam untaian kata cinta yang memabukkan. Bait-bait puisinya bagaikan busur panah yang melesat cepat menembus hati. Aku tidak bisa berkata-kata lagi.
[Ketika raga merindu laksana jentayu menantikan hujan, haus akan belai cinta cukup ditenggak sampai kerongkongan saja.
Laksana bunga dadap sungguh merah berbau tidak, menggores atma menyisakan kubangan derita.]
Sampai di sini, senyuman yang tadinya sempat mengembang menjadi layu. Pipi merah merona berubah basah penuh air mata. Tersadar kalau dia bukan lagi milikku.
[Maafkan aku, Bell. Aku adalah lelaki pengecut. Hanya mampu menyembunyikan rindu dari kejauhan. Bagaimanapun juga, kau adalah purnamaku. Mutiara hitam yang selalu kutunggu.
Halal yang kita inginkan hanya sebatas sepakat kita. Rupanya, pendapat mereka tak sama. Jika kau terluka, aku pun sama. Yang perlu kau tau hanya tentang ungkapan rasa. Aku tetap mencintaimu. Meski raga bersamanya, tapi hati setia untukmu. Amran Wijaya.]
Tangan gemetar memegang gawai. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuh. Aku menangis tergugu. Beragam perasaan berkecamuk di dada. Malam ini merupakan malam pertamanya. Seharusnya dia bahagia bersama istrinya. Memadu kasih, bercumbu mesra, lalu beribadah bersama.
Dia masih peduli padaku. Berarti, perpisahan ini bukan karna ia tak cinta, ada alasan lain yang membuatnya melangsungkan pernikahan itu. Kuyakin ... kasta lah yang menjadi alasan utama.
Aku duduk bertelekan di atas lantai, punggung kubiarkan bersandar pada dipan. Air mata mengucur semakin deras. Angan terbang membayangkan beragam kemungkinan-kemungkinan. Haruskah aku menyalahkan takdir?
Sungguh, tak pernah diri ini menginginkan untuk terlahir sebagai anak jadah. Andai dapat menentukan sendiri bagaimana jalannya takdir kehidupan, akan kupilih orang tua mana yang akan jadi orang tuaku. Akan kuatur strata, kasta, tahta seperti apa yang akan melengkapi kejayaanku. Namun, bukankah ada Tuhan yang telah menggariskan semua ini?
[Halal yang kita inginkan hanya sebatas sepakat kita. Rupanya, pendapat mereka tak sama.]
Kubaca berulang-ulang kalimat itu. Tiada kata yang mewakili seluruh rasa. Meski hati berteriak ingin tetap bersama. Namun, ada pembatas yang mengekang begitu nyata. Belum lagi, Dia kini telah sah menjadi suami sahabatku--Nia. Masih pantaskah aku menyimpan rasa? Sedangkan luka dan kecewa terlanjur menganga.
[Kuucapkan selamat atas pernikahan kalian. Semoga menjadi kelurga yang sakinah, mawadah, warohmah. Mulai sekarang, jangan lagi pikirkan perasaanku. Aku baik-baik saja. Kata Nafisa: jodoh, rezeki, hidup dan mati itu sudah ada yang mengatur. Aku bersyukur kau menemukan jodoh yang tepat. Nia itu perempuan baik yang begitu dermawan. Dia juga cantik, senyumnya indah bak bidadari. Dia lah bidadarimu kini, bukan aku. Biarlah kuleburkan sisa cinta yang ada bersama ikhlas, karna kutahu begitu pun juga kau. Aku tak mungkin bersanding denganmu. Kau dan aku bagai langit dan bumi. Aku titip sahabatku padamu, ya? Jangan kecewakan dia. Buatlah dia bahagia.]
Entah keberanian apa yang membuatku mengirim balasan itu. Air mata luruh tanpa dipinta. Aku sesenggukan memeluk guling, mengeja satu persatu kenangan yang sudah berlalu. Meski berulang kali menyatakan siap menerima kenyataan dan baik-baik saja. Namun, justru mengingatnya hati semakin terluka.
***
“Bella, maukah kaumenjadi pengisi ruang hatiku?” ucapnya kala itu.
Di bangku taman, kami duduk berdua sembari menikmati keindahan langit luas. Aku mendengar ungkapan rasa pertama kali darinya. Amran Wijaya, seorang lelaki pemilik tubuh tinggi tegap berhidung mancung dengan rambut yang selalu tersisir rapi. Kulitnya putih bersih dan berseri. Dia pencinta seni, suka melukis dan juga sangat puitis. Sikap loyal, tapi terkesan cuek terhadap perempuan membuatnya banyak di gandrungi oleh teman ospekku kala itu.
Bagai kejatuhan durian runtuh, aku merasa menjadi wanita paling beruntung bisa akrab dengannya. Terlebih, setelah mendengar pernyataannya barusan, aku hanya mampu terdiam membisu tanpa bisa berkata-kata saking senangnya.
Hati melompat ria. Jantung berdetak tak beraturan. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Agar tidak ketahuan groginya, mata mengedarkan pandangan pada semburat jingga yang menyulam bumi. Keindahannya mengiringi kebahagiaanku kala itu.
“Kenapa bengong?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“A-anu, Kak. Maksud Kakak apa ya? Bella tak mengerti.”
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Kenapa harus begini awal perkenalan kita? Dia tersenyum, menampakkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi.
“Maukah kamu jadi kekasihku? Aku ... mencintaimu," ucapnya dengan jarak yang begitu dekat. Tapi dia cukup sopan, tak sedikit pun menyentuhku.
Refleks, aku mengangguk. Malu tapi mau. Kutaksir, wajah sudah memerah bak kepiting rebus.
Dia kembali memundurkan badannya, tersenyum lebar sehingga membuatku meleleh. “Terima kasih," ucapnya.
Dengan polosnya aku kembali mengangguk. Hati begitu riang gembira. Senyum mengembang sempurna menahan setiap gejolak rasa. Panah asmara telah menusuk tepat di dada. Seperti menikmati manisnya es krim yang dilelehi beragam toping aneka rasa: ada cokelat, kacang dan stroberi di dalamnya. Manis sekali.TBC....
KAMU SEDANG MEMBACA
DITINGGAL NIKAH (End)
General FictionPernahkah dikhianati pacar? Seperih apa rasanya ditinggal nikah? Tapi Bella memaksakan diri untuk tetap datang ke pesta pernikahan pacar dan sahabatnya. Selamat membaca ❤