PART 4

1.3K 121 9
                                    


Luangkan waktu 2 detik untuk menekan bintang

***

Venus tersenyum ramah. Udara pagi begitu menyejukkan. Tepat di mana aku berdiri, kupu-kupu beterbangan mengitari pohon melati. Rumah peninggalan almarhumah simbok ini begitu damai dan asri. Di atas bukit kembar yang terletak di jalan Cempaka Desa Kenari, sudah lama aku tinggal seorang diri. Bertahan hidup dengan bekerja serabutan hingga menjadi guru honorer pun dilakukan.

Tepat di sebelah timur, Gunung Raung berdiri dengan kokoh. Sawah ladang terhampar luas. Hijaunya menimbulkan keindahan yang memesona. Nyiur melambai-lambai, padi-padi mulai menguning, embun menetes di sela dedaunan. Rumah-rumah berjejer rapi di pinggir jalan. Sebagian masih terselimut kabut sebagian pula sudah di hangatkan oleh sinar sang bintang pagi. Mataku takjub memandangnya, tak henti memuja keagungan Tuhan.

Biasanya, sepagi ini aku sibuk melakukan pemanasan--olahraga ringan yang membuat tubuh merasa segar dan bugar. Terlebih hari minggu seperti ini, pasti kegiatanku lebih lama lagi. Namun, tak kulakukan rutinitas itu. Aku hanya duduk termenung dan terus saja melamun.

“Apa pun yang terjadi padamu, Nduk, tetap semangat. Jangan bersedih. Dekatilah Tuhan, karena di sana kamu akan menemukan ketenangan.”

Aku teringat akan pesan almarhumah simbok. Beliau satu-satunya keluarga yang teramat sayang dan begitu pengertian. Mendadak, belaiannya teramat kurindu. Aku begitu menginginkan petuah serta kebijaksanaannya.


Nafisa berjalan membawa nampan yang berisikan dua cangkir teh lengkap dengan pisang goreng untuk sarapan. Ia taruh makanan itu di atas dipan beralas karpet. Seraya menikmati indahnya alam pagi, ia mendekat padaku.

“Silakan di minum, Bidadari,” ucapnya mengerlingkan mata.

Aku tahu ia bercanda. Namun, sama sekali tidak lucu. Melihatku tetap bermuka muram, Nafisa berusaha menghibur dengan beragam cerita-cerita uniknya. Tentang anak-anak di Rumah Pelangi, bahkan hingga sampai ke masa perkenalannya dengan sang suami--lelaki yang anti dengan pacaran--memilih meminangnya hingga langsung menikah.

“Bell ...? Kenapa kamu nangis? Ada yang salah, tah, dengan perkataanku?” tanyanya seraya menyentuh pipiku, mengusap bulir bening yang jatuh tanpa dipinta.

Aku menggeleng cepat.

“Lalu, apa lagi? Teringat Amran?”

Aku mengangguk. Sedangkan dia mengembuskan napas panjang. Berat.

“Ceritamu sangat romantis, Sa. Tidak seperti kisah cintaku yang hanya menjadi penjaga jodoh orang. Benar-benar mengenaskan, bukan?”
“Nah, loh, itu lagi! Maksudku tidak seperti itu, Bell. Aku bercerita hanya berniat menghiburmu.”

“Iya aku tahu. Tapi ... kisahku memang benar seperti itu, ‘kan?”

“Bell ... dengarkan aku. Ibarat kamu sedang mengendarai motor,  jangan selalu melihat kaca spion. Fokus! Perjalanan masih panjang. Ada tujuan yang perlu kamu gapai.”

Aku terdiam. Benar sekali ucapannya.

“Bella yang kukenal tidak serapuh ini. Biasanya, dia kuat. Selalu tersenyum tidak cengeng. Masak, ini bawaannya mewek mulu. Hilang cantiknya sudah,” bujuknya dengan memanyunkan bibir.

Aku tersenyum dibuatnya. Tiba-tiba terdengar bunyi motor yang tidak asing lagi di telinga. Motor itu berjalan, menanjak menuju rumahku.
Kedua alisku bertautan, heran! Begitu pun dengan Nafisa, mimik mukanya menunjukkan gurat tanya.

‘Apakah benar itu dia?’ Aku membatin.

Beberapa menit kemudian, suara merdu terdengar melantunkan salam. Aku mengenali suara itu. ‘Tidak salah lagi.’

Tok ... tok ... tok ....

“Assalamualaikum.”

Aku terdiam sejenak, mencubit pipi kalau-kalau sedang bermimpi.

“Naf?”

“Ssstttt ....”

“Apakah itu-“

“Mas Amran! Jangan keras-keras kalau bicara,” pinta Nafisa sambil lalu mengintip ke arah depan.

“Kamu membuka pintunya?”

Nafisa menggeleng, “Dia pasti ingin bertemu denganmu. Mas Amran tidak tau kalau kamu ada di sini, Bell. Aku keluar melalui pintu belakang.”

“Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?”

Nafisa mengangkat ke dua bahunya. Sedangkan aku begitu panik dan bingung.

“Bella ....”

Belum sempat aku menemuinya, dia sudah keburu mendatangiku. Di tempat ini--di dekat pohon melati, di mana aku duduk sambil memandangi kecantikan sang bintang pagi--dia pun ikut duduk tak jauh dariku.

Tubuh bergetar hebat. Aliran darah seakan berhenti. Sesak di dada semakin membelenggu jiwa. Ingin rasanya aku bertanya banyak hal: kenapa dia meninggalkanku, mengapa ia bisa menikah dengan Nia. Kalau memang hubungan  kita tak direstui, kenapa dia tidak menjelaskan apa pun padaku? Namun, kuurungkan semua itu. Mulut tiba-tiba kelu, tubuh seakan membeku. Hanya bunyi dentuman jantung yang kian terdengar lebih cepat dari biasanya.

“Apakah kamu marah padaku, Bell?”

Marah? Ya jelas lah aku marah. Masak ditinggal nikah tanpa penjelasan apa pun aku tidak memiliki rasa marah?

“Apa kamu tidak lagi mencintaiku?”

Dia kini berada tepat di bawah kakiku. Aku menunduk, tak mampu menatap sorot matanya. Aku di atas dudukan bambu, sedangkan dia bersimpuh di depanku. Matanya seperti elang, menerobos masuk membuka satu persatu pintu hati. Bagaimana aku mampu untuk mengatakan tidak mencintainya? Sedangkan, melihatnya seperti itu hatiku kembali luluh.

“Maafkan aku, Bell,” ucapnya lirih.

Aku hanya mampu menangis. Berdiri, hendak pergi. Namun, tangannya begitu cepat menggapai tanganku.

“Bell, Maafkan aku! Kau bidadariku, selamanya akan seperti itu. Kau adalah mutiara hitamku. Maukah kau memaafkanku?”

Aku melepas pegangan tangannya. Semua itu hanya membuatku sakit. Kedatangannya semakin menambah luka. Mengapa dia tetap bersikap manis dan romantis seakan tidak pernah terjadi apa pun? Tidak sadarkah ia, akan ada seorang istri yang tersakiti jika tahu suaminya datang menemui mantannya sepagi ini?

Dulu, dia sering menemuiku sepagi ini. Bahkan, kita kerap olahraga bersama. Berlari kecil menyusuri jalanan desa. Menikmati keindahan Venus bersama, seraya memandang hijaunya dedaunan yang begitu memikat hati. Cukup lama dia tidak menemuiku, kenapa di hari ke dua pernikahannya ia melakukannya kembali? Seakan ingin memulai segalanya dari awal lagi.

Hati ini sudah hancur. Rasa yang pernah ada telah retak, tak mampu dipungut kembali. Mas Amran dan aku sudah tidak sama. Semua orang tahu kalau Mas Amran kini milik sahabatku. Status ikatan mereka sudah sah di mata Agama dan Negara.

Aku tersenyum getir. Kejadian lalu tidak ingin terulang kembali. Biarlah kukubur aroma busuk itu dan mencoba mengharumkannya. Aku ingin berubah, menjadi wanita baik-baik tidak seperti ibu.

“Aku sudah memaafkanmu, Mas. Pergilah,” pintaku dengan suara bergetar. Kuhapus air mata yang terus berderai. Nafisa mengangguk dari kejauhan, tanda setuju dengan keputusanku.

“Beri aku sedikit waktu untuk menjelaskan semuanya. Setelah ini, silakan kau mau membenciku atau tidak.”

“Bukankah pesan whatsappmu sudah cukup menjelaskan semuanya? Apa yang perlu kau jelaskan lagi?” tanyaku dengan nada meninggi.

“Aku melakukan itu karna Ayah!” sahutnya tidak kalah lantang.

Aku menghentikan langkah. Membuang sekilas sekelumit kebencian yang meletup butuh pelampiasan. Setenang mungkin aku berusaha menahan amarah. Menjadi pendengar yang baik, mungkin harus dilakukan.

Panjang lebar Mas Amran menjelaskan seputar penyakit kronis yang dimiliki ayahnya. Ternyata selama ini Nia memendam cinta padanya tanpa kutahu itu. Dia begitu cemburu pada kami. Dia pun nekat untuk mengakhiri hidup karna begitu membenciku dari jauh, karna Mas Amran lebih memilih aku daripada dirinya. Nia sempat mengalami kritis, di bawa ke rumah sakit setelah meminum obat pembasmi serangga. Beruntunglah, nyawanya berhasil diselamatkan.

Karena kejadian itulah, Kedua orang tuanya menerima pinangan dari keluarga Nia tanpa banyak pertimbangan. Tak sulit untuk melangsungkan pernikahan, kedua keluarga itu sudah saling kenal. Bahkan, Papa Nia juga sangat berperan penting dalam kemajuan perusahaan properti yang di rilis oleh ayahnya Mas Amran di kota.

“Aku mencintaimu serta terus berusaha memperjuangkan rasa ini. Tapi-“

“Dia lebih membutuhkanmu daripada aku, Mas. Aku tahu, mereka melakukan yang terbaik demi kamu. Demi kelangsungan hidup Nia dan juga demi kesembuhan Ayah,” ucapku tegas memotong kalimatnya.

“Bell ....”

“Pergilah, Mas. Aku akan baik-baik saja. Ada istri yang menunggumu di rumah.”
Aku berlari menuju kamar, menghiraukan Mas Amran dan Nafisa yang terus memanggil. Tubuh merosot di balik pintu. Air mata terus berderai. Aku sesenggukan. Hijab merah muda yang kukenakan sudah tak karuan bentuknya.

‘Aku sudah mulai mengikuti perintahmu, Tuhan. Apakah niatku tidak Kau terima? mengapa Kau berikan ujian ini padaku?’

Sekuat apa berusaha, percuma saja. Aku tetaplah buruk di mata mereka. Tak mungkin bisa bersanding dengan Mas Amran, mereka tidak akan menyetujuinya. Nia memiliki segalanya, lebih baik dariku dalam segala hal. Dia pantas untuk menjadi pendamping Mas Amran, menjadi ibu dari anak-anaknya. Bidadari itu Nia, bukan aku.

Hiks ....

Aku sesenggukan.

Terdengar suara motor Mas Amran telah pergi. Aku mengintip punggungnya di balik jendela. Lelaki itu, Dia-

Ah!

Aku kembali menangis.

“Bell ....”

Aku menghapus air mata, mencoba kuat. Namun, hati benar-benar rapuh. Kaki berjalan gontai menuju ranjang. Tangan memeluk guling seerat mungkin. Di sanalah aku terus menangis.

Nafisa mendekat. Membelai kepala, berusaha menenangkan. Seperti seorang ibu, ia selalu menyediakan pundaknya untukku.

Aku terbangun, dia menatap lekat seraya mengulurkan tangannya. Di pelukannya, aku terisak. Begitu pun dengannya. Kami mengurai air mata bersama. Sahabat yang menjadi keluarga. Dialah--Nafisa, yang begitu istimewa.

Pernah terpikir ‘tuk pergi
Dan terlintas tinggalkan kau sendiri
Sempat ingin sudahi sampai di sini
Coba lari dari kenyataan
Tapi ku tak bisa
Jauh ...
Jauh darimu
Kutak bisa
Jauh ...
Jauh darimu

Aku tergugu. Nyanyian itu kembali terngiang di telinga. Saat di mana Mas Amran memetik gitar, suara renyahnya begitu menghanyutkan. Namun, sayang! Lambat diketahui kalau inilah maksudnya. Menorehkan sembilu dalam balutan kidung merdu.

Aku tak mampu berpikir apa pun untuk saat ini. Racun cinta telah menjalar di sekujur tubuh. Bisanya membuatku mati secara perlahan.

*****

Cerita ini nggak sampai 10 part.
Makasih dukungannya ❤❤❤

Ka Ristie

DITINGGAL NIKAH (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang