Absen dulu sebelum baca
***
“Bell ... hapus air matamu! Ikut aku sekarang!” Aku menoleh saat Nafisa menghampiri dengan suara tercekat. Napasnya terdengar tak beraturan. Sekilas, gadis itu menatap nanar benda pipih di genggamannya.
Segera aku beranjak, menghapus air mata yang masih terus berderai. Tangis yang sedari tadi tak kunjung berhenti membuat mataku sembab. Jujur, aku begitu malas. Namun, sepertinya ada sesuatu yang sangat genting jika melihat mimik wajah Nafisa yang diselimuti kepanikan.
“Ada apa, Naf?” tanyaku heran.
“Pak Midun telepon, katanya Dodi tengah kritis sekarang. Pendarahan di mulutnyanggak mau berhenti. Kita harus ke sana secepatnya, Bell!”
“Astagfirullah, apa yang terjadi dengannya, Naf?”
“Entahlah! Belum sempatkutanya, sambungan telepon sudah terputus. Pak Midun hanya bilang, mereka sedang berada di rumah sakit Bhayangkara, kamar nomor lima belas,ruang melati.”
Dengan tergesa, kami melajukan motor matic menuju ke rumah sakit. Sudah tiga hari aku tidak mengunjungi rumah pelangi. Semua urusan anak-anak kutitipkan pada Pak Midun. Ada sesal yang bergelayut di jiwa. Karena terlalu hanyut dalamsakit hati dan kekecewaan pada Mas Amran, aku jadi abai terhadap mereka.
‘Oh, Tuhan. Ujian apa lagi ini?’
Dadaku sesak, seperti ditimpa oleh sebongkah batu besar. Sesekali aku menyeka air mata, bulir bening lolos dari kelopak mata tanpa bisa kucegah. Beragam perasaan bersalah berkecamuk. Secepat mungkin ingin segera sampai. Perasaan khawatir begitu kuat menyergap hingga meninggalkan sesak di dada. Perasaan takut kehilangan kembali menghantuiku.
Setengah jam kemudian, kami sampai di rumah sakit. Tak peduli matahari siang yang terasa begitu menyengat, aku dan Nafisa langsung berlari memasuki gedung Rumah Sakit setelah memarkirkan motor.
“Ayo, Bell. Aku tahu di mana ruangan yang di maksud Pak Midun, kebetulan Ummi dulu pernah di opname di sana.”
Aku tak menjawab, hanya mengangguk mengiyakan. Berjalan dengan tergopoh, melangkahkan kaki secepat mungkin agar lekas sampai di tempat tujuan. Kami benar-benar panik.
Tiba-tiba, aku terhuyung karena bertabrakan dengan seseorang. Agaknya, pria itu juga sama-sama tergesa hingga tak berhati-hati. Terlebih, tembok yang menghalangi pandangan membuat pandangan kami sama-sama terbatas.
“Maaf,” ucapnya lirih.
Beberapa detik pandangan kami beradu, pria berbaju koko putih itu mengatupkan tangan di dada seraya tersenyum. Reflek, aku pun melakukan hal yang sama. Kami sama-sama tercenung. Pandanganku tersita oleh bercak merah yang menempel di bajunya. Sesaat, pria berambut lurus itu mengernyit, lalu mengikuti arah pandanganku. Melihat reaksi yang ditunjukkan, sepertinya ia sama terkejutnya denganku.
“Bell, ayo!” suara Nafisa membuyarkan lamunan kami.
“I-iya, ayo!” ucapku sambil lalu pergi meninggalkan lelaki yang masih mematung di lorong Rumah Sakit itu.
Setelah melewati banyak ruangan serta beberapa belokan, akhirnya kami bertemu Pak Midun yang sedang duduk termenung di bangku luar ruangan. Di sampingnya, ada empat anak yang juga terdiam. Saat memperhatikan mereka, jelas wajah-wajah kusut itu sedang diselimuti kekhawatiran.
“Dodi dimana, Pak?” tanyaku panik. Lelaki paruh baya itu menatapku nanar.
“Dia masih di dalam,” ucap Pak Midun dengan suara tercekat.
Dari celah jendela kaca yang tak tertutup gorden, kulihat bocah berambut kribo itu terbujur dengan beberapa macam alat medis menempel di tubuhnya. Aku tak paham tentang hal-hal berbau medis, tapi mesin penunjuk detak jantung di dalam ruangan itu terlihat masih berjalan. Di sana, dokter dan Dodi sama-sama berjuang. Aku menghirup napas dalam, berharap Tuhan memberi keajaiban.
Dodi adalah anak yang cerdas dan antusias. Teringat saat ia berceloteh dengan manja tentang mimpi danbermacam keinginan untuk masa depan yang ingin digapai. Tak heran jika selama ini sekolahnya sangat rajin. Banyak persamaan yang kami miliki, termasuk terlahir tanpa ayah dan diterlantarkan ibu sendiri. Hingga bersamanya, aku seperti menemukan adik.
Aku menoleh saat merasakan seseorang mengusap bahuku. Nafisa, seorang sahabat yang kehadirannya seperti mentari, hangat dan menenangkan.
“Bagaimana ceritanya, Pak?” Aku menatap Pak Midun yang masih melamun. Rasa sedih dan khawatir yang membuncah, membuat suaraku tercekat. Berulang kali aku mengusap tetes bening yang membasahi pipi.
Perlahan, pria itu menjelaskan secara detail kronologis kejadian tabrak lari yang dialami Dodi. Mata bening itu memerah, menandakan kesedihan mendalam.
“Untung saja ada Mas Teguh yang bersedia menolong, mengantarkan ke sini,” ucapnya lega. Pria paruh baya itu mengembuskan napas pelan.
Cerita demi cerita tentang kepanikan saat membawa Dodi, terucap dari bibir hitam lelaki paruh baya itu. Pak Midun tak henti bersyukur dan memuji lelaki muda yang dipanggilnya Teguh. Aku mendengarkan dengan saksama, begitu juga dengan Nafisa dan ke empat anak lainnya.
Pak Midun menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Di bibirnya, tersungging senyum tulus.
“Ini lho, yang namanya Mas Teguh," ujar Pak Midun sembari menepuk bahu lelaki berbaju koko putih. Alisku bertaut.
‘Pemuda itu ... bukankah?’
Ya! Dia lelaki yang barusan menabrakku.
“Terima kasih telah menolong Dodi,” ucapku seraya menangkupkan tangan di dada.
“Sama-sama, kita harus tolong-menolong, bukan?” jawabnya lembut. Sama seperti tadi, senyum tipis terulas di bibirnya. Dadaku berdesir, ada embusan angin di dalam sini. Cara bicara lelaki itu begitu halus dan sopan.
Hanya beberapa detik aku berani menatapnya. Bisa kupastikan, tingginya hampir sama dengan Mas Amran. Hanya saja, tatapannya terlihat begitu teduh. Entahlah, ada aura positif yang kurasakansaatmelihat lelaki jangkung itu.
Karena sikap ramah dan pembawaannya yang mudah berbaur, sedikit demi sedikit benteng kokoh yang membuatku canggung sekarang hilang begitu saja. Ternyata Mas Teguh sosok yang hangat. Hingga tak sadar, kami bertiga sudah lebih dari setengah jam mengobrol.
“Naf ... Bell ... ” Pak Midun menghampiri kami dengan suara serak tertahan. Tangannya sibuk mengusap bulir bening yang jatuh dari kedua netranya. Serempak, kami bertiga menoleh. Senyum yang tadinya sudah kembali tersinggung di wajahku, sekarang lenyap ditimpa kekhawatiran yang kian terasa nyata.
“Innalillahiwainnailaihiraajiuun .... ”
Gemuruh di dada terdengar semakin keras, jantung seakan berhenti berdetak.
“Apa maksudnya, Pak?” tanyaku dengan suara tak kalah paraunya.
“Dodi, sudah berpulang, Nak!”
Mataku membulat. Sesaat, suara apa pun tak tertangkap oleh indera pendengaran. Aku bergegas menuju ruang ICU, meninggalkan Nafisa yang meraung. Di dalam ruangan serba putih itu, para tim medis terlihat sibuk mengerubungi Dodi. Beberapa kali Dokter menggunakan alat kejut jantung untuk membawanya kembali.
Kaus merah yang melekat di tubuhku, sebagian telah basah. Kubiarkan bulir bening lolos begitu saja. Bibir ini tak putus menyebut nama Allah untuk meminta pertolongan.
Aku meraung setelah Dokter menoleh dan menggeleng pelan. Lagi, kurasakan dunia ini runtuh. Tersungkur di lantai dingin, kubiarkan luka hati ini turut membeku.
Jenazah Dodi langsung dimandikan dan dikafani. Setelah disalati di masjid yang ada si komplek Rumah Sakit, mobil ambulance sudah tersedia untuk mengantar.
Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, aku membisu. Seolah suaraku ikut hilang bersama kepergian Dodi. Motor yang tadi aku tumpangi bersama Nafisa, kami tinggalkan begitu saja. Sedangkan kami berdua beserta anak-anak, menumpang di mobil Mas Teguh.
“Kak, Bell?” Anjani menatapku dengan sorot yang begitu tajam.“Apa Dodi akan meninggalkan kami?”
Aku menatap wajah polos Anjani, tapi masih terlalu sulit untuk berkata. Tak tahan, aku pun memeluknya erat, mengangguk, dan semakin terisak.Nabila, Zaki, dan Musa yang duduk berurutan di samping Anjani, ikut menghambur memelukku. Kulirik Nafisa yang duduk di kursi depan, menunduk dengan kedua tangan menutupi wajah. Kami sama-sama diselimuti kesedihan, berharap jika saling berpelukan seperti ini, bisa saling menguatkan. Hari itu, kami benar-benar kehilangan.*****
TBC...
Ingat ya, setelah tamat, besoknya langsung aku hapus. So, silakan baca secepat mungkin ❤
Ka Ristie
KAMU SEDANG MEMBACA
DITINGGAL NIKAH (End)
Narrativa generalePernahkah dikhianati pacar? Seperih apa rasanya ditinggal nikah? Tapi Bella memaksakan diri untuk tetap datang ke pesta pernikahan pacar dan sahabatnya. Selamat membaca ❤