Part 8

2.5K 127 17
                                    

POV Bella

Hari ini, kami membuat kejutan untuk Nafisa di Rumah Pelangi. Kami membuat pesta kecil untuk merayakan pertambahan usia sahabatku itu.

Aku membawa aneka kue dan camilan yang kubeli di toko dekat rumah Bu Mus. Eh, rumah Mas Teguh juga sebenarnya.

Mas Teguh juga datang membawa minuman kaleng dan beberapa bungkus nasi goreng. Karena hampir setiap hari menyempatkan berkunjung ke sini, kami semua semakin akrab. Terlebih, lelaki manis itu sering membantuku memeriksa pembukuan usaha ibunya.

“Bentar lagi, Nafisanya datang!  Ayo cepat, terus kita keluar semua.” Pak Midun terlihat sangat antusias, begitupun anak-anak. Tak lama, semua selesai.  Kami hanya perlu menunggu Nafisa datang.

“Kejutan!” ucap kami serempak. Anjani dan Pak Midun membuka pintu Rumah Pelangi yang tadi sengaja ditutup. Beberapa detik Nafisa terdiam, lalu berteriak histeris karena bahagia. Gadis baik hati itu, tersenyum dengan air mata berderai.

“Makasih untuk semuanya! Aku tak tahu harus bilang apa, tapi aku sayang kalian semua.” Nafisa memelukku dan anak-anak bergantian. Sore itu, Rumah Pelangi mengukir kembali kebahagiannya.

**

Pagi ini, seperti biasa aku bersenandung kecil sambil mengendarai motor magic kesayangan, menuju rumah Bu Mus.  Luka di hati semakin mengering. Terlebih, atas saran Nafisa kubuang nomor lama. Hingga tak kudapatkan lagi pesan-pesan Mas Amran yang selalu bisa menggoyahkan hati. Cinta untuknya masih ada, tapi aku menolak mempercayainya lagi. Takut luka baru menggerogoti.

Aku mengernyit heran karena rumah Bu Mus hari ini nampak sepi.  Biasanya, dibangunan utama sudah ramai para pekerja yang sedang bersiap.

“Kok sepi, Bu?” tanyaku pada Bu Mus saat wanita itu keluar rumah dengan membawa seikat bunga. Mungkin baru dipetik dari taman samping rumah.

“Hari ini, Ibu sengaja suruh mereka Libur, Bell!” ucapnya ramah. Lalu mengajakku duduk di kursi belakang rumah.

“Ada yang ingin kami sampaikan sama kamu. Nggak enak aja kalau ada orang lalu lalang saat sedang ngobrol.” Bu Mus tertawa lebar. Lesung pipit yang dimilikinya membuat wanita itu kian cantik.

“Sini, kita tunggu Teguh dulu aja, ya!” ucapnya lagi. Aku semakin penasaran.

“Mau bicara apa, Bu? Ibu sama Mas Teguh ada masalah? Butuh bantuan? Jangan sungkan, aku pasti berusaha membantuku kalau bisa.” Bu Mus tersenyum sambil mengangguk. Tangannya masih sibuk merangkai bunga dalam vas.

Suara mobil membuat kami menoleh. Benar saja, tak lama Mas Teguh muncul menghampiri kami.

“Assalamualaikum ... “ Seperti biasa, lelaki berkemeja biru tua itu tersenyum lebar, lalu mencium tangan ibunya.

“Udah lama, Bell?” Aku mengangguk. Bibir ini ikut tersenyum setiap kali melihatnya, mungkin karena Mas Teguh sering melucu. Aku jadi teringat leluconnya terus.

“Langsung aja, Guh! Ngomong aja sama Bella!” Mas Teguh mengangguk, mengiyakan perkataan ibunya.  Mendadak, jantungku berdebar lebih cepat.

“Ehem, begini, Bell. Kita akhir-akhir ini kan udah semakin akrab, ketemu juga sering. Menurutmu, aku orang jahat bukan? Lalu, apa aku cukup pantas untuk jadi imam dalam ....  “

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DITINGGAL NIKAH (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang